Kaba “Catuih Ambuih”: Ayat-Ayat Keadilan yang Terlupakan
Keadilan sejati menuntut keberanian melampaui relasi pribadi dan kepentingan, demi kebenaran karena Allah.
Oleh Bagindo M. Ishak Fahmi
(Refleksi atas An-Nisa:135 dan Al-Ma’idah: 8 dalam Realitas Sosial Kita)
DI NEGERI yang langitnya senantiasa diwarnai suara adzan dan di mana mushaf suci menjadi bagian dari pusaka rumah tangga, mestinya keadilan telah tumbuh sebagai pohon rindang yang menaungi siapa saja—tanpa pandang asal-usul, jabatan, atau warna bendera. Namun, betapa getirnya kenyataan yang kita saksikan. Keadilan justru menjadi sesuatu yang mahal, langka, bahkan tampak eksklusif bagi kalangan tertentu.
Surah An-Nisa ayat 135 menyeru dengan nada yang tak bisa ditawar:
Terjemahan:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”
Ayat ini bukan hanya perintah, melainkan fondasi etika sosial dalam Islam. Ia menempatkan nilai kebenaran di atas seluruh relasi personal, bahkan di atas cinta darah dan daging. Ia mengajarkan bahwa keadilan bukan perkara siapa, tetapi tentang apa yang benar.
Demikian pula Surah Al-Ma’idah ayat 8, yang tak kalah tajamnya:
Terjemahan:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Di sini, Al-Qur’an menjungkirbalikkan logika balas dendam. Keadilan tetap wajib ditegakkan, bahkan untuk mereka yang tidak kita sukai. Karena jika takwa adalah tujuan hidup, maka adil adalah jalannya.
Namun pertanyaan yang harus kita hadapi dengan jujur: mengapa dua ayat yang agung ini, yang bahkan dikutip dan dipajang di gerbang kampus hukum” Harvard University”, justru terasa asing di tengah masyarakat yang mengaku sebagai umat Islam (Al-Qur’an) mayoritas terbesar didunia? Apakah karena kita terlalu sering membacanya tanpa menggugah maknanya? Atau karena kita terlalu sibuk menyuarakannya, tetapi enggan meneladankannya?
Imam Al-Ghazali pernah memperingatkan: “Keadilan adalah dasar tegaknya dunia. Jika ia runtuh, maka kerusakan akan menjalar, bukan hanya pada hukum, tapi pada ruh manusia itu sendiri.”
Kata-kata ini kini seperti ramalan yang menjadi nyata. Ketika keadilan tak berpihak pada yang lemah, ketika hukum menjadi alat kekuasaan, dan ketika suara kebenaran dibungkam oleh gengsi institusi, kita tengah menyaksikan perlahan-lahan runtuhnya pilar peradaban.
Prof. Mahfud MD, tokoh hukum Indonesia, menegaskan dalam berbagai forum: “Keadilan itu bukan sekadar mematuhi aturan. Ia tentang rasa. Hukum yang kehilangan rasa keadilan, tak ubahnya kekuasaan yang sah secara prosedural tapi cacat secara moral.”
Pernyataan ini relevan melihat maraknya fenomena penegakan hukum yang tidak merata. Terlalu sering hukum berlaku tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Di banyak kasus, hukum seakan tunduk pada uang, pada jaringan, pada pengaruh. Dan semua itu terjadi di negeri yang ayat-ayat tentang keadilan dibacakan tiap hari.
Barangkali inilah yang disebut oleh Buya Hamka sebagai tragedi spiritual: “Jangan hanya pandai mengutip ayat, tapi jadilah ayat yang berjalan.”
Refleksi ini menohok. Kita hidup dalam zaman di mana Al-Qur’an telah dihafal berjilid-jilid, namun belum dijalani sepenuh hati. Ayat keadilan dikutip dalam khutbah dan ceramah, namun tak terlihat di ruang sidang, kantor pemerintah, dan ruang-ruang pengambilan keputusan.
Apakah umat ini sedang kehilangan orientasi? Ataukah kita terlalu nyaman hidup dalam selimut retorika, hingga lupa bahwa Allah tidak hanya memerintahkan membaca, tetapi juga menegakkan?
Sudah saatnya kita berhenti menjadikan ayat sebagai ornamen semata. Kita perlu memulihkan kembali hubungan antara iman dan keadilan, antara ketaatan dan keberanian menegakkan kebenaran, antara agama dan tanggung jawab sosial. Karena tanpa itu semua, agama hanya akan tinggal nama, dan hukum tinggal prosedur yang sunyi.
Dan di tengah mihrab yang hening, kita kembali bertanya dalam hati: “Sudahkah aku menjadi saksi kebenaran karena Allah, atau hanya saksi diam yang takut pada resiko dan kenyataan”? []
Bagindo M. Ishak Fahmi, seniman/budayawan Sumatera Barat.
Penulis: Bagindo M. Ishak Fahmi
Editor: Muhammad Subhan









