Oleh Jimmy Anggara
Aku memilih untuk mencintaimu dalam kesunyian
sebab dalam kesunyian aku tak menemukan penolakan.
—Rumi
“Cinta itu posesif,” kata Marlo kepada Leon dan Mita, setelah menyesap kopi dari atas meja.
“Kenapa kau bilang begitu?” tanya Leon. Mereka bertiga sedang duduk di beranda rumah Mita, mengobrol sambil memandangi hujan turun. Mita, gadis yang dicintai Leon, memandangi anak-anak kecil yang bermain hujan di ujung jalan. Anak-anak kecil itu berlarian dan tertawa-tawa. Mita berwajah menawan dengan juntai rambut yang menutupi hampir seluruh matanya. Ia menampakkan kepolosan yang mengagumkan. Seluruh sifatnya memancarkan kesunyian yang jauh, yang menarik setiap orang yang memandang wajahnya. Ia mudah digerakkan oleh perasaan-perasaan lembut yang membuat hatinya menari-nari. Dan ia mendengar perkataan Marlo itu dalam keriangan yang biasa ia ekspresikan jika ia sendiri berbicara. Ia gadis yang menikmati kegembiraan hidup dan mendambakan seluruh dari putik-putik kehidupan dalam perasaan yang riang.
“Karena cinta itu seperti candu,” kata Marlo. “Semakin kau merasakannya, semakin kau bertambah ingin merasakannya lagi. Setiap hari rasa itu menyergap kesadaranmu hingga akhirnya kau memutuskan untuk menyatakan terang-terang kepadanya mengenai kegelisahan hatimu. Tetapi, begitu cinta itu diutarakan, dinyatakan dengan kalimat-kalimat yang nyata, cinta telah kehilangan esensinya yang paling berharga, yaitu misteri. Kehilangan sifat ini akan mengubah cinta menjadi sesuatu yang membosankan dan tawar. Tetapi, jika kau menjaga jarak, menjaga perasaan cintamu jauh di dalam hatimu, maka cintamu itu akan menjadi sendiri dan rahasia. Cinta yang bebas seperti perasaan yang kau miliki terhadap adikmu sendiri. Perasaan yang bersahabat yang memaklumkan setiap hukum-hukum yang ada di dunia. Dan ini akan berubah jika kamu benar-benar menyatakannya. Menjaga kerahasiaan cinta, atau menjaga cinta agar tetap rahasia adalah tugas paling sulit seorang kekasih.”
“Aku akan memberikan contoh yang mudah bagimu,” lanjutnya lagi. Ia memandang wajah Mita, yang duduk di tengah, yang telah menjadi teman mereka selama dua tahun penuh, yang juga sedang dikejar-kejar cintanya oleh Leon.
“Anggap saja,” kata Marlo, “kalau selama ini aku mencintai Mita. Bayangkan, kalau sebenarnya selama ini aku mencintainya tanpa sepengetahuanmu. Apa hal pertama yang menjadi reaksimu?” Marlo dan Leon memiliki rahasia ini: mereka berdua sama tahu bahwa Leon mencintai Mita. Dan, mereka berdua juga sama tahu bahwa Mita belum mengetahui hal itu.
“Kaget, tentu saja,” jawab Leon, dengan nada biasa. Mita, yang saat itu sedang mengunyah permen karet, tersedak dan menjatuhkan permen karetnya ke lantai.
“Betul. Kau kaget karena kerahasiaan cinta yang kupendam. Tidakkah itu justru lebih mengherankan karena kalian tidak tahu sebab-sebabnya?” Leon dan Mita tidak menjawab, meskipun mereka sangat menginginkan penjelasan yang sungguh-sungguh dari Marlo.
Marlo pun melanjutkan.
“Bayangkan, dia tidak tahu kalau selama ini aku mencintainya. Dan dia tidak tahu jika aku sungguh-sungguh mencintainya di dalam hatiku sepanjang hari. Dan itu baik. Baik baginya dan juga bagiku. Hasilnya, satu sifat cinta yang telah membuat seluruh manusia di dunia menghabiskan separuh waktunya untuk melamun, tidak pernah kurasakan. Aku menjadi lebih efisien, dan melihat jarum jamku bergerak lebih lambat dari yang dipakai oleh perempuan-perempuan lajang di usia menjelang tiga puluh. Aku mampu melakukan pekerjaan apa pun tanpa ada yang mengusikku. Sementara, dia di rumahnya, tentu sedikit pun tidak akan pernah memikirkan aku, dan itu meringankan hari-harinya di dunia. Kau harus paham, orang yang dijerat cinta, sama dengan anjing yang kehabisan tulang, selalu meminta dan meminta, tetapi tidak pernah bisa memberi. Kau pernah melihat anjing memberi uang kepadamu?” Leon menggeleng. “Itulah!” kata Marlo.
“Jika kau merasakan cinta, hal pertama yang kau rasakan adalah kau merasakan demam. Badanmu menggigil dan kau tak bisa makan. Sehingga orang-orang akan bertanya, ‘Apakah kau sakit?’ Tetapi meskipun badanmu demam, itu sama sekali tidak mencegahmu untuk tertawa sendirian setiap malam, dan ini makin mengherankan semua manusia yang mengenalmu sejak kau lahir. Sebuah perubahan sikap yang tidak masuk akal. Tetapi gejala-gejala cinta mulia ini akan berakhir begitu kau mengutarakannya kepada gadis yang kau cintai, mengenai perasaanmu yang mendalam dalam bungkusan kalimat-kalimat gombal seolah puisi yang berasal dari keinginan untuk memiliki. Dan keputusanmu itu akan merugikan dia maupun kau. Jika kau ditolak, kau menjadi lebih sulit makan. Jika kau diterima, makanmu bertambah banyak dan pergimu menjadi lebih sering. Kedua akibat cinta inilah yang akan membuat bakul nasi keluargamu terlihat murung selalu. Kau harus mengerti, cinta satu orang dalam satu rumah akan memengaruhi semua orang dalam rumah itu tidak peduli apakah kau sadar atau tidak. Sebaliknya, jika kau ditolak, panasmu tinggi, menjadi sering menangis seorang diri dan kau tidak tertarik lagi dengan tugas-tugas kuliah, tidak terbujuk untuk menonton film-film komedi, tidak ingin melakukan apa-apa selain merebah di ranjang memikirkan kata-kata penolakan gadis itu, menyesalinya, membayangkannya siang dan malam, membencinya siang dan malam dan berharap seluruh langit jatuh menimpa kepalamu dan semua orang yang ada di planet ini termasuk keluargamu yang tidak mengerti apa pun mengenai penolakan cintamu. Kau lihat sekarang, betapa cinta jenis itu kompleks dan merugikan. Dan kau tidak akan merasakan lagi kebebasan seorang muda begitu ‘cinta’ menjeratmu dalam jaring-jaringnya yang kompleks itu. Hidupmu menjadi diatur oleh waktu. Kamu menjadi budak cinta. Pergi bersamanya meskipun esok harinya kau ada ujian dan harus belajar, tetapi kau terpaksa mengikuti kemauannya. Pergi ke kafe untuk mengobrol atau ke bioskop menonton film drama romantis yang sebenarnya bisa kaulakukan di waktu-waktu yang lain.”
Semuanya itu diucapkan Marlo dengan bersemangat. Ia melihat Mita menggeser bokongnya yang indah pada kursi dan menelungkupkan jari-jarinya pada lutut dengan mulut setengah terbuka.
“Itu adalah cinta yang kau rasakan,” lanjut Marlo, “sedangkan aku, karena cintaku bersifat sendiri dan rahasia, maka perasaan itu tersimpan rapi di dalam hatiku. Dan rasa cinta itu tidak akan pernah sirna. Perasaan itu akan tetap ada dan kurasakan dalam kebebasanku sebagai manusia yang rasional. Aku tidak harus menerima kekecewaan ditolak cinta (meskipun aku tidak keberatan sama sekali terhadap konsekuensi penolakan). Aku tidak harus berkunjung setiap hari ke rumahnya, aku tidak harus membeli parfum yang mengaburkan aroma asam ketiak dari hidungnya dan aku tidak akan mengalami hari-hari yang jauh dari teman. Karena kau tahu, salah satu akibat cinta adalah menjauhkan teman. Cintamu membutakan perasaanmu terhadap teman-temanmu, dan makin mengurangi frekuensi bergaulmu dengan mereka. Kau tidak lagi bermain PlayStation bersama mereka, misalnya. Atau bermain Mortal Kombat. Kau hidup di dunia lain. Kau hanya hidup dalam perasaan cintamu. Kau juga terbuai dalam rasa cemburu yang tidak masuk akal, terutama di tempat-tempat umum yang rentan oleh potensi menghakimi setiap lirikan. Rasa cemburu yang bisa membakarmu hangus hingga puing-puing. Ini terjadi karena kau menganggapnya milikmu yang harus selalu kau peluk siang dan malam. ‘Jangan biarkan dia berbicara dengan laki-laki lain,’ katamu pada diri sendiri. Sembunyikan dia dari keramaian. Ia harus selalu ditemani. Ya, kau harus menemaninya, selalu. Dan itu menjadi kewajiban yang kautanamkan sendiri hingga merusak caramu berpikir dan memandangnya—memandang cinta.”
“Tetapi aku, aku tidak harus melihat wajahnya setiap hari karena aku tidak akan terlalu rindu. Rasa rindu pada orang pacaran cenderung berubah menjadi rasa bosan. Dan ini tidak baik bagi perkembangan jiwamu. Tetapi, karena aku tidak diperhatikannya dan ia tidak tahu kalau aku mencintainya, maka aku bisa kapan saja melihat wajahnya siang maupun malam. Duduk di sampingnya dengan bebas dan mencubit pipinya dalam hatiku. Jika rasa cintaku begitu mendera-dera, aku tinggal membuat janji untuk bertemu dengannya maka aku akan melihat wajahnya dan aku akan merasa gembira. Aku tidak akan bosan atau senang karena aku tidak bertemu dia setiap hari. Semuanya serbabiasa dan mengagumkan. Dan perasaanku saat melihat wajahnya saat aku meluapkan rasa rinduku yang rahasia pada wajahnya teramat mengharukanku hingga semua masalahku hilang sekejap waktu.”
“Belum lagi, jika aku dan dia berbicara tanpa harus seratus persen serius layaknya orang-orang yang berpacaran, yang seolah ingin membuktikan siapa yang lebih cerdas atau bijaksana. Ya, aku akan bercanda-canda saja dengannya! Membuatnya tertawa. Aku akan menjadi seorang pemuda yang periang setiap hari. Sementara orang yang terjerat cinta, akan merasa dikejar-kejar oleh cinta yang tidak kelihatan justru setelah cinta itu menjadi nyata. Dan terbukalah matanya pada tugas-tugas seorang kekasih yang penuh dengan harapan dan kekecewaan. Sementara semua orang tidak akan melihat, bahwa aku bisa menghabiskan waktuku sendirian saja di rumah dan mendengarkan musik, meminum kopi atau wiski, mengisap ganja atau menukil sajak, dan membayangkan dirinya dengan bebas. Ditambah, aku bisa mengerjakan tugas kuliah dengan serius dan gembira. Orang bilang, ‘Cinta tidak harus memiliki,’ dan itu benar. Karena cinta yang dimiliki, menurutku, lebih berpotensi untuk menjadi milik orang lain. Mengapa menginginkan itu, jika ada keunggulan lain dalam cinta yang lain? Kau tentu tahu, suatu perasaan yang ditahan-tahan, perasaan menahan-nahan cinta, akan lebih memaksimalkan perasaan ekstase pada setiap kesempatan pertemuan. Tidak ada kebahagiaan yang lebih dahsyat daripada kegembiraan dari menahan-menahan perasaan cinta. Kau bisa menghabiskan sebanyak-banyaknya botol bir tanpa bisa memiliki cintanya, aku bisa menghabiskan sebanyak-banyaknya botol bir yang kumau dengan rasa gembira dan ‘memiliki’ cintanya. Di situlah rahasia cinta. Di situlah kemisteriusan cinta, dan aku bebas berenang di kolamnya tanpa perlu tahu dia mencintaiku atau tidak, karena itu tidak penting. Cinta itu tidak perlu dipertanyakan, cukup aku saja yang merasakan.”
“Tetapi itu semua ilusi,” kata Leon.
“Siapa yang peduli itu kenyataan atau ilusi! Sejauh itu bisa membuatmu bahagia, membuka pikiranmu, apalagi yang kaurisaukan?”
“Kau berbicara tentang candu.”
“Bukan candu. Ini jauh lebih penting daripada candu, dan tidak ada yang tahu. Karena semuanya itu tersimpan rapi di dalam hatiku,” kata Marlo.
“Ya, tapi sekarang kami sudah tahu,” kata Leon, kemudian bangkit dari kursinya dan pergi dengan jengkel menembus hujan.
“Leon! Tunggu!” kata Marlo, bangkit dari kursinya. Sementara itu, Mita terdiam dan memandang Marlo dengan perasaan haru, sama sekali tak memedulikan Leon yang baru saja berlalu. Semua yang didengarnya tiba-tiba membuat perasaan sayangnya tumbuh bersemi. Mita sama sekali tak menyangka kalau selama ini Marlo memendam rasa cinta kepadanya. Ia segera berdiri dan memeluk Marlo. Ia merasa nyaman dan perasaannya dipenuhi oleh bunga-bunga kehidupan.
“Terima kasih, Marlo,” kata Mita. Dan dalam ucapan Mita itu, ia, Marlo, merasakan sebuah masa depan cinta yang aneh yang telah menjeratnya seperti laba-laba menjerat lalat. []
Jimmy Anggara. Bekerja sebagai penerjemah. Tinggal di Jakarta. Cerita pendeknya pernah dimuat di berbagai media cetak dan digital. Cerpennya “Setelah 69 Tahun Menunggu Godot” terpilih untuk diterbitkan dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2023.
Gambar ilustrasi diolah oleh Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Jimmy Anggara
Editor: Neneng J.K.