Jendela

“Sok, banget! Dasar sipir sialan! Dirimu pun tak kalah banyak boroknya, cuman belum tercium saja.” Lanjut Paula, penuh berani. Sambil mengarahkan muka pada berdirinya Sipir.

Oleh Ridwan kamaludin

DI BAWAH jendela kotor sebab tak dihirau hadirnya ini, hari-hari datang dan pergi tanpa permisi. Bagi yang bermukim di balik jendela, sang waktu tampak tidak bersahabat lagi, yang disajikan hanya itu-itu saja; bosan-jemu, bosan-jemu, dan begitu seterusnya. Di tembok yang bernoda hitam tebal dan berkarat kerak, dapatlah ditemui segala macam bebauan, dari keringat sampai ludah yang terbuang dari mulut-mulut sepat. Yang mendiami, sangat menikmati keusangan ini, kebauan ini, kekalahan ini.

Dari deretan ruangan yang menyerupa gerbong kereta usang, terdapat satu ruang berjendela, yakni kamar nomor delapan. Kamar ini tepat hadir di pojokan, gelap, pengap, menyekap, mungkin sebab ini dihadirkan jendela, atau mungkin kebetulan saja. Ada atau tidaknya jendela, itu tidak terlalu membantu untuk menghalau kesesakan yang ada. Kamar nomor delapan ini dihuni oleh lima perempuan ragam umur, usia tidak menjadi jurang di sini, seluruhnya saling mengasihi satu sama lain, layaknya ikatan erat tali keluarga.

Ayam yang tengah melaksanakan tugasnya berkokok, juga burung yang kedinginan sebab hujan semalam, mulai berkicau menyandang tabiatnya. Waktu ini Amun tengah teringa-inga, nama ini adalah salah satu penghuni dari kamar nomor delapan. Perempuan dengan rambut mirip potongan polwan ini, ketawa-ketiwi sedari bangun tidur tadi, belum sempat mandi dan gosok gigi, dirinya sudah cengar-cengir, padahal wangi mulutnya cukup mengganggu ruangan.

Penampakan macam ini tidaklah baru, bahkan setiap hari perempuan ini berlaku hal yang sama ketika bangun tidur, dan cengengesannya terbawa sampai waktu tidur kembali. Satu kawan yang bernama Isa itu menanyai bukan karena heran tentu.

“Kenapa kamu?”
“Di padang yang tak berujung pandang, di rumput yang luas itu, ahh….”
Membayang, tedas terhanyut oleh lamunan yang tengah menggunung di dalam kepala.
“Iya, betul, enak memang nasi padang itu.”
“Bukan padang tempat itu, kampret.”
Sedikit ngambek, sebab cerita seriusnya diselewengkan.
“Padang apa, dong?”
“Padang rumput luas yang terdapat gemerlapan bunga-bunga.”
Tetap dengan cengar-cengir mirip kuda tengah kesemsem.
“Bunga-bunga itu bertempat di padang luas?”
“Ya.”
“Tuh, kan. Jadi Padang itu tempat, dong!”
“An*ng… tak… ba*i….”
Walaupun menyerapah, cengar-cengirnya tetap terpasang.

Semua penghuni kamar tertawa oleh pertengkaran hangat berisi humor alakadar ini. Hangat suasana macam begini, cukup untuk menjadi suplemen bagi orang yang terbuang dan dirundung rasa bersalah.

Amun tetap tidak hirau oleh gelak tawa yang beraroma ledekan itu, matanya hanya menampakan memutar-mutarkan retina, pipinya yang berisi, lumayan dapat dibilang memerah. Di dalam kepalanya, tengah berjalan nostalgia dengan warna sepia. Tergambar jelas walaupun tidak terlalu rinci; peristiwa ketika tubuh ini berusia dua puluh dua tahun; saat dirinya berulang tahun, sang kekasih mengajak ke kaki bukit di pinggiran desa.

Lamunan ini jauh, teramat jauh, sehingga gelap tampak kenyataan hari ini, fakta yang menyatakan bahwa dirinya kini tengah dirundung papa di dalam ruangan empat kali empat, di mana populer disebut penjara ketimbang tempat pemasyarakatan.

Arkian, masih di dalam lamunan; hari itu hari Minggu, Amun ingat betul ketika telapak kaki lembutnya berlari dengan hati-hati menginjak rumput-rumput liar di padang yang elok dan luas dari pandang mata. Genggaman tangan sang kekasih tidak dilepasnya, dipegangnya dengan erat. Keduanya berlarian seperti bocah tengah mengejar gembalanya yang kabur. Digulingkannya seluruh tubuh, merebah, serta merekahkan bajunya. Sang kekasih sigap, dihalau itu rekahan dengan dekapan, keduanya merintih nikmat penuh gairah jasmaniah.

Pemandangan sore itu, di bawah penghabisan lembayung, tepat di kiri pohon tua, sepasang kekasih itu laksana sepasang anjing dengan lidah panjang, menjilat satu sama lain, menggonggong berulang-ulang. Gonggongan terakhir dibarengi dengan keluarnya liur masing-masing.

“Oh, kekasihku…. Ketika itu, kalian tahu….”

Sambung Amun. bertanya, berharap disahut dengan baik, agar dapat tertutur itu gumpalan kenangan di dalam tempurung kepala.

“Apa?”
Masih Isa yang meladeni.
“Aku berlari bersamanya, seperti ratu dari Eropa.”
“Kau memakai mahkota, berjubah merah? Kayak kerajaan di Inggris, bukan?”
“Tentu, dengan mutiara yang gemerlapan. Kau tidak akan sampai hati melihatnya, teramat menyilaukan pandangan, saking indahnya.”

Tuturan dari lamunan itu belum selsai terucapkan dengan lengkap, sebab terganggu oleh kedatangan seorang sipir. Laki-laki dengan kumis tebal mirip ekor tupai, tambun badannya laksana gentong minyak tanah berukuran satu ton. Sipir itu bertutur, “Hei kalian para jahanam, pendosa yang tak tau malu. Pagi-pagi seperti ini sudah berisik kayak pasukan bebek. Pasti kau yang berceloteh lagi. Celoteh sang pengarang? Dasar pembohong, pendusta!! Diam sebentar, dong!! Aku belum tidur, semalam selesai jaga di bar dangdut. Hei, pengarang, apakah kau puas membunuh seorang penting dari ibu kota?”

Ucapannya lugas, matanya tajam mengarah pada sosok Amun. Saat mulutnya mengoceh, mancung congor itu bersanding dengan tangan yang menggaruk-garuk perutnya yang buncit.

Laki-laki setengah tua itu setiap paginya mengontroli tiap ruang, tidak terkecuali kamar nomor delapan ini, patrolinya selalu dilengkapi dengan ejekan penuh hardik. Alih-alih membuat para narapidana tenang dalam ruang evaluasi, yang terjadi seolah-olah pengulangan culas ujaran di mana tertutur dari mulut cempalanya.

“Dengan pandangan moral yang kaku dan keras, gampang sekali menghardik kami,” jawab salah satu napi bernama Paula, usianya paling muda di antara para penghuni kamar nomor delapan. Selain paling muda, perempuan dengan air muka garang ini paling tegap pula setiap harinya menjawab serapah dari sipir.

“Sok, banget! Dasar sipir sialan! Dirimu pun tak kalah banyak boroknya, cuman belum tercium saja,” lanjut Paula, penuh berani. Sambil mengarahkan muka pada berdirinya Sipir.

Sipir tak hirau dengan jawaban Paula, matanya tetap mengarah pada Amun seakan menunggu jawaban dari pertanyaan yang dilontarkannya. Jika Amun menjawab, pastilah pentungan itu menempel pada lehernya yang kurus. Sering terjadi hal demikian, maka dari itu Amun tahu betul apa yang mesti diperbuat dalam adegan seperti ini.

Rasa benci yang tertanam pada dada Sipir tentulah bukan tanpa sebab, cacat jiwa ini bersumbu pada ikatan kerabat dekat dengan Harahap, pimpinan perusahaan mentereng berletak di ibu kota. Amun, nama ini adalah tersangka atas pembunuhan keji terhadap pimpinan perusahaan yang memproduksi pakaian dalam perempuan. Dalam nuansa ikatan kerabat yang cemplang ini, tak dapat dipungkirilah apa yang akan terjadi pada Amun; hujatan dari sipir, tidak jarang pula mendapat pukulan dan tendangan dari sepatu laras yang bidang bentuknya. Kekerasan yang menimpa Amun, bukan dari sipir ini saja, terkadang sang sipir mengajak kawan kerjanya untuk sekadar iseng mengeluarkan Amun dari dalam sel untuk dijahili; diminta melakukan hal yang sipir itu mau, persetan Amun berkehendak atau tidak, yang pasti, kalau menolak, pentungan keras itu akan bersarang tepat di ubun-ubunnya yang mulai genjur.

“Vonis menunjuk diri ini sebagai salah, tetapi tidak lantas boleh badan ini diinjak-injak seperti onggokan tanah!” jerit Amun di dalam hati, tatkala mendapat perlakuan sipir yang menyerupa repetisi.

Jiwa berkabut papa sebab perlakuan yang semena-mena, membuatnya bersedih bukan alang-kepalang. Ia menatap jendela yang ukurannya kecil dan penuh debu, juga berterali besi. Jendela itu seperti berbicara tanpa suara, maka terjadi percakapan rahasia antara sang jendela dengan Amun:

“Ini semua adalah daun, akar serabutnya dosamu, kesalahanmu sendiri,”
tutur sang jendela yang tidak terdengar oleh siapa pun, kecuali Amun.
“Tegarlah, terimalah daun-daun ini dengan dada buncah,”
lanjut Jendela.
“Rasakan itu tendangan dan pukulan!!! Terimalah.” Masih Jendela.
“Kamu berdosa, pantas menerima ini semua!”
Tetap Jendela.
“Kamu pendosa!!”
Masih Jendela.
“Kamu pendosa!!”
Terus Jendela
!!!!!!
Terus Jendela
!!!!!!
Terus Jendela
!!!!!!
Terus Jendela
!!!!!!!

Kata yang terakhir ini terus diulang-ulang dan menggelembung, kemudian menjadi gelombang ombak dalam rasa bersalah Amun. Ia mencari cara agar umpatan dari sang Jendela tidak menjubel di dalam kepala dan dada. Ia baringkan badan yang ringkih penuh takut, kemudian ia berteriak pada sang sipir, Amun tidak perduli apa yang akan terjadi pada dirinya setelah tuturan itu diujar. Tetapi yang pasti, ia harus menutur ini, agar sang jendela tidak menyerapah seperti yang terjadi pada setiap hari, setiap detik, setiap menit, setiap jam. Dengan mata penuh kaca-kaca, ia menegaskan:

“Memang aku pembunuh si Harahap, sodara Anda itu. Aku mengakui, dan semua orang sudah tahu, aku sang pembunuh itu. Hakim sudah menjatuhkan vonis, dan aku ada di sini sekarang. Di sini untuk menebus kesalahanku. Aku hunus pisau dapur dari rumah miringku, aku tikam si Harahap sialan itu, kelaminnya aku potong-potong! Asal Anda tahu, dan kalian juga mesti tahu (kepada para penghuni kamar nomor delapan), Harahap Laksana adalah laki-laki yang sering kuceritakan itu, laki-laki yang telah berguling-guling denganku di rerumputan. Dia memang orang kaya, wajar, sebagai pimpinan perusahaan mapan. Tetapi, kekayaan itu telah menyebabkan watak yang kurang ajar, tidak mempunyai nurani….”

Napasnya ditarik dengan dalam-dalam, kemudian dikeluarkan dengan luar-luar, mata yang tadi berkaca-kaca itu, kini lain; air asin dari ujung matanya mengucur seperti air mancur. Ia tegapkan hati pada sabar, kemudian meneruskan:

“Aku hamil sebab cinta palsunya, aku beritahu kabar baik ini, dia hanya tertawa dan membawa dukun beranak untuk menggugurkan kandunganku. Ia tidak menampakkan kembali batang hidungnya yang selalu aku mimpikan itu. Yang selalu menganggu kehidupanku dalam sangkar dosa ini. Cinta dan benci, mana yang Anda gemari?”

Kalimat terakhir ini, ia sampaikan pada sang sipir, sang jendela dan para penghuni kamar nomor delapan. Seluruhnya diam, hanya jendela yang menampakan gantinya cahaya. Esok lusa masih sama, penyesalan dan kasih sayang, juga dengki terhidang dalam satu sajian pada tarikan napas Amun.[]

Ridwan Kamaludin. Tinggal di Bandung. Sempat menjadi pemimpin umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Daunjati ISBI Bandung. Beberapa tulisannya telah dimuat di media digital lokal, serta sempat terpilih untuk menjadi tamu dalam pameran sastra di salah satu universitas negeri di Indonesia. Pada tahun 2022, lakonnya dengan judul “limPung temPurung” menjadi naskah yang dipertimbangkan untuk diterbitkan oleh Kalabuku.

Gambar ilustrasi: Prison by zcuffs21 on DeviantArt

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: Ridwan Kamaludin

Editor: Ayu K. Ardi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan