Oleh A. Warits Rovi

Hanya dengan uang tujuh ratus ribu, akhirnya Toyani bisa tersenyum karena sudah punya HP Android. Ia merasa dirinya sudah tak ketinggalan zaman. Meski layarnya lusuh buram, bergaris liuk retakan bekas terjatuh, tapi HP bekas dan jadul itu cukup membuatnya bahagia.

Sebelum tidur, yang biasanya diisi dengan baca doa dan selawat hingga terlelap, kini sudah berganti dengan menatap layar, menonton YouTube sepuasnya, hingga kedua matanya perih, berkedip suram berkunang-kunang, terasa panas, lalu tertidur tanpa sengaja, dan tentu saja lupa tak berdoa. Saat bangun tidur, ia langsung mengambil HP itu kembali. Meski kadang baterainya lemah, ia menggunakannya sambil di-cas, abai pada perintah suaminya untuk segera salat Subuh.

Ia baru sadar bahwa pagi telah datang saat perlahan sorot cahaya matahari mengantar kehangatan pada kulit punggungnya—dari celah daun jendela yang patah oleh kunyahan rayap. Saat itulah ia baru sadar, dirinya lambat salat Subuh, tungku dapur belum menyala, beras belum dibasuh, tak ada air untuk bikin kopi, sedang anak-anaknya sebentar lagi akan bangun untuk makan, mandi, dan bersekolah. Suaminya akan berangkat kerja dan harus bawa bekal. Toyani baru merasa bersalah. Ia bergerak dengan tergesa, tapi waktu tak bisa diulang sebagaimana mestinya. Segalanya serba lambat. Begitu setiap hari yang ia alami, sejak lima hari lalu, setelah dirinya punya HP Android.

Seiring dengan itu, Toyani mulai minta dibuatkan akun media sosial kepada teman-temannya. Nyaris tiap empat hari sekali ia mesti mencungkil celengan anaknya dengan sebatang lidi, demi membeli paket. Atau kadang memotong jatah belanja dapur dari suaminya. Hingga lembar rupiah itu hanya cukup untuk membayar ikan kering dan seikat sawi layu.

#

Toyani menjadi makhluk baru di dunia per-WhatsApp-an. Ia masih belajar mengetik, mencoba pesan suara walau kadang salah kirim. Terkagum-kagum melihat stiker animasi yang bergerak-gerak. Sering pusing geser-geser layar mencari emoji orang tertawa yang tak kunjung ditemukan. Mulai mengunggah status WhatsApp dengan kata-kata bucin, atau kadang foto-foto alay. Ia mulai biasa foto-foto sebelum makan atau saat mengantar anaknya sekolah, dan kadang berekspresi ala gadis belasan tahun di depan kamera, lalu mengunggahnya sebagai story.

Grup WhatsApp Kumpulan Pengajian Minggu Sore salah satu yang dianggap bermanfaat olehnya. Sebagaimana teman lainnya, Toyani asyik berada di grup itu, karena Bu Nyai yang mengasuh pengajian itu tak masuk dalam grup. Setiap ada pesan, Toyani membacanya dengan tertib.

Santi: Jangan lupa besok sore pertemuan rutin di rumah Ibu Suhna ya

Iyam: Coba telepon, ingatkan lagi, soalnya Ibu Suhna tak punya HP Android.

Santi: Siap!

Hamda: Ingat Ibu Suhna, aku jadi ingat ini (mengirim foto sepiring kolak pisang, diikuti emoji orang tertawa).

Sahna: Ya, aku ingat. Jamuannya Cuma kolak pisang, hehe.

Iyam: Betul, rasanya kecut lagi, hehe

Hamda: Sudah kecut banyak semutnya (emoji tawanya lima berjajar).

Toyani mematikan HP-nya. Ia mendekat ke jendela kamarnya yang kusam. Memandang ke luar penuh tanya.

“Ini grup pengajian, tapi yang dibicarakan kok seperti itu, ya?” tanya dirinya keheranan. Ia menduga-duga, dirinya dulu pasti sering jadi bahan perbincangan saat masih belum punya HP Android.

Setelah sejenak berpikir, ia lalu kembali membuka grup WA itu. Percakapan menumpuk kembali.

Asna: Besok sore pertemuan di mana, Uy? Ayo jawab!

Iyam: di atas kan sudah ada, Bu.

Asna: Sudah saya hapus semua, karena pesan masuk terlalu banyak. Aku malas membacanya.

Toyani lalu alih pandang lagi ke luar jendela. Menggeleng-geleng. Merasa aneh dengan karakter temannya itu. Ia menarik napas panjang, lalu melepaskannya perlahan. Tewww. Seketika ada notifikasi pesan WA masuk. Cepat ia melihatnya.

Fatma: (mengirim gambar botol bergambar wanita seksi) monggo dipilih jamu rapat pelengket suami, hanya 25.000 rupiah.

“Ha?” Toyani terkejut. Kepalanya menggeleng-geleng lagi. Ia lebih terkejut beberapa menit kemudian, setelah teman-temannya ikut menawarkan dagangannya; kue, kosmetik, hingga pakaian dalam di grup WA pengajian—yang sebelumnya Toyani bayangkan cuma berisi hal-hal yang berkaitan dengan pengajian.

#

Setelah mengunggah foto di story FB dan WA, kini Toyani belajar seluk-beluk lokapasar yang diajarkan Zainab kemarin, saat sama-sama mengantar anaknya ke sekolah. Ia mengetik nama barang di kotak pencarian. Tanda pencarian berputar-putar lama di layar HP-nya. Toyani tak peduli HP tuanya itu lemot dan terasa panas di telapak tangannya. Ia sangat bahagia setelah barang yang dicarinya muncul.

Otaknya makin dipenuhi dengan bayangan barang-barang. Ia juga terperangkap dengan tulisan “Diskon” di lokapasar.

Dua hari kemudian, ia belajar bertransaksi di lokapasar itu. Membeli sepatu yang diinginkannya. Setelah Toyani menerima pesanan itu dari kurir, ia girang lompat-lompat. Merasa dirinya makin tak ketinggalan zaman. Setelah dibuka, ia langsung berkesimpulan—membeli barang secara online jauh lebih murah dan kualitasnya bagus. Ia coba memakainya. Ternyata agak seret. Terlalu kekecilan.

“Ha?” Wajahnya tampak sedih. Tapi ia tak jera. Terus memesan beberapa barang yang dicarinya. Hampir setiap hari kurir mengantar barang ke rumahnya. Mengantar sepatu, tempat sampah, blender, kosmetik, baju, racun cecak, hingga bibit bunga dan kelengkeng yang ditanam hanya bertahan dua hari lalu kering.

#

Di grup WA Penerima Bantuan, Toyani tak berlagak seperti di grup-grup lain. Dengan sendirinya ia sadar, dirinya ada di grup itu karena dianggap orang yang layak dapat bantuan, dan orang yang layak dapat bantuan adalah orang miskin.

Tewww. Notifikasi kerap muncul di grup WA-nya.

Petugas: Sekali lagi, besok semua anak ibu dibawa ya. Pukul 08.00 WIB sudah harus di tempat. Berkasnya jangan lupa bawa!

Maya: Siap, Pak. (diiringi stiker seorang hansip sedang siaga).

Stiker-stiker lain terus bermunculan dan memanjang. Disusul dengan yang bertanya lagi karena keburu menghapus pesan. Ada yang merundung temannya. Ada yang menawarkan produk tanpa peduli orang lain terganggu. Ada yang salah kirim dan menghapus kiriman walau sudah dibaca banyak orang.

Keesokan harinya, dengan motor matic tuanya, Toyani datang tepat waktu ke pendopo kecamatan. Ia tak foto-foto seperti biasanya. Bahkan sebisa mungkin ia mau merahasiakan itu kepada tetangganya. Di pendopo, ia duduk di pojok, dekat sebuah meja yang menabirinya dari banyak pandangan. Sudah begitu, ia juga memakai masker, agar orang-orang tak langsung mengenalnya.

Sambil menunggu acara penyerahan, jarinya bergerak lincah di layar HP. Memilah beberapa produk di sebuah lokapasar. Lalu dimasukkan ke gambar keranjang. Tak lupa juga memilih beberapa merek HP. Hatinya riang penuh debar. Jika bantuan yang diterima anaknya besar, maka akan digunakan untuk beli HP. Tapi jika kecil, ia akan menggunakannya hanya untuk membeli barang-barang yang juga sudah dipilih di keranjang.

Setelah melewati beberapa acara, dari pembukaan sampai sambutan-sambutan, akhirnya penyerahan bantuan tiba. Anak-anak penerima bantuan dipanggil maju ke podium satu per satu. Di podium itu mereka diberi kotak bingkisan, difoto tiga kali, lalu disuruh kembali ke orang tuanya.

Setelah anaknya selesai menerima bantuan, Toyani langsung pulang tanpa membuka terlebih dulu bingkisan itu. Sekadar mengocoknya pelan; isinya cukup ringan. Sepanjang perjalanan ke rumahnya, ia membayangkan anaknya dapat uang, sehingga bisa membeli barang-barang yang sudah ia masukkan ke keranjang lokapasar.

Setiba di rumah, Toyani langsung membuka bingkisan itu. Setelah dibuka, wajahnya mendadak hambar dengan kedua mata yang berkedip lemah. Ternyata bingkisan itu hanya berisi baju koko. Tak ada uang dan barang lainnya. Toyani menarik napas panjang, dan dilepasnya dengan rasa kecewa yang tak bisa selesai begitu saja.

Beberapa menit kemudian, kekecewaan Toyani makin membuncah ketika melihat foto anaknya yang menerima bantuan disebar di media sosial, bahkan diunggah oleh beberapa temannya. Menyebar ke mana-mana. Toyani merasa malu.

#

Sejak foto anaknya saat menerima bantuan tersebar, Toyani kembali sadar pada keadaan dirinya yang miskin. Ia berusaha tidak neko-neko di dunia maya. Hidup apa adanya. Menggunakan HP seperlunya saja.

Setelah waktu pegang HP dikurangi, ia punya waktu banyak untuk mengurus dan menemani belajar anaknya seperti dulu. Bisa leluasa memasak dan menyiapkan makanan untuk suami. Keuangan kembali teratur. Celengan anaknya kembali diisi. Ia bisa bercakap-cakap lagi seperti dulu di beranda bersama suami dan kedua anaknya, sambil cekikikan, sambil mengunyah singkong rebus campur gula siwalan.

Di fase pencapaian itu, di pagi yang senyap, tiba-tiba ada yang meminta pertemanan di FB-nya. Setelah dicek ternyata Anso, mantan pacarnya. Ia melihat dan membesarkan foto profilnya dengan dada yang tegang. Ternyata benar; dia Anso, wajahnya masih tampan. Seperti dulu. Masih bisa membuat hati Toyani bergetar.

Toyani menerima permintaan pertemanan itu. Anso mengucapkan terima kasih melalui Messenger. Toyani membalasnya. Keduanya saling silang sapa, saling bertanya kabar, saling kirim doa. Awalnya seperlunya, lalu melebar pada yang iseng-iseng, lantas guyonan, tertawa bersama dalam kiriman beragam emoji, masih saling ketik-mengetik di Messenger. Semua itu membangkitkan kenangan masa lalunya;  saat keduanya masih menulis surat di kertas.

“Eh! Apa yang bikin kamu tersenyum sendiri?”

Tiba-tiba suaminya muncul dari balik pintu. Sontak ia grogi sambil membalik HP-nya menghadap ke bawah agar layarnya tak terlihat.

“Mmm… anu, anu, Mas! Aku merasa lucu melihat komentar teman-teman di grup pengajian,” ungkapnya berbohong, wajahnya sedikit tegang.

Tanpa diduga, ternyata suaminya mengambil HP itu dengan cepat. Kemudian membaca tulisan yang tampil di layar.

#

HP itu telah penyok di bagian pojok bawah. Juga penuh garis retakan. Nyaris semua warnanya mengelupas karena benturan keras. Teronggok senyap di atas meja. Mati total setelah dibanting suaminya sore kemarin.

Toyani menatapnya dengan kedua mata berlinang air bening. Hatinya jauh lebih pecah dari HP itu. Kini dia tinggal berdua dengan kesunyian, setelah anak-anaknya dibawa pergi suaminya.

Seminggu kemudian, hatinya jauh lebih hancur lagi, sesaat setelah mendengar kabar; suaminya sudah beristri lagi. Kabar itu hampir bersamaan dengan kabar lain dari temannya, bahwa akun FB Anso itu sebenarnya kena hack dan sudah lama ada dalam kendali orang lain. Sedang Anso yang asli, masih setia dan bahagia hidup bersama istrinya di perantauan.

Toyani membanting HP mati itu hingga berkeping-keping. Sambil berurai air mata, dilihatnya kepingan itu dengan teliti—sama persis dengan hatinya.[]

Gapura, 2024

A. Warits Rovi, lahir di Sumenep, 20 Juli 1988, karya-karyanya dimuat di Kompas, Tempo, Jawa Pos, MAJAS, dll. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit: Dukun Carok dan Tongkat Kayu (Basabasi Yogyakarta, 2018), Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki (Basabasi Yogyakarta, 2020), Bertetangga Bulan (Hyang Pustaka, 2022), dan Cinta Sepasang Orang Gila (Hyang Pustaka, 2023). Buku puisinya yang berjudul Ketika Kesepian Pecah Jadi Ribuan Kaca Jendela terpilih sebagai pemenang II di Pekan Literasi Bank Indonesia, 2020. Juara I Lomba Cipta Puisi Nasional Tulis.me, 2021. Juara I Lomba Cipta Puisi Hari Bumi tingkat nasional FAM 2017. Juara I Lomba Cipta Puisi Nasional Komunitas Saung Lisung 2021. Juara I Lomba Cipta Puisi Nasional tema K. H. R. As’ad Syamsul Arifin (IKSAS Bondowoso, 2018). Juara I Lomba Cipta Puisi Nasional Syukur Waktu (Komunitas Cermin Tasikmalaya 2023). Juara II Lomba Cipta Puisi Tingkat ASEAN (Yayasan Kajian Nusantara Raya 2024). Juara II Lomba Cipta Puisi Penerbit Satria Publisher (2022). Juara II Lomba Cipta Puisi Nasional Inspirasi Pena (2022). Juara II Lomba Cipta Cerpen ICLaw Green Pen Award 2019. Juara II Lomba Cipta Cerpen Remaja tingkat nasional FAM 2016, dll. Juara II Lomba Cipta Cerpen nongkrong.co, 2021. Kini aktif di Komunitas Damar Korong dan membina penulisan sastra di Sanggar 7 Kejora Al-Huda Gapura.

Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi AI.

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: A. Warits Rovi

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan