Oleh Muhammad Subhan
JALAN adalah ruang. Jalan adalah arah. Jalan adalah waktu yang bergerak.
Kita berjalan setiap hari. Secara fisik maupun batin. Ada jalan kaki. Ada jalan pikiran. Ada jalan hidup.
Di jalan, kita bertemu sesama. Berpapasan. Bersalaman. Kadang saling melambaikan tangan. Kadang saling menyerobot. Kadang saling menyingkir.
Banyak jalan menuju Roma. Begitu kata peribahasa. Tapi menuju Roma pun bisa disesatkan. Jika tak tahu arah. Atau jika kita percaya pada penunjuk jalan yang palsu.
Ada jalan lurus. Ada jalan bengkok. Ada jalan gelap. Ada jalan terang. Semua bisa dipilih. Semua berujung pada konsekuensi.
Tapi ada pula manusia yang tak rela orang lain lewat. Ia tutup jalan. Ia pagari arah. Ia taburi paku. Tak ingin orang lain lebih cepat sampai. Tak ingin orang nyaman berjalan. Tak ingin orang lain menemukan terang.
Ia bukan sekadar tersesat—ia menyesatkan. Ada manusia seperti itu. Ia bukan rambu, tapi jebakan.
Peribahasa yang lain mengungkapkan, kasih ibu sepanjang jalan. Doanya menjemput kita jauh sebelum kaki melangkah. Ketulusan itu membentang, bahkan saat kita sendiri lupa arah pulang.
Ada juga jalan kenangan. Dan jalan kenangan itu pahit-manis. Kita pernah tersungkur di sana. Pernah tertawa kecil. Pernah berdarah. Pernah berpelukan. Dan tak semua jalan kenangan layak dilalui ulang.
Sementara jalan tikus bukan sekadar jalan kecil. Ia metafora kecerdikan. Atau kejahatan yang tersembunyi.
Kadang kita dibisikkan jalan tikus untuk menyiasati aturan. Tapi, apa yang tampak mudah belum tentu benar.
Jalan hidup setiap orang berbeda. Ada yang lapang, ada yang sempit. Ada yang berliku. Ada yang ditaburi bunga. Ada yang disesaki duri. Tapi setiap jalan adalah ujian.
Yang pasti, kita semua berjalan. Ke sekolah. Ke kantor. Ke pasar. Ke rumah ibadah. Ke rumah sakit. Pun ke pemakaman.
Tapi tak semua perjalanan itu berarti kita tahu ke mana arah hidup sebenarnya.
Banyak yang hanya ikut arus. Jalan karena melihat orang lain berjalan. Mengekor, bukan melangkah. Mengikuti, bukan menentukan.
Kita bisa memilih untuk menempuh jalan yang benar, atau sebaliknya—tersesat dalam jalan yang licin.
Tentu, jalan bukan hanya urusan lalu lintas. Ini juga urusan mental.
Jalan punya aturannya. Punya rambu. Punya marka. Tujuannya satu: keselamatan bersama.
Tapi sebagian orang mengira aturan itu dibuat untuk orang lain. Bukan untuk dirinya. Mereka ingin melaju di atas jalan umum dengan ego pribadi. Akibatnya, macet. Bukan hanya macet kendaraan, tapi juga macet akal sehat.
Macet bukan sekadar soal kendaraan yang berhenti tak bergerak. Macet juga bisa berarti terjebak dalam kehidupan yang tak menentu. Macet keputusan. Macet pola pikir yang berakibat sesat pikir. Macet nurani. Macet karena terlalu banyak ambisi, tapi miskin pertimbangan.
Kadang kita bertemu persimpangan. Ada dua, tiga, bahkan empat arah. Semua tampak benar. Semua tampak menjanjikan. Tapi kita hanya bisa memilih satu. Dan itu cukup membuat gelisah. Sebab sekali memilih, kita harus menanggung risikonya.
Dalam hidup, ada orang-orang yang menempuh jalan sunyi. Tak ramai. Tak gemerlap. Tapi mereka tetap berjalan. Pelan. Diam-diam. Konsisten. Mereka tahu bahwa cahaya tak selalu ada di tempat terang. Kadang justru muncul dari ujung kesendirian yang panjang.
Lalu ada juga yang merasa dirinya pionir. Membuka jalan. Menebas semak. Membawa obor. Tapi begitu jalan itu mulai ramai, ia dilupakan. Nama mereka tak dicatat. Kadang malah disingkirkan oleh mereka yang baru datang tapi lebih pandai bersuara, menjilat, dan ambil muka.
Hidup ini adalah jalan panjang dengan banyak belokan. Kadang kita harus berhenti sejenak. Menengok peta. Merenung arah.
Tapi sebagian dari kita takut berhenti. Takut tertinggal. Padahal, berhenti sesaat justru bisa menyelamatkan dari tersesat.
Dalam Islam, kita diajarkan satu permintaan paling penting: Ihdinas shiratal mustaqim, ‘tunjukilah kami jalan yang lurus’. Itu doa inti. Bahkan diulang lima kali sehari.
Artinya, manusia memang lemah dalam urusan arah. Ia bisa tahu banyak hal, tapi soal jalan hidup, ia mudah goyah.
Jalan hidup tidak selalu terangnya pagi. Bisa jadi seperti senja yang sayu. Kadang seperti lorong gelap tanpa cahaya. Tapi jika niat jernih, kaki kuat, dan kompas batin menyala, jalan itu tetap akan membawa ke tujuan yang ditempuh.
Yang menjadi persoalan; banyak yang berjalan tapi tak tahu ke mana ingin sampai. Banyak yang terburu-buru, tapi lupa arah. Banyak yang ingin cepat tiba, tapi tak tahu apa yang dicari.
Di akhir hidup, semua jalan akan berhenti. Tak ada lagi belokan. Tak ada lagi rambu. Tak ada lagi suara klakson. Hanya ada jalan sunyi menuju tanah. Jalan kembali. Jalan pulang. Kita menyebutnya; liang lahat.
Karena itu, selama masih ada waktu, selama kaki belum lumpuh oleh keliru, selama hati belum membeku oleh angkuh, baiknya banyak duduk merenung. Bertanya diam-diam: Sudahkah jalan yang ditempuh benar?
Sebab, hakikatnya, hidup ini bukan soal siapa yang lebih cepat sampai. Tapi siapa yang lebih tahu, untuk apa ia berjalan. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah