Jalan Pulang

Pendidikan sejati adalah jalan pulang menuju nilai-nilai kemanusiaan. Ia menyambung masa lalu dan masa kini demi masa depan yang lebih bijak dan berakar.

Oleh Muhammad Subhan

MENGARANG itu gampang, kata pengarang Arswendo Atmowiloto dalam bukunya. Saya belajar dari buku itu. Isinya bertanya jawab. Mengalir. Asyik.

Buku itu saya temukan di perpustakaan kota, di Lhokseumawe. Jaraknya sekitar setengah jam dari rumah saya di Desa Keude Krueng Geukueh. Desa kecil yang diapit perusahaan-perusahaan raksasa: PT Pupuk Iskandar Muda dan PT ASEAN.

Itu sekitar tahun ’90-an. Saya masih SMA. Kesukaan membaca membawa saya dari satu perpustakaan ke perpustakaan lainnya. Buku-buku di perpustakaan sekolah ludes saya baca. Sering diulang-ulang. Ketika puncak bosan tiba, saya ke perpustakaan kota.

Buku Arswendo itulah yang memantik bara kepengarangan saya. Hingga sekarang. Dan siapa sangka, mengarang telah menjadi kebutuhan. Juga pekerjaan. Jalan hidup. Khususnya saat di perantauan.

Guru-guru saya semasa SMP dan SMA punya kebiasaan unik. Setiap kali murid melakukan kesalahan, mereka menghukum dengan bijak. Murid disuruh mengarang. Menulis cerita. Atau puisi. Bebas. Lalu dibacakan di depan kelas. Tapi lebih sering menulis tentang kesalahan apa yang telah diperbuat hari itu. Dan jangan sampai diulangi kembali.

Medsos tentu belum ada. Kepala-kepala tak banyak menunduk seperti orang sekarang karena terhipnotis gawai. Kebersamaan paling ditunggu—dengan segala cerita suka, duka, dan lukanya.

Pendidikan yang mendidik—guru tidak sekadar mengajar di depan kelas—menjadi simbol membangun pendidikan berkarakter di sekolah. Hukuman-hukuman yang diberikan juga mendidik. Buah dari hukuman—disuruh mengarang itu salah satunya—membuahkan hasil yang tak disangka: menjadikan anak didik mereka sebagai pengarang. Atau pekerjaan-pekerjaan lain di kemudian hari.

Demikianlah, pendidikan adalah pohon. Ia tumbuh ke atas. Tapi juga berakar ke bawah. Yang kokoh adalah yang menyerap sari tanah—bukan yang mencabut dirinya dari bumi.

Zaman bergerak cepat. Dunia berubah setiap detik. Gawai menyala. Layar menyihir. Masa silam lambat laun mulai dilupakan.

Di tengah kegilaan pembaruan, pendidikan kita kadang terlalu tergesa. Mengejar kurikulum yang terus berganti. Lupa kearifan. Mencari metode. Lupa makna.

Padahal, pendidikan sejati bukan meniadakan yang lama. Ia menyempurnakan. Ia menenun benang masa lalu dan masa kini menjadi kain masa depan. Ia mendengar suara nenek moyang. Dan menyuarakannya dalam bahasa zaman.

Dulu, di kampung-kampung, orang gotong royong membangun rumah. Bukan sekadar kayu dan paku yang bertemu. Tapi hati, doa, dan harapan.

Kini, kita bisa menyebutnya project-based learning atau kolaborasi lintas mata pelajaran. Semangatnya tetap sama: berbagi kerja. Berbagi rasa. Tapi suasananya sudah berbeda.

Di surau, anak-anak mengaji. Belajar huruf Arab, dan juga adab. Mereka tahu kapan harus bicara, kapan diam. Mereka tidak hanya cerdas. Tapi juga tahu diri.

Hari ini, itu bisa disebut pendidikan karakter berbasis spiritualitas. Tapi esensinya tetap: rendah hati. Bertanggung jawab. Hidup sederhana. Meski, tak ada lagi anak laki-laki yang disuruh gaek-nya tidur di surau.

Cerita rakyat dulu jadi suluh malam. Di bawah lampu petromaks, ayah, ibu, kakek, atau nenek berkisah tentang Malin Kundang si anak durhaka. Tentang kesombongan dan kutukan. Tentang ibu dan luka.

Hari ini, cerita-cerita itu nyaris tenggelam oleh animasi asing atau game online. Padahal, di sana tertanam nilai-nilai. Kejujuran. Keberanian. Cinta keluarga.

Guru hari ini bisa mengajak murid menulis ulang cerita itu. Memberi tafsir baru pada kisah lama. Bukan nostalgia. Tapi penyadaran. Bahwa identitas dimulai dari cerita yang kita wariskan.

Dulu, jika bertemu guru, kita menunduk. Mencium tangan dengan takzim. Sekarang, barangkali bentuknya berbeda—bertemu tinju seperti sapaan di masa pandemi, misalnya. Tapi rasa hormat itu jangan lenyap.

Di era digital, adab pun harus bertumbuh. Menghargai dalam ruang siber. Berbahasa santun di media sosial. Tidak sembarangan menyebar berita. Tidak mudah mencaci tanpa bukti. Jangan pula menjadi penyebar hoaks.

Adat juga mengajarkan ekologi. Masyarakat tahu pohon mana yang boleh ditebang. Laut mana yang boleh diarungi. Tanah mana yang keramat.

Hutan bukan hanya kayu. Ia adalah jiwa. Kini, kita menyebutnya konservasi. Tapi dulu, sudah diajarkan tanpa buku. Manusia dan alam saling menjaga.

Musyawarah bukan sekadar diskusi. Ia adalah ruang mendengar. Semua suara dihargai. Bukan yang lantang yang menang. Tapi yang bijak.

Sekolah hari ini bisa menghidupkannya lewat forum siswa. Mufakat dilatih sejak dini. Agar demokrasi bukan hanya hak pilih. Tapi juga sikap hidup.

Namun, dunia kini berubah. Orang makin sibuk dengan dirinya sendiri. Anak-anak lebih hafal nama karakter virtual daripada nama tetangga. Padahal, kalau sakit, tetanggalah orang pertama yang mengetuk pintu dan menolong.

Orang tua tak sempat lagi mendongeng. Anak tak sempat bertanya. Ruang publik makin sunyi. Yang riuh hanya notifikasi. Bahkan, di rumah pun kadang tak saling sapa.

Pendidikan lalu menghadapi tantangan besar: membangun kembali rasa. Menyulam kembali yang tercerai.

Sekolah tak boleh sekadar tempat belajar angka dan huruf. Ia harus jadi rumah pertemuan. Tempat anak-anak belajar menjadi manusia. Yang peduli. Yang berbagi. Yang memahami.

Program pengabdian. Kerja komunitas. Kelas terbuka—semua bisa jadi alat untuk menumbuhkan kembali akar itu. Bukan sekadar untuk mengejar nilai rapor. Tapi untuk nilai kehidupan.

Kita pun harus mengubah cara pandang. Bahwa kita bukan memulai dari kosong. Kita melanjutkan perjalanan panjang. Warisan yang bijak bukan untuk disimpan di museum. Tapi untuk dihidupkan kembali dalam wajah yang baru.

Kita tidak sedang membangun menara di atas pasir. Kita sedang menata ulang rumah di atas fondasi yang kuat.

Modernitas bukan musuh tradisi. Keduanya bisa berdamai. Asal kita tidak silau pada yang baru. Dan tidak asing pada yang lama.

Akhirnya, pendidikan adalah jalan pulang. Pulang kepada nilai-nilai. Pulang kepada kemanusiaan.

Dan, siapa yang pulang, tahu ke mana ia akan melangkah esok hari. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.

Lukisan sebagai ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan