Oleh Wuriyanti
Setelah resign dari pekerjaan yang beberapa tahun ia geluti, Sekar akhirnya mendapatkan mata pencarian baru. Ia merasa senang karena dari sekian yang dilamar akhirnya ada yang nyantol juga. Walau jaraknya agak jauh dari rumah namun ia tak menyia-nyiakan peluang itu. Dijambanginya dengan penuh rasa cita. Baginya perjalanan adalah saat yang tepat untuk berpikir dan muhasabah diri. Maka dari itu rutinitas padatnya pagi tak membuatnya jengah.
Sebenarnya, Sekar tak menyangka kalau ia akan kembali bekerja. Di usianya yang tak lagi muda, ia menyadari sulit baginya diterima di sebuah perusahaan. Oleh karena itu, ia sangat bersyukur atas karunia ini dan berjanji pada dirinya akan mencurahkan segenap tenaganya agar bekerja semaksimal mungkin, memberikan yang terbaik.
Pagi yang cerah menyingsing dari ufuk timur, sisa-sisa embun menyejukkan kulit. Teriknya mentari menghangatkan bumi yang tersiram basah akibat hujan semalam. Jalanan tergenang, air mengguyur kendaraan yang melintas. Lalu lalang orang menjadi pemandangan lumrah menyesaki jalanan yang padat merayap.
Tak terasa beberapa menit telah berlalu, sampailah Sekar di depan gerbang. Tiba-tiba dia dihadang seseorang berseragam di depan gerbang seraya berkata, “Mau ketemu siapa, Bu?” Tubuh Sekar berjingkat kaget, “Oh maaf saya karyawan baru,” jawab Sekar menjelaskan.
“Boleh liat ID Card-nya?” tanyanya lagi.
“Saya belum memiliki tanda pengenal, baru empat hari, masih proses!” ungkap Sekar.
“Baik, demi keamanan bersama, silakan mengisi buku tamu dan tinggalkan KTP-nya,” ujar Satpam melirik buku di atas meja.
Sekar melihat beberapa orang yang melintas juga diperlakukan persis seperti dirinya. Ternyata setiap orang yang hendak masuk ke gedung harus mempunyai kartu tanda pengenal tanpa pandang bulu. Mungkin karena pekerjanya ratusan yang terdiri dari berbagai divisi jadi tidak saling mengenal, untuk itu wajib mengenakan atribut, demi menjaga keamanan lingkungan sekitar. Sangat berbeda jauh dengan tempat kerjanya yang dulu.
***
Sekar melangkah santai menuju ke lantai empat tempatnya bekerja. Ia berjalan menapaki tangga demi tangga. Namun, tiba-tiba ia terkejut. Matanya terbelalak hampir copot. Dari matanya ia melihat kaca jendela remuk. Suguhan pagi yang menciutkan nyali.
Tak percaya dengan apa yang dilihatnya, badannya kaku enggan bergerak. Rasa gentar tiba-tiba menyelimuti relung kalbunya. Dengan tergesa Sekar segera mengambil ponsel memotret serpihan kaca yang tak lagi utuh sebagai bahan laporan.
Hatinya berkecamuk. Rasa sesal menghampiri. Mengapa kemarin kunci toko dititipkannya ke seseorang yang belum dikenal sifat dan wataknya. Memasrahkan begitu mudahnya kepada seseorang yang tidak jelas asal-usulnya.
“Kenapa peristiwa itu terjadi ketika rasa percaya itu mulai tumbuh?” gumam Sekar berseteru seorang diri.
Diketiklah kata-kata yang tepat untuk mengabari perihal tragedi tersebut agar bos mengerti posisinya. Biar tidak memancing amarah. Harap-harap cemas ia menunggu balasan atasannya. Perasaan takut menjalar ke seluruh tubuhnya. Tak terasa bulir bening mengalir rapuh di kedua pipinya. Kekhawatiran yang akan timbul akibat kejadian tersebut yang membuatnya harus menanggalkan pekerjaan yang digelutinya.
Terbayang olehnya bagaimana ia berjuang untuk mendapatkan pekerjaan ini. Dari mulai wawancara, tes seleksi yang harus dilalui berkompetisi dengan yang lain. Begitu sulit aral rintang yang harus ditaklukkan. Baru beberapa hari hanya karena kecerobohan setimpal haruskah merelakan jerih usaha yang ia upayakan? Gerutunya terdengar lirih.
Hatinya gamang, menimbulkan perasaan-perasaan yang tidak menentu, hilir mudik memenuhi alam bawah sadarnya. Jangan-jangan nanti ia dimarahi, jangan-jangan upahnya akan dipotong untuk mengganti barang yang rusak. Lantas, bagaimana mengganti uang untuk keseharian kebutuhan keluarga yang bergantung pada honornya? Jangan-jangan …. Aaarrggghhhh …. Bayang-bayang ketakutan berjubel memenuhi kepala semakin menambah kalut isi otaknya.
Tangannya mulai bergerilya mengumpulkan serakan pecahan kaca dengan waspada. Disapunya butiran kaca yang terhampar di lantai. Memungutinya dengan penuh kehati-hatian. Matanya menyisir seluruh penjuru, memastikan tidak ada yang ketinggalan. Jangan sampai keteledorannya berimbas fatal melukai siapa saja yang akan melintas di ruangan tersebut.
Sebenarnya ia mempunyai firasat akan terjadi hal ini, dari kemarin dadanya berdebar keras tidak karuan. Berkali-kali mengucap istigfar untuk menenangkan diri. Menepis pikiran jelek yang terlintas di benak, berharap semua akan baik-baik saja. Ternyata, inilah yang membikin suasana hatinya tak menentu.
Memang benar kata orang tua zaman dulu bahwa mujur tak dapat diraih malang tak dapat ditolak karena merupakan ketentuan yang Maha Kuasa. Oleh karenanya sebagai makhluk Tuhan harus menerima dengan lapang dada. Ditariknya napas dalam-dalam, wujud kepasrahan diri dengan kondisi yang ada.
Derap langkah seseorang terdengar di telinga membuyarkan lamunannya. Bergegas ia bangkit dari tempat duduknya, mengintip dari celah jendela siapa gerangan yang datang.
“Bagaimana ceritanya jendela itu pecah?” tanya Adnan, sang bos, nyelonong masuk.
“Nda tau, ketika saya baru masuk udah pecah!” jawab Sekar gemetaran. “Tapi seingat saya kemarin di atas meja ada jam tangan dan tas selempang, sekarang sudah raib!” tukas Sekar lagi, sambil nunjuk ke arah meja.
“Berarti orang itu yang memecahkan kaca!”
“Apa iya senekat itu dia? Apa salahnya izin ambil ketika ada saya?” balas Sekar.
“Tidak semua orang sama, ada sebagian yang menempuh jalan pintas untuk suatu tujuan” celoteh Herman, teman Sekar.
“Engsel meja kok bisa lepas, ya?” tanya Adnan heran.
“Mungkin terlalu banyak barang, sehingga engselnya tidak kuat menopang berat di atasnya!” jawab Herman.
“Kalau barang tidak akan seberat ini, paling juga ada yang iseng duduk di atas meja!” jelas Sekar mengutarakan pendapatnya.
“Lantas, bagaimana dia masuk? Bukannya pintu dikunci?” ucap Adnan seraya melirik ke arah pintu.
“Kemarin ada yang pinjam kunci. Katanya mau masukin barang yang baru datang dan memajangnya, makanya saya berikan.”
“Harusnya jangan dipinjamkan, kecuali awakmu ada di sini dan mengawasinya,” tegas Adnan. “Apa pun alasannya, kunci harus tetap dipegang jenengan dan jangan sekali pun meminjamkannya!”
“Baik, Pak. Saya akan ingat pesan Bapak!” ucap Sekar pelan menundukkan kepalanya.
Sepeninggal bosnya, Sekar menghela napas lega. Kekhawatirannya tidak terbukti. Sepoi angin merasuk ke ruang kalbu yang sendu. Mengempas ketegangan yang hinggap tanpa permisi. Teriring lembut rasa syukur terhadap Sang Pencipta.
Ternyata, apa pun masalahnya, jika dihadapi dengan tenang akan membuahkan kebaikan. Perilaku jujur dan pasrahlah yang memberikan kekuatan untuk bersikap tegar menghadapi situasi yang tak bersahabat walau apa pun resikonya. Sikap keterbukaan dan apa adanya adalah salah satu sebab menumbuhkan kepercayaan orang lain terhadap kita. Setiap masalah pasti ada solusi penyelesaiannya. Insiden hari ini semakin mendewasakan Sekar agar ia lebih berhati-hati dalam mengambil sikap dan perbuatan. (*)
Wuriyanti
Pustakawan Sekolah Tinggi Agama Islam Al-bahjah Cirebon.
Penulis: Wuriyanti
Editor: Muhammad Subhan