Oleh Erniati Efendi
IMELDA memeluk Anna, sahabatnya. Digenggaman Anna, sepucuk surat dari John tengah ditangisi. Sungguh tega John pada Anna. Imelda bingung bagaimana dia akan menyikapi situasi aneh ini.
“Kenapa dia tidak jujur sejak awal kalau dia menyukaimu, bukan aku,” ujar Anna, terisak dalam pelukan sahabatnya itu.
“Aku akan bicara dengannya, Anna. Aku akan menghajarnya.”
Anna menggeleng, menolak ide Imelda. Setelah segala hal-hal manis John kepada Anna, dan kencan-kencan yang mereka jalani, tatapan hangat dan berbinar, semua hanya upaya untuk mendekati Imelda. Anna merasa bodoh. Tidak semestinya merespons begitu antusias pada sikap-sikap manis John.
“Pulanglah, Imelda. Aku ingin sendiri,” pinta Anna sambil menelungkupkan wajah ke bantal.
Imelda keluar dari rumah Anna, berjalan menuju pria yang sudah menantinya di ujung jalan. Pria itu tampak bersemangat menyambutnya. Tanpa bertanya, John menawarkan untuk mengantarnya pulang. Imelda hanya bisa setuju dan membiarkan situasi normal untuk sementara. Imelda hanya ditugaskan mengantar surat milik John untuk Anna seperti sebelum-sebelumnya, tanpa John tahu apa yang terjadi sebenarnya hari ini.
“Kenapa lama sekali tadi?” John bertanya di sela-sela langkah keduanya menuju jalan ke rumah Imelda yang tidak terlalu jauh.
“Iya, Anna ingin aku menemaninya membaca suratmu.”
John hanya mengangguk paham. Senyumnya masih merekah tanpa berkurang sedikit pun. Menandakan kepuasan dalam hatinya yang kian membuncah. Namun, Imelda segera menghentikan hati yang tengah berbunga-bunga itu tepat sesampainya di depan rumahnya.
“Ini surat dari Anna untukmu.”
John menerimanya dengan wajah yang sama bahagianya. Semakin dibaca, senyumnya kian hilang karena begitu fokus, lalu senyumnya kembali terbit saat berpamitan pada Imelda. Imelda tentu tahu betul isi surat itu. Mungkin John tersenyum untuk menutupi segalanya, agar ekspresinya tidak terbaca oleh Imelda.
Selang satu minggu, Anna benar-benar menghilang bersama keluarganya. Tetangganya bilang kalau mereka pergi berlibur. Imelda tentu tahu tujuan liburan itu untuk memulihkan Anna yang begitu terpukul dan malu. Anna sampai tidak mau berbicara pada siapa pun, termasuk Imelda sahabatnya. Namun, tidak Imelda sangka jika kabar selanjutnya sanggup membuatnya begitu ketakutan. Anna telah tiada, kabarnya gadis itu menceburkan diri ke laut.
Imelda yang tengah berada di kamar mendengar ayahnya mengetuk pintu. Imelda akhirnya membuka pintu kamarnya dan mendapati John di sana bersama ayahnya. John meminta izin untuk berbincang di luar. Gadis itu tidak bisa menolak, meraih jaket dan duduk di kursi panjang belakang rumahnya, seraya menatap kuda peliharaan ayahnya.
John begitu murung, ketakutan, dan terlihat masih syok. Kantung matanya menghitam, sama seperti keadaan Imelda saat ini. Namun, mungkin perasaan John adalah patah hati, bukan seperti Imelda yang diselimuti ketakutan dan rasa bersalah. Sejak itu, John tidak lagi pernah datang dan terlihat di mana pun. Imelda kian terpuruk atas rasa bersalahnya yang tidak tersampaikan.
Penyebab Anna tiada adalah dirinya. Imelda tidak menyangka Anna akan mengakhiri hidup karena cintanya kepada John. Semua bermula atas kecemburuan Imelda kepada Anna. Dia yang mengenal John lebih dulu, Imelda juga yang menyatakan cinta lebih dulu pada lelaki itu, atas penolakan John, Imelda memutuskan merenggangkan hubungan Anna dan John. Semua diawali dari surat yang Anna terima terakhir kali adalah Imelda yang menukarnya dengan surat tulisannya.
Imelda hanya ingin keduanya renggang, seperti John yang menolaknya dan memilih berteman saja, dan menjadikannya pengantar surat cinta keduanya. Rasa patah hati itu membakarnya, membuatnya berpikir licik untuk menukar surat itu dengan isi yang sangat berbeda. Surat yang Imelda berikan pada John waktu itu juga bukan dari Anna, isinya bahkan adalah kata perpisahan yang seakan-akan mendukung kejadian meninggalnya Anna. Bertahun-tahun Imelda menyimpan rahasia itu, menanggung beban rasa bersalah, hingga rambutnya mulai rontok. Penyakit mulai menyukainya sebagai tempat bernaung.
Hingga, orang tuanya wafat, Imelda terlunta-lunta dengan bibir yang terus menggumamkan nama John dan Anna yang cintanya telah dia rusak hanya dengan satu kesalahpahaman yang dia ciptakan. Sejak Anna tiada, John menghilang. Imelda tidak hanya kehilangan sahabat, tetapi juga cintanya. Namun, dia telah merenggut cinta John, dan merenggut nyawa Anna. Dia membayar kesalahan itu dengan hari-hari penuh penyiksaan atas penyesalan yang panjang.
*
“Nenek Imelda! Nenek Imelda!” Perawat itu terus memanggil-manggil wanita yang duduk di kursi roda dengan mata tertutup.
Kepanikan itu berangsur pulih saat Nenek Imelda membuka matanya yang kuyu. Imelda terbangun dari tidurnya, tetapi lamunannya kembali menguasai saat matanya terbuka. Di belakang panti jompo yang sudi menampungnya itu, Imelda sering menghabiskan waktu bersama perawat muda bernama Lusiana. Hampir setiap hari Lusiana selalu mendengar cerita yang sama dari Imelda. Sebab Imelda hanya mengingat satu kisah, dan terus mengulangnya tiap ada yang sudi memasang telinga.
“Mungkin penyebab aku tidak kunjung tiada ialah dosa-dosa.”
Dengan suara rentanya Imelda melamunkan wajah-wajah lama. Wajah sahabatnya, yaitu Anna dan John yang sangat dia sayangi.
“Itu semua salahku. Salahku!” gumam Imelda sembari meremas-remas rok plisketnya.
Perawat itu terlebih dahulu memberikan sebutir obat untuk Imelda. Obat itu mungkin tidak lagi mampu menyembuhkan Imelda, tetapi kali ini Imelda menolak menelan obatnya. Imelda merasa meminum racun yang tidak kunjung membuatnya tiada. Hal itu hanya kian menyiksa. Lusiana yang menyadari keanehan pada Imelda hanya bisa menuruti keinginannya.
Lusiana yang ingin membantu mencari teman Nenek Imelda pun tidak tahu harus mencari ke mana. Apakah pria bernama John itu telah wafat juga menyusul Anna, atau masih hidup di ujung dunia, Lusiana bingung. Gadis itu hanya merasa kasihan melihat wanita tua yang menghabiskan hidupnya untuk penyesalan.
Dalam kebingungan itu, Lusiana mendapat telepon, membaca namanya saja sudah membuatnya tersenyum dan langsung menjawabnya.
“Kakek Jhon, aku merindukanmu!”
“Kalau begitu, pulanglah, Ana. Aku di rumahmu.” Lusiana menutup teleponnya dengan senyum penuh kerinduan, tetapi saat kepalanya menoleh, dia mendapati Nenek Imelda terkulai lemas di kursi rodanya.
“John. John.” Itu adalah gumaman terakhir yang Lusiana dengar. Hingga akhirnya Lusiana berteriak memanggil Imelda tanpa sahutan lagi.
“Nenek Imelda! Nenek Imelda!”[]
Erniati Efendi. Gadis yang tinggal di Banjarnegara, aktif menjadi penulis sejak 2017. Telah menerbitkan empat novel dan belasan antologi. Salah satu novelnya berjudul Duga.
Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Erniati Efendi.
Editor: Neneng JK