Ikhlas

Tanpa ikhlas, hidup ini hanyalah beban yang semakin berat dipikul; maka belajarlah untuk melepaskan, agar jiwa benar-benar merdeka.

Oleh Muhammad Subhan

IKHLAS seperti orang buang hajat. Setelah lepas, tak lagi diingat apa yang telah masuk ke perut sebelumnya. Tak ada rindu. Tak ada sesal. Hanya lega.

Ikhlas seperti seorang tukang parkir yang dititipi mobil mewah. Saat si empunya mengambilnya kembali, ia tak mengeluh. Tak marah. Sebab, mobil itu bukan miliknya. Tak ada yang perlu disesali.

Ikhlas, kata KBBI, berarti ‘bersih hati’, ‘tulus hati’. Tapi bersih hati itu seperti apa? Seperti air sungai yang mengalir tanpa menoleh ke hulunya? Atau seperti angin yang menyapa daun tanpa mengharap tepuk tangan?

Menurut Imam Al-Ghazali, ikhlas adalah melakukan amal kebaikan semata-mata karena Allah. Tak ada motif tersembunyi. Tak ada harapan balas jasa. Hanya memberi dan pergi. Lalu melupakan.

Al-Qur’an mengajarkan bahwa ikhlas adalah melakukan sesuatu tanpa pamrih. Tanpa ingin dipuji, tanpa berharap imbalan. Sebab amal yang bercampur pamrih adalah gula yang larut dalam racun, manis di lidah tapi mematikan hati.

Namun, manusia bukan malaikat. Ikhlas bukan perkara mudah. Kita berbuat baik, lalu diam-diam berharap ada yang melihat. Kita memberi, tapi masih ingin disebut dermawan. Kita membantu, tapi ingin diingat jasanya. Inilah yang membuat ikhlas menjadi ilmu langit, tapi seringkali jatuh ke tanah.

Seorang guru memberi ilmunya setiap hari. Murid-muridnya tumbuh, pergi, lupa menyapa. Jika ia ikhlas, tak ada kecewa. Ilmu itu hakikatnya titipan, ia hanya perantara. Tapi jika hatinya berharap dikenang, luka pun mengadang.

Seorang ibu mengandung, melahirkan, membesarkan dengan segenap jiwa. Anaknya tumbuh, lalu melupakan segala jerih payahnya. Jika sang ibu ikhlas, hatinya lapang. Tapi jika tidak, air matanya akan menjadi sungai kesedihan. Sepanjang usia.

Ikhlas juga diuji saat kehilangan. Rumah terbakar, harta lenyap, bisnis merugi, orang yang dicintai pergi. Jika hati masih mencengkeram, sakitnya tak tertanggungkan. Tapi jika bisa melepas, hidup terus mengalir. Seperti air sungai yang mengerti bahwa semua yang datang pasti berlalu.

Ikhlas adalah seni melepaskan. Tak semua yang kita genggam bisa kita miliki selamanya.

Dunia ini tempat singgah, bukan tempat tinggal. Kita hanya penumpang, bukan pemilik. Bahkan tubuh yang kita kenakan ini, kelak harus kita kembalikan. Kepada Sang Maha Pemilik.

Kadang-kadang, ikhlas datang bersama air mata. Saat kehilangan yang kita sayangi, saat harapan pupus, saat doa-doa tak berjawab.

Tapi justru di situlah kebebasan sejati. Ketika kita berhenti menggenggam sesuatu yang memang bukan untuk kita, kita akan menemukan ketenangan yang tak bisa dibeli dengan apa pun.

Ada kisah seorang petani yang kehilangan satu-satunya sapi. Orang-orang di sekitarnya merasa iba. Tapi petani itu tersenyum dan berkata, “Siapa tahu ini berkah?” Beberapa hari kemudian, ia menemukan sekawanan sapi liar yang tersesat ke ladangnya. Ia telah kehilangan seekor sapi, tapi mendapat beberapa ekor sapi liar.

Ikhlas bukan berarti menyerah, tapi percaya bahwa segala sesuatu punya tempatnya.

Maka, jika memberi, lupakan. Jika berbuat baik, jangan mengingatnya.

Jika kehilangan, jangan menangisi takdir. Sebab ikhlas adalah kunci kebahagiaan.

Seperti dikatakan Jalaluddin Rumi, “Jangan bersedih jika seseorang tidak menghargaimu. Kadang-kadang kamu adalah berlian, dan dia hanya buta.”

Dan bukankah Nabi Muhammad saw. telah bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya?” Maka, jika niat lurus, Anda sudah menang. Dunia ini hanya bayang-bayang. Yang sejati ada di sisi Tuhan.

Ikhlas, memang tidak mudah. Tapi tanpa ikhlas, hidup ini hanyalah beban yang makin berat dipikul.

Maka, belajarlah. Pelan-pelan, lepaskan. Seperti daun yang jatuh tanpa menyesali rantingnya. Tak pula mengutuk angin.

Pada akhirnya, ikhlas adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan. Setiap hari kita belajar untuk melepaskan, untuk tidak menggenggam, untuk tidak berharap selain kepada-Nya.

Dan mungkin, saat kita benar-benar bisa ikhlas, itulah saat kita telah merdeka.

Ali bin Abi Thalib berkata, “Jangan tangisi apa yang telah pergi, jangan risaukan apa yang belum datang. Segala sesuatu ada waktunya. Ikhlaslah, dan biarkan hidup mengalir.” []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis, menetap di Kota Padang Panjang.

Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan