Oleh Hilma Indah
BILA orang-orang datang ke Kapalo Banda, mereka datang bukan hanya untuk memancing, atau menikmati keindahan alam. Bukan sekadar memancing biasa pula. Mereka ingin mendapatkan ikan mas keramat yang konon bersemayam di dasar Kapalo Banda. Meski sering kali hanya mendapatkan ikan-ikan kecil atau pulang dengan tangan kosong, mereka bergeming. Mereka juga tak peduli terik matahari yang menggosongkan kulit atau hujan deras sekalipun.
Pernah suatu ketika, seseorang yang mencuci kaki sewaktu pulang dari ladang tak sengaja melihat ikan itu. Tanpa ragu ia mengelusnya. Hidupnya seketika berubah drastis. Ia menjadi kaya raya. Namun di balik kemewahan, ia terbaring lemas, tak berdaya di atas kasurnya. Ia dilanda penyakit yang tak kunjung sembuh. Kisah itu menyebar, tapi orang-orang tak peduli, mereka lebih tertarik pada kesaktian ikan mas tanpa peduli risikonya. Ikan mas itu dikabarkan juga memiliki sirip yang berkilau terang. Ukurannya luar biasa, sebesar anak sapi yang baru lahir.
Balun memperhatikan orang-orang terus datang untuk memancing. Ia duduk di bawah pohon di tepi Kapalo Banda. Balun merasa ada yang aneh karena tidak ada yang berhasil mendapatkan ikan mas itu. Sejak dahulunya, sejak ia kecil. Ia merasa bosan dan berniat kembali pulang. Namun ia urung, sebab di rumah tak ada yang bisa ia makan. Hidupnya benar-benar telah berubah saat mengenal judi.
Perkenalannya dengan judi tidak disengaja. Ia merasa muak dengan hidupnya yang sederhana. Balun bekerja sebagai buruh tani dengan upah pas-pasan yang sering kali tak cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Sehari-hari, ia makan seadanya. Ia selalu memimpikan hidup sebagai orang kaya seperti temannya. Temannya bisa membeli mobil, motor, bahkan rumah akibat menang judi. Terpikat oleh itu, Balun memintas jalan. Judi jadi pilihan. Setiap menerima upah bekerja, ia langsung menjadikannya untuk modal judi. Sayangnya, ia tak seberuntung temannya, tak pernah sekali pun ia menang. Kekalahan menghampirinya terus-menerus.
Setelah berjudi, jika tak ada uang, Balun lebih sering meminta uang kepada ibunya. Jika ditolak maka ia akan menjual apa saja yang ada di rumah, mulai dari ayam, sampai peralatan dapur ibunya. Kemudian, uangnya berakhir di meja judi. Ibunya yang sudah tua tidak bisa menahan. Ia hanya bisa menangis melihat kelakuan Balun.
Tak hanya di rumah, ia juga meminjam kepada tetangga atau teman-temannya. Bahkan, berutang ke bank dengan bunga yang tinggi. Untuk membayar sebagian utang, ia terpaksa melepas motor yang dahulu ia beli dengan susah payah. Namun, uang hasil penjualan itu tak cukup untuk melunasi utang yang sudah sebelit pinggang.
Khawatir akan dimintai pinjaman untuk berjudi atau membayar utang yang tak kunjung lunas, orang-orang kampung mulai menjauhi Balun. Mereka menghindar dan enggan berurusan dengannya. Balun terkucilkan.
“Saya belum ada uang. Minta waktu, seminggu lagi!”
Entah sudah berapa kali Balun mengucapkan kalimat itu kepada para penagih utang yang datang dengan wajah penuh amarah. Setelah penagih itu pergi, Balun termenung. Bayang-bayang utang mencekiknya. Ingatannya melayang pada legenda ikan mas yang menjanjikan kekayaan instan. Itulah alasan mengapa ia kini terduduk di bawah pohon rindang Kapalo Banda, mengamati pemancing lain. Hasratnya ingin ikut melemparkan kail, namun ketakutan ketahuan oleh penagih utang yang mencarinya. Akhirnya, ide gila itu muncul memancing di malam hari, saat Kapalo Banda terlelap, tanpa seorang pun yang mengetahui. Dalam kegelapan, ia berharap bisa menangkap ikan mas itu.
Malam itu, Balun benar-benar pergi. Ia membawa pancing dan ember yang sudah lama tak disentuhnya. Harapan akan kekayaan instan dari ikan mas kini menjadi satu-satunya pelarian. Dengan jantung berdebar, ia menggenggam harapan palsu akan kebebasan dari belenggu utang.
Balun memilih jalan setapak berkelok yang jauh dari pemukiman warga, melintasi bukit yang gelap gulita. Pepohonan tinggi dengan dedaunan lebat di sana menutupi langit, hanya menyisakan sedikit celah bagi cahaya bulan. Suasana sunyi dan misterius mencekam, seolah pepohonan itu menjadi saksi bisu setiap langkahnya.
Dengan hati-hati, Balun mengendap-endap agar tidak terdengar atau terlihat oleh siapa pun. Matanya terus mengawasi sekeliling, takut ada yang melihat atau mendengar langkahnya. Sebab, sejak dahulunya, warga dilarang ke Kapalo Banda malam hari, terutama untuk memancing dan mendekati pohon beringin besar yang ada di sana.
Konon, nagari ini dulunya tandus. Suatu ketika seorang ulama datang. Ulama itu dengan kesaktiannya, menancapkan sebuah tongkat pada batu besar. Setelah tancapan tongkat ulama. Air yang menyembur dari batu itu mengalir deras. Menggenang, hingga membentuk sebuah genangan besar dan mengalir ke sungai-sungai, itulah disebut dengan Kapalo Banda.
Batu besar tempat tongkat ulama ditancapkan berubah menjadi ikan mas, sementara tongkat ulama itu pula tumbuh pohon beringin besar.
“Tak seorang pun di antara kalian diizinkan mendekati Kapalo Banda setelah matahari terbenam.”
Setelah titah itu dikatakan oleh sang ulama, bisikan-bisikan terdengar di antara penduduk. Mereka bertanya-tanya mengapa gerangan larangan itu ada. Beberapa meyakini, itu demi keselamatan dari bahaya tak terlihat. Namun, yang lain menduga ada sesuatu lebih dalam yang ingin ulama lindungi. Konon, ia tak ingin harta karun sejati Kapalo Banda, seekor ikan mas yang hanya menampakkan diri di bawah selubung malam, jatuh ke tangan yang salah. Tangan-tangan serakah yang hanya akan merusak keseimbangan. Hingga kini, larangan itu terpelihara. Bukan hanya sebagai aturan, melainkan juga sebagai penghormatan kepada ulama.
*
Belum jauh berjalan, harapan Balun musnah ketika ia melihat dua orang berjalan di kejauhan. Balun berhenti, dan jantungnya berdegup kencang. Ketakutan menyelimuti dirinya, tak terbayang hukuman apa yang akan menantinya ketika melanggar aturan di Kapalo Banda. Dalam hati, ia berharap mereka tak menyadari keberadaannya. Ia bersembunyi di balik sebuah pohon besar yang menjulang kokoh di tepi jalan setapak. Pohon itu memiliki batang yang tebal dan berlumut. Dari balik pelukan batang pohon, tubuhnya bergetar, berusaha menahan napas. Ia merasa dunia seakan mengimpit.
Untungnya Balun tidak ketahuan, ia menghela napas. Ia coba menenangkan jantungnya yang berdegup kencang, walau tangan dan kakinya gemetar tak menentu. Ia ingin kembali melanjutkan perjalanan. Matanya terus waspada, menatap gelap di sekelilingnya dengan penuh kecemasan. Merasa aman, ia keluar dari balik pohon.
Tapi, ada yang terasa janggal, karena tak biasanya ada orang yang melewati jalan itu pada malam hari. Apalagi, setelah desas-desus tertangkapnya seseorang yang sedang melakukan percobaan pesugihan pada malam hari di Kapalo Banda. Orang itu ketahuan saat mencoba membawa sesajen melalui jalan itu. Setelah ditanyai, terungkaplah tujuannya membawa sesajen itu. Ia percaya ikan mas akan muncul ke permukaan.
Karena kecurigaannya, Balun akhirnya berbelok mengikuti dua orang itu. Ia menjaga jarak agar tak terlihat, tapi langkahnya terhenti, ada suara yang memanggilnya. Balun membeku. Ia pasrah. Balun tak sempat bersembunyi. Jantungnya berdegup kencang.
“Ke mana kau bawa pancingan dan ember itu?”
“Ah, eh, ini, aku mau antar pancingan ke rumah kawanku.”
“Oh, begitu, kau tidak hendak memancing, kan? Kenapa memilih lewat sini?”
“Tentu tidak, mana mungkin aku berani melanggar peraturan nagari. Ini kan jalan pintas!”
“Ah, ya, hati-hati. Bawa senter, kan?”
“Bawa”
Balun selamat untuk kedua kalinya, meski suaranya bergetar, untungnya Sutan tidak curiga. Tapi ia sudah kehilangan jejak dua orang tadi.
Balun kembali meluruskan niatnya ke Kapalo Banda. ia akhirnya tiba di Kapalo Banda. Ia memilih tempat yang tersuruk di balik sebuah batu besar. Yang cukup jauh dari pohon beringin, tapi tetap membuat Balun merinding. Bayangan pohon beringin yang kelam dan menyeramkan menjerat keberaniannya. Sebelum memasang pancingnya, dia melihat-lihat ke sekitar, jaga-jaga kalau ada orang.
Namun, saat Balun menyenter ke arah pohon beringin, ia terkejut. Ada cahaya senter lain selain punyanya. Tak hanya satu, tapi dua titik terlihat pada permukaan air. Ia tak menyangka ia tak sendirian. Dengan hati-hati, Balun mendekat. Rupanya itu dua orang yang tadi ingin dia ikuti. Mereka berdua tengah melakukan sesuatu.
Balun berusaha melihat apa yang dilakukan dua orang itu. Namun, betapa terkejutnya ia saat melihat sebuah dulang yang penuhi bunga kembang, kemenyan asam, dan rempah. Balun terkejut. Lalu, ia tersadar kalau alasan sang ulama melarang ke kapalo banda ialah agar tidak ada orang yang musyrik pada saat malam hari.
Sontak, perasaan Balun berkecamuk. Namun, ia mengesampingkannya. Ia malah yakin mereka akan melakukan ritual memanggil ikan mas. Jika benar, maka ia tak perlu bersusah payah untuk memancing. Tinggal menunggu mereka, saat ikan didapat, ia akan menyergap mereka. Jika mereka menolak, maka akan ia adukan kepada orang kampung. Sehingga paling tidak dapat mengembalikan citranya di tengah orang kampung. Seberkas senyum mengiris di bibir Balun.
Balun mengawasi setiap gerak-gerik mereka dalam keheningan malam yang pekat. Beberapa lama menunggu, angin berubah kencang, menggoyang-goyangkan pohon kiri dan kanan. Permukaan air yang tadinya tenang, bergelombang. Pusaran air muncul tanpa diketahui dari mana asalnya. Kilat mengiris gelap malam bergantian.
Balun menggigil ketakutan. Napasnya tercekat. Matanya yang juling kini membelalak. Balun terpaku pada sinar emas yang memancar begitu besar, seolah sebuah lentera dalam kegelapan muncul di tengah-tengah pusaran. Ia perhatikan lekat-lekat. Seekor ikan terlihat, ikan mas. Ukurannya besar sekali, sebesar anak sapi. Balun terduduk.
Sementara karena gayung bersambut, apa yang ditunggu telah menampakkan diri, dua orang itu tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Seorang di antara mereka melompat ke dalam air. Balun terperangah, ia langsung bangkit dan berlari menuju tempat mereka. Tapi seorang lagi sudah pingsan.
Melihat ke dalam air, air mulai tenang, tapi tak ada tanda-tanda orang yang melompat tadi muncul ke permukaan. Merasa cemas, Balun melompat ke dalam air. Terasa dingin menyergap tubuh Balun.
*
Balun menekan dada orang yang tenggelam. Kemudian orang itu sadar.
“Ikannya mana?”
“Kau mau memilih mati?”
Tak ada jawaban. Orang itu hanya terdiam namun matanya masih melihat ke dalam air. Kilauan cahaya terlihat kembali. Sebelum sempat Balun mencegah, ia sudah melompat kembali seperti orang yang benar-benar kehilangan akal dan tak muncul lagi ke permukaan. Menyaksikan itu, Balun tak bisa berkata-kata, dingin terasa begitu menusuk di tubuhnya.[]
Payakumbuh, 21 Juni 2025

Hilma Indah, pelajar kelahiran Taram, Agustus 2007. Saat ini duduk di kelas 12 Fase F di SMAN 1 Payakumbuh, Sumatra Barat. Berdomisili di Kec. Harau, Kab. Limapuluh Kota. Aktif di ekskul School Buzz SMAN 1 Payakumbuh, khusunya di bidang menulis cerpen. Cerpen ini meraih juara Harapan 1 di ajang Festival Lomba Seni dan Sastra Siswa Nasional (FLS3N) SMA seleksi Tk. Kota Payakumbuh pada 21 Juni 2025 lalu.
Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi AI.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Hilma Indah
Editor: Tiara N.S.












Mantap.Kak ceritanya, mengajarkan katauhidan, hidup harus kerja keras dan jujur