Oleh Munawwar

ARKA di dalam iglo kecilnya, dengan api kecil yang menyala, foto keluarga di tangannya, dan botol berisi surat tak terkirim di sisinya. Lanskap bersalju di luar menambah nuansa kesepian dan kedamaian yang mendalam.

Di sebuah iglo kecil yang berdiri di tengah hamparan salju Alaska, seorang pria tua duduk memeluk lutut di dekat tungku kecil yang nyalanya redup. Rambutnya putih seperti salju di luar sana, wajahnya keriput dan penuh garis kehidupan yang tertinggal sebagai jejak waktu. Namanya Arka, seorang lelaki yang puluhan tahun lalu memutuskan meninggalkan segalanya.

Dulu, Arka adalah anak tertua dari tiga bersaudara. Ia tumbuh di tengah keluarga yang hangat di lereng bukit di Bantaeng, sebuah daerah kecil yang hijau dan subur di Sulawesi Selatan. Rumah mereka berdiri di antara pepohonan rindang dengan pemandangan lembah yang menakjubkan di kejauhan. Ayahnya adalah petani kopi, sementara ibunya merawat kebun kecil di halaman rumah. Kehangatan keluarga itu seperti surga kecil bagi Arka.

Namun, ada satu kesalahan yang hingga kini tak mampu ia maafkan, bukan dari orang lain, tetapi dari dirinya sendiri. Hari itu, pertengkaran hebat antara Arka dan ayahnya meledak di ruang tamu kecil rumah mereka. Kata-kata kasar meluncur dari mulutnya, dan mata ibunya berkaca-kaca. Adik-adiknya meringkuk ketakutan di sudut ruangan.

Malam itu, Arka pergi. Ia membawa tas kecil berisi pakaian seadanya dan sejumlah uang tabungannya. Tanpa berpikir panjang, ia membeli tiket kapal menuju Alaska, tempat yang ia anggap cukup jauh untuk mengubur rasa bersalahnya.

Alaska, tanah yang liar dan dingin, terbentang luas di hadapannya. Di sinilah Arka menemukan tempat pelariannya, sebuah bentang alam putih yang tak berujung, penuh dengan keheningan yang menusuk sukma. Pada suatu siang yang suram, Arka menemukan sebuah iglo kosong. Iglo, rumah berbentuk kubah yang dibangun dari balok-balok salju padat, merupakan hunian khas suku Inuit, penduduk asli Amerika yang tinggal di daerah beku seperti Kanada Utara dan Alaska.

Rumah kecil itu tampaknya telah lama ditinggalkan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, hanya bekas peralatan memasak sederhana, beberapa lapisan kulit binatang, dan sebuah tungku tua. Arka memutuskan untuk tinggal di sana. Ia membayangkan bagaimana suku Inuit dahulu bertahan hidup di tengah suhu yang begitu ekstrem, hanya dengan perlindungan dari iglo yang mungil ini.

Namun, hidup di tengah salju abadi bukanlah perkara mudah. Pada hari-hari pertama, ia hampir mati kedinginan karena tidak tahu cara menjaga api tetap menyala sepanjang malam. Ia juga kelaparan karena tidak tahu bagaimana mencari makanan di alam yang tampak begitu keras dan tak ramah.

Perlahan, Arka belajar. Ia mengamati penduduk asli yang kadang melintas di kejauhan. Dengan keberanian, ia mencoba memancing ikan di lubang es yang ia buat dengan susah payah. Hasil tangkapannya ia panggang di atas api kecil. Di hari-hari baik, ia berhasil menangkap kelinci salju dengan perangkap sederhana yang ia buat dari tali bekas tasnya. Kadang ia bertukar hasil tangkapannya dengan penduduk lokal yang memberinya sedikit minyak ikan atau daging hasil buruan.

Pertemuan dengan Kenaq
Pada suatu malam yang sangat dingin, tubuh Arka hampir tak sanggup melawan udara beku. Api di tungkunya meredup, dan ia tak memiliki tenaga untuk menghidupkannya kembali. Namun, di saat yang hampir putus asa itu, terdengar suara langkah kaki di luar iglo.

Seorang pria tua dari suku Inuit bernama Kenaq masuk dengan membawa sekantong kecil minyak ikan dan kayu bakar. Dengan tenang, Kenaq menyalakan kembali api di tungku dan membantu Arka duduk di dekat nyala hangat.

“Salju tak akan berhenti turun hanya karena kau merasa bersalah,” kata Kenaq sambil menatap jauh ke hamparan putih. “Seperti salju yang datang dan pergi, kesalahan pun begitu. Yang penting, kau harus belajar membangun iglo baru di hatimu.”

Kata-kata itu menancap di hati Arka. Kenaq pergi keesokan harinya, namun nasihatnya terus terngiang di kepala Arka.

Surat yang Tak Pernah Terkirim
Pada suatu malam yang sunyi, dengan penerangan tungku kecil, Arka menulis surat untuk keluarganya.
“Ma… Pa…. Aku tahu aku salah. Tapi dingin di sini, di dalam iglo ini, tak sedingin rasa bersalah di dadaku. Aku harap kalian baik-baik saja.”

Surat itu dilipat rapi, dimasukkan ke dalam botol kecil, lalu diletakkan di sudut iglo, tak pernah terkirim.

Api dan Foto Keluarga
Api di tungku kecil menjadi satu-satunya sumber kehangatan dan harapan Arka. Setiap kali api meredup, ia akan memohon dalam hati agar api itu tetap menyala.

“Jangan padam… setidaknya malam ini, jangan padam dulu,” bisik Arka dengan suara bergetar.
Di sudut ruangan, foto keluarganya yang sudah mulai pudar sering kali ia pandangi. Embun dari napasnya memburamkan gambar itu. “Jika aku kembali…, apakah aku masih punya tempat di sana?”

Akhir yang Sunyi
Musim dingin kembali datang, kali ini lebih ganas dari sebelumnya. Arka duduk di depan iglonya, memandangi langit jingga yang perlahan memudar.

“Ma, Pa, aku rindu…,” gumamnya dengan suara parau.

Matanya perlahan terpejam. Salju turun perlahan, menyelimuti iglo kecil itu dalam kesunyian abadi.
Seakan alam sendiri ingin mengatakan, “Kau sudah cukup, Arka. Kau sudah cukup.”

Di tempat yang jauh, mungkin keluarganya sudah lupa akan luka lama itu. Atau mungkin, mereka juga masih menyimpan penyesalan yang sama. Yang pasti, di antara dinginnya salju Alaska, kisah tentang seorang anak yang menghukum dirinya sendiri akan tetap hidup bersama angin yang berembus lembut di padang salju tanpa akhir.[]

Munawwar. Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia di FKIP Universitas Tomakaka, Mamuju. Sebagai akademisi dan penulis, ia aktif menghasilkan karya sastra berupa cerpen, puisi, dan artikel kebahasaan. Beberapa karyanya yang telah dipublikasikan di Medium.com dan Wattpad antara lain puisi “Simfoni Salju dan Kereta Merah”, cerpen “Air Mata Penyesalan”, serta artikel kebahasaan “Ambiguitas Penggunaan ‘Ter’ dalam Bahasa Indonesia: Antara Superlatif dan Elatif”. Karya-karyanya dapat diakses melalui Medium dan Wattpad.

Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: Munawwar

Editor: Disyadona

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan