Oleh Asmi Larasati
“Sudah, aku nanti pensiun dini saja biar bisa temani Bapak.” Demikian perkataan Ibu saat bercakap-cakap dengan Bapak di suatu hari.
Sore itu seperti biasa, Bapak dan Ibu duduk berdua di teras depan rumah sambil berbincang-bincang. Sementara, aku yang sudah tiga tahun menjadi “anak tunggal” duduk menyendiri di ruang tamu membaca koran.
Rumah kami memang tinggal terisi tiga orang. Ibu, Bapak, dan aku. Tiga saudara-saudaraku sudah tiga tahun ini tidak lagi serumah karena sudah berumah tangga dan menetap jauh dari kota tempat kami tinggal. Makanya, aku menyandang gelar baru sebagai “anak tunggal”, selain sebagai anak bungsu.
Bapak sudah hampir dua tahun ini pensiun. Sementara, Ibu masih satu tahun lagi memasuki usia pensiun. Dalam percakapan sore itu, Bapak tampaknya curhat dengan Ibu kalau beliau merasa jenuh menjalani hari dan menginginkan ada akitivitas positif menemani hari tuanya. Rumah sepi saat aku dan Ibu tidak ada di rumah. Ibu pergi mengajar, demikian juga aku. Dari curhatan Bapak itulah, Ibu berencana untuk pensiun dini.
Beberapa hari ini Bapak dan Ibu memang intens membicarakan rencana ke depan yang mau mereka berdua lakukan. Sampai pada akhirnya, dengan motivasi dari Ibu, Bapak membeli sebuah kios kecil di pasar. Rencananya berdua dengan Ibu, Bapak hendak berjualan baju.
“Kita nggak usah ngejar untung, yang penting ada kegiatan kita hari-hari. Punya kumpulan dengan pedagang lain.” Demikian kata Ibu di lain waktu. Bapak pun setuju dengan usulan Ibu. Sejak saat itu, mulailah Bapak rajin membayar cicilan kios.
Sesekali Bapak pergi ke Pekalongan mencari baju-baju batik, sarung-sarung, dan lain-lain untuk dijual kembali saat kios sudah dibuka nanti. Kebetulan kios yang dibeli Bapak merupakan bangunan baru, tetapi belum diresmikan. Harapan Bapak, saat sudah peresmian nanti barang-barang yang mau dijual sudah tersedia.
Selain bersemangat menyiapkan barang dagangan, Bapak juga bersemangat mempersiapkan diri untuk keberangkatan haji. Tekad bulat Bapak mendaftar haji, lagi-lagi tidak lepas dari dorongan semangat dari Ibu. Selama hidupku bersama Bapak dan Ibu, aku melihat Bapak sangat mendengarkan ucapan Ibu.
“Pokoknya, Bismillah.” Demikian Ibu menyemangati Bapak yang saat itu ragu dengan jumlah uang yang dimiliki apakah cukup atau tidak untuk biaya ibadah haji. Dengan keyakinan yang dikuatkan Ibu, Allah memudahkan Bapak mendapatkan panggilan ibadah haji.
Ibu tampak cerah ceria wajahnya, setiap Bapak izin berangkat pergi manasik haji. Kondisi keuangan yang memang cukup hanya untuk Bapak, Ibu sudah merelakan. Apalagi, kesehatan Ibu semakin tahun semakin kurang mendukung untuk beraktivitas yang berat-berat.
Sudah beberapa kali, Ibu izin pulang terlebih dahulu di tengah-tengah kegiatan pembelajaran karena sakit dan harus opname. Semangat hidup dan berbuat yang bermanfaat membuat Ibu tampak baik-baik saja. Usai sehat dari sakit, Ibu beraktivitas seperti biasa. Suatu hari beliau pernah menelepon sahabat karibnya, bahwa suatu saat begitu pensiun Ibu mengajak sahabatnya tersebut untuk membuat perkumpulan yang bermanfaat.
Memang, Ibu orangnya penuh semangat, bertanggung jawab, aktif, dan gesit. Seperti orang tidak kenal lelah. Aku yang melihatlah yang justru merasa lelah. Bapak sepertinya pun maklum dengan sepak terjang Ibu. Seperti dulu, di tengah aktivitas mengajar, Ibu masih sempat mengejar gelar dengan mengikuti kuliah. Ibu nampak bahagia dengan kesibukannya. Bapak orangnya sangat pengertian terhadap Ibu. Lagi-lagi, selama hidupku bersama Ibu dan Bapak, aku hampir tidak pernah melihat Ibu menyapu dan mengepel. Di rumah, lebih sering Bapak yang mencuci dan menyetrika baju daripada Ibu. Kadang-kadang, Bapak pun mencuci piring. Satu pekerjaan rumah tangga yang tidak Ibu biarkan Bapak yang mengerjakannya adalah memasak.
“Jangan lama-lama, ya, Ibu nggak enak kalau nanti Bapak harus memasak nasi.“ Demikian pesan Ibu saat menemani aku keluar.
Bahagia sekali rasanya Ibu memiliki Bapak. Selain membantu pekerjaan rumah, Bapak sangat telaten saat merawat Ibu sakit. Bapaklah yang paling tahu riwayat penyakit Ibu dari awal. Demikian juga dokumen-dokumen riwayat kesehatan Ibu, Bapaklah yang menyimpannya.
Ada kenangan yang tak terlupakan saat Ibu beberapa kali sakit dan harus masuk rumah sakit. Aku dan Bapak bergantian menjaga Ibu. Saat pagi sampai siang aku bekerja, Bapaklah yang di rumah sakit menjaga Ibu. Sebaliknya, sore sampai pagi keesokan harinya gantian aku menjaga Ibu dan Bapak beristirahat di rumah. Saat pulang membawa baju kotor, dan saat aku bergantian menjaga Ibu aku membawa baju ganti yang bersih. Saat-saat itu tidak pernah terbersit dalam hati aku dan Bapak akan terjadi apa-apa terhadap Ibu, kecuali harapan Ibu sembuh. Begitu saja dalam benak kami. Apalagi, semakin mau mendekati bulan-bulan pensiun, Ibu sering bolak-balik rumah sakit. Ibu juga masih saja ceria di hari-harinya.
“Nanti kalau Bapak mau berangkat haji, kita buat acara selamatan.” Demikian rencana Ibu. Namun, apa yang direncanakan Ibu hanyalah tinggal rencana. Ibu justru semakin hari semakin sering sakit. Jarak antara sakit yang satu dengan sakit berikutnya hampir berdekatan.
Bapak sempat bercerita, Ibu meminta maaf kepada Bapak karena telah merepotkan beliau. “Ah, ya, tidak apa-apa.” Begitu Bapak menjawab. Meski jujur dalam hati yang paling dalam, Bapak mengakui khawatir kehilangan Ibu. Selama sakit, Bapak berusaha untuk membuat Ibu senang. Salah satunya, membelikan buah apel merah kesukaan Ibu. Aku sebagai anak yang paling lama tinggal bersama orang tua sangat terkesan dan bahagia sekali hidup bersama mereka. Hampir tidak pernah ada konflik antara Bapak dengan Ibu. Itu karena Bapak sangat mengalah. Sementara pendapat Ibu kenyataannya diakui Bapak ada benarnya. Ibu pun sebenarnya sangat menghargai Bapak. Hal yang aku ingat saat Bapak membelikan Ibu daster. Selera Ibu dengan busana mahal, tidak mengurangi penghargaan Ibu terhadap daster murah yang dibelikan Bapak. Daster warna biru itu justru yang paling sering Ibu kenakan tak terkecuali saat opname di rumah sakit. Daster itu juga yang pada akhirnya menemani Ibu di saat pergi meninggalkan kami semua.
“Saya masih membutuhkan Ibu, tapi saya ikhlas.” Demikian kata-kata yang keluar dari mulut Bapak saat menjumpai tamu yang takziah. Bagiku, kata-kata itu wajar keluar dari mulut Bapak kalau melihat dalam kebersamaan mereka Ibu berperan sebagai motivator untuk Bapak. Pada saat Bapak ragu, di situlah Ibu menguatkan dan meyakinkan.
Dalam ibadah haji yang Bapak laksanakan, Ibu adalah salah satu target doa yang Bapak panjatkan. Siapa sangka hari keberangkatan Bapak tidak sempat disaksikan Ibu. Bersyukurlah Bapak dengan motivasi dari Ibu bahwa beliau bisa berangkat. Ibu yang merelakan hanya Bapak yang pergi kala itu berkata,
”Kalau Bapak sudah jadi Pak Haji, ‘kan Ibu juga jadi Bu Hajjah.” Allah mengabulkan kata-kata Ibu melalui Bapak, menyisihkan uangnya untuk membadalkan Ibu dengan bantuan orang di tanah suci sana.
Hari demi hari sepulang Bapak haji, minggu demi minggu, hingga melewati satu atau dua bulan Bapak mulai sangat merasakan kehilangan Ibu. Sesekali suaranya bergetar saat berbicara tentang Ibu. Biasanya ada suara Ibu yang memanggil Bapak untuk menuntunnya ke toilet atau pindah dari kamar ke ruang tamu. Sekarang, suara itu tidak terdengar lagi. Terlihat Bapak sudah mulai kurang semangat. Kios yang dulu pernah direncanakan sebagai usaha bersama Ibu sudah tidak dihiraukannya lagi. Aku pun takut menanyakannya. Aku hanya menghela napas, melihat barang-barang yang sudah Bapak beli untuk dijual terbengkalai dalam lemari. Ah, sedalam itu Bapak kehilangan Ibu sang motivator.[]
Langsa, 25 Januari 2025
Asmi Larasati, S.Pt. Guru sekaligus penulis. Tinggal di Kota Langsa, Aceh.
Pernah meraih juara I Guru Berprestasi tingkat Kota Langsa dan juara III di tingkat Provinsi Aceh.
Gambar ilustrasi diolah oleh Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.
Ikuti update terbaru tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Asmi Larasati, S.Pt.
Editor: Neneng JK