Hukum Sebab Akibat: Ketika Luka Itu Kembali
Apa yang kita tanam, itulah yang kita tuai—hidup selalu menemukan cara untuk mengembalikan setiap luka yang kita goreskan pada orang lain.

Oleh Denni Meilizon
SEORANG lelaki duduk termenung di sudut ruangan, menatap kosong ke luar jendela. Dulu, ia adalah seseorang yang gemar mempermainkan perasaan orang lain, merasa di atas angin dengan segala kata-kata tajam yang ia lontarkan. Namun hari ini, ia merasakan kesunyian yang menggigit—ditinggalkan oleh mereka yang dulu peduli padanya. Luka yang pernah ia goreskan pada orang lain kini berbalik menghantuinya.
Dalam filsafat moral, konsep sebab akibat ini erat kaitannya dengan karma dalam etika Buddhisme, retributive justice dalam filsafat Barat, dan hukum moral universal Kantian. Immanuel Kant, dalam prinsip kategoris imperatifnya, menyatakan bahwa tindakan seseorang harus bisa dijadikan sebagai hukum universal. Jika seseorang menyakiti orang lain, ia seakan mengizinkan norma bahwa menyakiti itu sah. Namun, ketika standar ini berbalik menimpa dirinya, barulah ia menyadari konsekuensinya.
Pernahkah kita merasa menang setelah menyakiti seseorang? Mungkin ada sebersit kepuasan, perasaan superior, atau bahkan anggapan bahwa kita telah mengendalikan keadaan. Namun, hidup punya cara sendiri untuk menyeimbangkan segalanya. Entah dalam hitungan hari, bulan, atau tahun, perbuatan buruk yang kita lakukan akan menemukan jalannya untuk kembali kepada kita—kadang dalam bentuk yang lebih menyakitkan.
Seorang bijak pernah berkata, “Apa yang kita tanam, itulah yang akan kita tuai.” Dalam etika utilitarianisme, tindakan yang menyakiti orang lain akan menurunkan kebahagiaan kolektif, dan pada akhirnya juga akan berdampak buruk bagi pelaku. Menyakiti orang lain bukan hanya melukai mereka, tetapi juga menciptakan bayang-bayang yang akan terus menghantui kita. Rasa bersalah, kesepian, dan bahkan kehilangan, sering kali menjadi bayaran yang harus diterima.
Mungkin tidak langsung terasa, tapi lambat laun, menyakiti orang lain mengikis sesuatu yang berharga dalam diri kita: ketenangan. Bayangkan seorang petinju yang terus memukul lawannya—ia mungkin menang, tapi tangannya sendiri akan penuh luka. Begitu pula dengan hati kita. Kebencian yang kita tebarkan akan meninggalkan bekas yang tak mudah hilang.
Ada banyak kisah tentang orang-orang yang akhirnya menyesal setelah melukai orang lain. Ada yang kehilangan sahabat, ada yang ditinggalkan keluarga, dan ada pula yang harus menjalani hidup dalam kesendirian karena perbuatannya sendiri. Mereka yang pernah merasa kuat karena telah menyakiti, akhirnya diuji dengan rasa sakit yang lebih dalam.
Namun, tidak ada kata terlambat untuk berubah. Dalam perspektif Aristoteles, kebajikan moral (virtue ethics) mengajarkan bahwa karakter seseorang dibentuk oleh kebiasaan dan tindakan yang baik. Kesalahan adalah bagian dari perjalanan, tetapi kesadaran dan usaha untuk memperbaiki diri adalah kunci menuju ketenangan yang sesungguhnya. Mengakui kesalahan, meminta maaf, dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik adalah langkah kecil yang bisa mengubah segalanya.
Hidup selalu memberi kesempatan kedua bagi mereka yang ingin berubah. Tidak ada yang benar-benar terlambat untuk memperbaiki diri. Seperti matahari yang selalu terbit setelah gelap malam, hati yang tulus untuk memperbaiki kesalahan akan selalu menemukan cahaya.
Jika hari ini kita berdiri di persimpangan jalan—antara menyakiti atau berbuat baik—maka pilihlah untuk menjadi seseorang yang menyebarkan kebaikan. Sebab, hidup bukan tentang siapa yang paling kuat, tetapi siapa yang mampu menciptakan damai, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
Sebelum kita merasa hebat karena menyakiti seseorang, mari bertanya pada diri sendiri: “Apakah aku siap jika hal yang sama terjadi padaku?” Sebab, pada akhirnya, apa yang kita berikan kepada dunia, itulah yang akan kembali kepada kita—dengan cara yang mungkin tidak pernah kita duga. []
Denni Meilizon, penulis, pegiat literasi, ketua Forum Pegiat Literasi (FPL) Pasaman Barat.
Penulis: Denni Meilizon
Editor: Muhammad Subhan