Oleh Uus Hasanah

“IBU… Ibu…” Anak keduaku yang tengah bermain di halaman depan berlari tergesa-gesa mencariku di halaman belakang.
“Bu… Ibu..!” Wajahnya kelihatan tegang ketakutan.
“Kenapa, Nak?” tanyaku.
“Itu, Bu. Ada Emaknya Rizki, nyari Ibu sambil menangis…”

Sembari mendengarkannya, aku membimbingnya ke halaman depan. Benar Saja. Dariah sedang meringkuk sesenggukan. Wajahnya dibenamkan ke lantai keramik, bertumpu pada telapak tangan yang mengepal menelungkup seperti sujud di teras rumahku.

Segera kuminta putriku menyusul adiknya yang bermain di rumah tetangga. Menyadari kedatanganku, Dariah, segera memburu dan merangkulku dengan tangis yang semakin keras. Aku membalas pelukannya sejenak, lalu menuntunnya masuk dan duduk. Setelah mengambilkan segelas air putih, aku kembali duduk di sampingnya yang masih menangis. Tak kutanyai pasal apa yang membuatnya menangis. Aku tahu selalu ada alasan kuat mengapa seorang perempuan dewasa menanggalkan rasa malu untuk menangis di hadapan perempuan lainnya.

Dariah membetulkan posisi duduknya, Ia enggan menghapus air mata, gelas yang kusodorkan tak menarik perhatiannya. Aku kembali memelukya, tangisnya kian pecah. Setelah beberapa saat ia mulai berbicara sambil sesenggukan.

“ Aku capek, Yan… Kenapa enggak ada yang mengerti keadaanku? Suamiku sudah satu minggu enggak kerja, pinjam orang tua dan mertua nggak ada yang ngasih. Anak-anak, ‘kan taunya jajan, Yan….” Ia pun kembali menangis.

Sudah dua minggu aku tak setor tagihan ke bank Melati, Yan. BPJS juga belum bayar. Listrik mati. Gas habis. Gimana ini, Yan…? Aku bingung. Aku capek!” Kali ini dia menelungkupkan kepalanya di pahaku. Seperti anak yang sedang mengadu kepada ibunya ketika diperlakukan tidak baik oleh teman sepermainan. Dariah mengadukan segalanya kepadaku, tetangga sekaligus teman sepermainannya sejak kecil.

“Kenapa Tuhan kasih Aku sakit, Yan…? Kalau Aku enggak sakit begini, Aku bisa kerja, Yan, Aku bisa cari uang!” Teriaknya sambil tergugu.

“Dari kecil sampai sekarang punya dua anak, kenapa hidupku selalu serba kekurangan, Yan? Serba Susah! Nggak pernah ngerasain bahagia. Tuhan itu pelit sama aku, Yan. Aku juga ‘kan hamba-Nya. Apa aku ini cuma hamba tiri? Gak adil!” Teriaknya sambil memukul-mukul meja.

“Aku ingin mati saja, Yan.… Mati saja!” Pukulannya semakin keras dan brutal. Sontak Air dalam gelas bergejolak dan sedikit tumpah ke atas meja.

Aku Kembali memeluknya. Lalu memintanya minum. Namun, ia masih enggan. Matanya merah, kulitnya pucat. Rahangnya yang begitu kentara menegaskan derita yang singgah berkepanjangan. Kudengar degup jantungnya begitu keras. Mengingat riwayat penyakitnya, aku mulai hawatir.

Kupaksa Ia minum.

“Minum dulu, Dar, biar sedikit lega, ” ucapku sekenanya.

Setelah Dariah minum, Ia Kembali menangis. Aku menunggu tangisnya reda tanpa berkata apapun. Kupegang tangannya, ingin saling menguatkan sebagai sesama perempuan, sebagai sesama insan Tuhan yang sedang dihinggapi persoalan hidup yang begitu berat.

Selang beberapa saat, tangis Dariah mulai mereda. “Astaghfirullahhaladzim.. astaghfirullahhaladzim, ” Aku beristighfar sekenanya. Bukan untuk membimbingnya, tapi untuk diriku sendiri yang sebenarnya sedang mengalami hal serupa.  Ketidakadilan Tuhan tampak begitu nyata. Mendengar istigfarku, Dariah mengikutinya dengan suara lirih. Ia menggunakan kaos oblong bagian bawah untuk mengelap air mata sekaligus ingusnya.

“Dar, Tuhan itu Maha Kuasa. Kalau Ia menghendaki kita mati, tanpa memberikan kita penyakit sekalipun, kita akan mati begitu saja. Apakah ketetapan yang Tuhan tentukan pada hidup kita hanya untuk main-main? Tanpa maksud? Tidak, Dar!” Kataku menatap dalam relung jiwaku sendiri. Mendengar itu, Dariah menegakan duduknya.

“Kita ini bukan lagi sebagai anak, Dar. Tapi ibu dari anak-anak kita. Sudah selayaknya tidak lagi mengharap uluran tangan orang tua. Sebagai ibu, terhadap kitalah mereka menumpukan segala harapan. Kita patut bersyukur. Meskipun setiap bulan kamu harus kontrol ke dokter spesialis jantung, meskipun makan hanya nasi berbumbu garam,  kamu masih bisa memandikan anakmu di pagi dan sore hari. Merasakan pertumbuhannya dari hari ke hari, memakaikannya baju terbaik yang kamu miliki, menemaninya tidur dengan nyaman. Bukankah ini patut disyukuri, Dar? Bukankah ini berkat kemurahan Tuhan? Sampai detik ini kita masih hidup, bukankah ini bentuk kasih sayang-Nya, Dar? Kalau tidak, siapa yang akan mengurus anak-anak kita?”

Dariah kembali mengusap bulir yang jatuh dipipinya. “Bagaimana perasaanmu ketika orang tuamu bercerai, Dar? Ibumu menikah lagi, Bapakmu pun demikian. Mereka saling memiliki anak yang lain dari pasangan mereka masing-masing. Sementara kamu? Kesana ada bapak tiri, ke sini ada ibu tiri. Kenyataannya, keadaan mereka yang juga serba kekurangan, nggak bisa terus-terusan bantu kamu. Kalau kamu mati, apa kamu pikir suamimu gak akan cari istri baru? Dia masih muda, yang bercerai hidup saja saling mencari pasangan baru. Apalagi ditinggal mati, Dar. Sementara anak-anakmu? Siapa yang akan menggantikan ketulusanmu, Dar?”

“Bukankah hidupmu sangat berarti bagi mereka?” Suaraku mulai terbata. Kutepuk pahanya perlahan. “Tanyakan lagi pada dirimu, Dar. apa benar kamu nggak pernah bahagia? Apa Benar, kamu selalu menderita?”

Aku ikut  menangis, bukan hanya untuk Dariah, tapi juga untuk diriku sendiri. Menanyakan hal yang sama kepada diriku sendiri. sementara Dariah, Ia menggelengkan kepala. Air matanya kembali deras mengamini perkataanku. Dan kami pun kembali berpelukan.

“Astagfirullahaladzim….Innahu Kaana Ghofaro.”

Aku mengelus punggungnya. Kami saling melepas pelukan…. Istighfar, Dar.”

Dariah izin ke toilet, tak lama terdengar suara batuk dan muntah. Aku segera menyusulnya. Benar saja. Seperti dugaanku, Ia muntah darah.  Darah.  Selesai menyiram darah di lantai kamar mandi, aku memapahnya kembali ke depan. Setelah memastikan Ia duduk aku mengambil air hangat. Dariah meminum air hangat yang kusodorkan, lalu ia kembali bicara.

Tapi aku capek, Yan. Setelah kelahiran anak pertamaku, Aku didiagnosa memiliki jantung bengkak. Lima tahun, Yan… Sudah Lima tahun aku kontrol dan rutin minum obat. Tapi tak ada perubahan sama sekali. Sekarang suamiku tak  bekerja. Di rumah dia uring-uringan terus, bahkan tadi kami adu mulut. Terus Aku tinggal dia ke sini. Aku enggak kuat, Yan.…”

“Kalau suamimu uring-uringan, itu berarti Ia juga sedang pusing mikirin bagaimana caranya cari uang. Lagipula sekarang memang lagi paceklik. Semua orang sedang susah. Justru dalam keadaan begini, suami-istri harus saling menguatkan.  anak-anak kita nggak ngerti, ya wajar, Dar. Namanya juga anak-anak,” kataku sambil menerawang jauh ke dalam lubuk hatiku sendiri.

Hidup itu sawang-sawang gunung. Dari kejauhan tampak indah, mulus dan bagus. Sama seperti kita, melihat kehidupan orang lain, tampaknya mereka lebih enak, bahagia. Padahal, aslinya belum tentu. sawang-sinawang, Dar. Bisa jadi mereka menghadapi persoalan jauh lebih berat dibanding yang kita hadapi sekarang.” Kata-kata itu muncul begitu saja, seolah aku yang paling bijak.

Saat kami diam. Anakku memanggil dari halaman depan.

“Ibu.. Bu.. Ibu..,” kakak berteriak sambil menuntun adik yang sedang menangis. Pada saat itu, Dariah pamit. Aku segera ke depan. Menyambut mereka. Kugendong anakku ke halaman belakang, mengajaknya bermain masak-masakan. Setelah ia tenang, aku menuju pohon mangga. Kulepas tali yang tadi sudah susah payah kuikat dengan menaiki kursi. Tangisku pecah. Kedua anakku tampak ketakutan. Sambil menggendong adiknya, anakku mendekat dan bertanya.

“Bu, ibu kenapa? Ada apa, Bu?” menyadari kedatangan mereka aku buru-buru menenagkan diri.

“Awas! Ada tawon! Jangan Kesini…” teriakku mengalihkan perhatian mereka. Kuseka air mata, sambil menggulung tali.  Aku mendekati mereka, menggendong si kecil, menciuminya dengan linangan air mata.

“Ibu kenapa nangis?” kata si kecil dengan suara bergetar hampir ikut menangis. Kakaknya  memelukku. “Ibu di sengat tawon?”

Aku menggeleng.
“Ibu bersyukur, untung aja enggak disengat tawon. Makanya Ibu menangis,” jawabku sekenanya.

“Ibu, kok bawa-bawa tali? Buat apa?” Tanyanya lagi saat kami hampir memasuki rumah.
“Oh… ini, tadi Ibu mau buat jemuran pakaian, tapi gak jadi, soalnya ada tawon, Nak.”

Begitu masuk rumah Kakak mengajak Adik menonton TV. Sementara aku masuk ke kamar mandi. Menyalakan keran air dengan terus menggayung air dari bak mandi menciptakan suara agar tangisku tak terdengar mereka.

“Ya Tuhan, inikah cara-Mu menyelamatkanku dari keputusasaan?”

Aku terduduk, membiarkan keran air mengguyur ubun-ubun, airnya membasahi relung jiwa yang sempat kehilangan arah. Menyatu dengan air mataku. Mengalir menuju selokan.

Tuhan…”

Gumamku dalam perih.

Tak mengapa, suamiku lebih memilih selingkuhannya dan meninggalkanku yang tengah mengandung anak ke tiganya. Tak mengapa, rumah yang kutempati ini akan dilelang bank karena pinjaman suami yang tak pernah kuketahui sebelumnya, dan penagih-penagih utang itu. Oh, Tuhan! ke kolong langit-Mu yang mana kuselamatkan anak-anakku? Asal bersama-Mu. Tak mengapa. Hidupku akan baik baik saja.[]

Indramayu, 29 Juli 2025

Uus Hasanah. Lahir di Indramayu, 1992. Tengah menekuni dunia kepenulisan dan menjadi siswa Sekolah Menulis elipsis.

Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi AI.

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: Uus Hasanah

Editor: Tiara N.S.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan