Halalbihalal

Halalbihalal bukan sekadar tradisi, tapi cara menyambung kembali hubungan yang renggang. Pemimpin dan rakyat harus saling mendekat, saling memaafkan, dan saling menguatkan.

Oleh Muhammad Subhan

KATA Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, silaturahmi melapangkan rezeki. Memanjangkan umur. Membawa kebahagiaan.

Orang yang suka menyambung silaturahmi diberkahi hidupnya. Ia punya banyak kawan. Begitu indah ajaran Islam.

Hari Raya Idulfitri kerap dijadikan momen mempererat tali silaturahmi. Umat muslim menyebutnya halalbihalal. Meski, di Arab sendiri, istilah itu tak dikenal. Tak jelas siapa yang pertama memopulerkannya.

Secara makna, halalbihalal adalah bentuk lain dari silaturahmi. Kata itu berasal dari kata halal, lalu disisipkan bi (bahasa Arab: dengan), menjadi satu frasa.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa RI menyebut, ketiga kata itu digabung karena membentuk makna utuh. Artinya tidak bisa dipecah: halal, bi, halal. Bukan pula bermakna boleh dengan boleh.

Dalam bahasa Arab, halal berasal dari kata halla. Setidaknya punya tiga arti: ‘halla al-habl (benang kusut terurai)’, ‘halla al-maa (air keruh mengendap)’, dan ‘halla as-syai (sesuatu yang menjadi halal)’.

Benang merahnya jelas. Kekusutan, kekeruhan, dan kesalahan—semua itu bisa diluruskan kembali. Perselisihan selesai. Persaudaraan utuh lagi. Hati kembali fitrah.

Tradisi halalbihalal ini baik. Patut dilestarikan. Tidak hanya setahun sekali. Tidak hanya setelah Ramadan. Tapi setiap hari. Dalam setiap kesempatan.

Alangkah indah bila seorang anak mau meminta maaf kepada orang tua setiap kali berbuat salah. Suami istri bermaaf-maafan.

Tak jarang, pertengkaran kecil dalam rumah tangga atau antarfamili bisa membesar jadi permusuhan. Sebabnya tak lain karena ego. Karena gengsi. Kadang kita dengar ada ucapan terlontar di saat emosi: “Sampai ke neraka pun, saya takkan maafkan!”

Betapa ngeri. Betapa angkuhnya keegoan diri.

Halalbihalal mestinya menjembatani semua itu. Jadi cara untuk menyapa. Untuk menyambung kembali tali yang nyaris putus.

Pemimpin juga perlu menjalin halalbihalal dengan rakyat. Bukan sekadar open house di rumah dinas. Tapi hadir langsung ke rumah warga. Minta maaf jika pernah khilaf. Dengarkan keluh kesah rakyat. Lihat kehidupan mereka.

Pemimpin adalah teladan. Bukan raja yang menunggu sembah. Tapi pelayan yang harus hadir di tengah rakyatnya.

Kadang open house pejabat malah terasa “asal bapak senang”. Seolah-olah rakyatlah yang mesti minta maaf. Padahal, pejabatlah yang punya kuasa. Dan kuasa sering disalahgunakan.

Pernah juga kita dengar, pejabat mengundang rakyat berbuka di rumah dinas. Tapi pertanyaannya: memakai dana siapa? Bukankah lebih baik ia yang mendatangi rumah warga? Duduk bersama mereka. Makan seadanya. Itulah yang menyentuh. Yang mengajarkan makna empati.

Beberapa kepala daerah sudah melakukannya. Ada yang datang ke rumah-rumah warga kurang mampu. Membawa makanan. Menyapa dengan tulus. Bermalam juga.

Langkah itu patut diapresiasi. Tapi semoga tidak hanya saat Ramadan. Tidak sekadar pencitraan.

Kunjungan seperti itu sebaiknya jadi kebiasaan. Jadi budaya pemimpin. Setiap waktu. Di setiap kondisi.

Kita butuh lebih banyak pemimpin seperti Khalifah Umar bin Khattab. Ia tak bisa tidur jika tahu ada rakyat kelaparan.

Pernah suatu malam, Umar melihat seorang ibu yang merebus air. Bukan untuk makan, tapi demi menenangkan anak-anaknya yang menangis kelaparan.

Umar pun memikul sekarung gandum. Dengan tangannya sendiri, ia antar ke rumah si ibu. Lalu ia masak makanan untuk anak-anak itu. Itulah pemimpin sejati.

Negeri ini merindukan hadirnya Umar-Umar baru. Yang lahir dari rahim bangsa ini. Yang membasuh luka rakyat. Yang merajut kembali jalinan kemanusiaan.

Negeri ini akan jadi “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” jika dipimpin oleh orang-orang adil dan berhati nurani. Bumi akan damai.

Halalbihalal bukan hanya maaf-maafan. Tapi cara hidup. Cara menjadi manusia yang saling menguatkan. Saling memaafkan. Dan saling mengingatkan, bahwa kita ini satu keluarga: umat manusia. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, dan founder Sekolah Menulis elipsis.

Gambar ilustrasi diolah tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Canva.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan