Oleh Yonas Suharyono

KISAH ini bermula ketika seorang lelaki memasuki pintu gerbang pasar tradisional di pinggiran kota kecil. Dia memasuki los ikan asin yang letaknya bersebelahan dengan sayur-mayur dan bumbu. Dia adalah seorang pensiunan PNS yang sekali dalam tiga hari mengunjungi pasar untuk berbelanja. Dia, ya, lelaki itu hidup bersama istrinya yang sudah tiga tahun menderita sakit persendian kaki, hampir lumpuh. Dengan gaji pensiuan PNS golongan dua yang hanya cukup untuk makan seminggu, dia masih sempat menyisihkan sebagian untuk menyediakan nasi bungkus setiap hari Jumat, awal bulan.

Beberapa hari lalu dia melihat tayangan televisi nasional yang menyiarkan pidato presiden. Dalam pidatonya, presiden mengumumkan kenaikan gaji PNS sebesar delapan persen dan pensiunan sebesar dua belas persen. Betapa bahagianya dia. Dipeluknya istri yang tergolek di tempat tidur, diciumi keningnya sambil berkata, “Puji syukur, Bu, tahun depan kita bisa berbagi sebulan tiga kali.”

*

DI SUDUT pintu gerbang itu duduk seorang pengemis. Tangan kanan menengadahkan kaleng berisi beberapa keping lima ratusan dan beberapa lembar ribuan dan dua ribuan. Tangan kiri meraba-raba tombol mesin pemutar lagu dangdut dan campursari. Matanya yang cekung menandakan bahwa tak ada bola di dalamnya. Dia hanya menggunakan intuisinya untuk merasakan keadaan sekelilingnya. Setiap orang yang lewat di depannya dia lihat dengan intuisi itu. Dari alat pembau dan pendengar yang tajam, dia akan hafal siapa yang melempar receh dan lembaran ke dalam kalengnya. Para bakul tak mungkin memberi sedekah. Kebanyakan mereka yang melempar receh adalah pengunjung yang berbelanja.

Di sudut lain, sepasang mata mengawasi pengemis itu. Dia pedagang plastik. Dia menghafal siapa-siapa saja yang melempar koin atau lembaran di kaleng pengemis. Di catatannya, kebanyakan pengunjung laki-laki memberi lebih banyak daripada perempuan. Dia tidak menemukan perbedaan signifikan antara pengunjung kaya dan berduit dengan pengunjung yang biasa-biasa saja. Mereka yang melempar uang di kaleng tak pernah lebih dari lembaran lima ribuan, kecuali pensiunan guru itu.

Selain itu, ada juga tukang parkir yang selalu mengawasi kaleng pengemis. Tukang parkir itulah yang lebih tahu siapa pelempar paling rajin dengan jumlah lebih besar. Pasti si pensiunan guru itu. Dia tak pernah lupa mengawasi lembaran yang dilempar pensiunan guru, dua atau tiga kali seminggu. Selalu di atas selembar puluhan ribu, apalagi jika pas hari Jumat.

Ini Jumat kedua di bulan Agustus. Pensiunan guru itu datang ke pasar lebih awal agar bisa memilih sayuran segar dan ikan kembung yang gemuk-gemuk untuk lauk sedekah Jumat berkah. Melintas di gerbang pasar tak lupa berhenti, merogoh saku dan mengambil uang pengembalian belanjaan kemudian dia masukkan semua ke kaleng pengemis. Dia tidak sempat menghitung berapa jumlah uang kembalian dari pedagang ikan tadi.

Peristiwa itu tidak luput dari pandangan pedagang plastik dan juru parkir. Mereka melihat dan sempat menghitung jumlah uang lemparan pensiunan guru itu. Ada tiga lembar lembaran dua ribuan, selembar lima puluh ribuan, serta beberapa keping lima ratus dan ribuan. Mereka berharap hari ini lebih banyak dermawan yang melempar sedekah ke kaleng pengemis dan tentu akan mendapatkan seperempat dari jumlah yang didapat. Bertiga, mereka sepakat membagi perolehan. Separuh untuk pengemis tunanetra, seperempat untuk pedagang plastik, dan seperempat lagi untuk juru parkir.

Pulang dari pasar, pensiunan guru mendapati istrinya berada di atas kursi roda, meracik bumbu dan membuat sambal. Meski hanya menyiapkan bumbu, itu sudah lebih dari cukup. Nasi sudah siap sejak semalam. Dua alat penanak elektrik cukup untuk 25 bungkus nasi. Kini, tinggal menunggu ikan kembung digoreng lalu bersama sambal dan lalap dimasukkan ke dalam kotak stirofoam dan kirim ke masjid.

“Tahun ini cukup dua kali Jumat sebulan, ya, Bu. Tahun depan bisa tiga atau empat kali. Uang gaji pensiun kita bakal naik dua belas persen.”

“Benar, Pak. Dua belas itu milik orang yang dititipkan kepada kita.”

Mesin waktu menunjukkan pukul 11.35 WIB, nasi bungkus sudah terkemas rapi. Pensiunan guru bergegas menuju masjid. Panggilan salat sudah berkumandang melalui pengeras suara. Beberapa anak dengan sarung di leher mengantre mengambil air wudu, sebagian lagi masih bermain.

Pensiunan guru mengedarkan pandang sekeliling, mencari penjaga masjid untuk menitipkan nasi bungkus. Tetapi, pandangannya tertuju pada pengemis tunanetra yang selalu dia jumpai di gerbang pasar. Kemudian, kepada pedagang plastik yang duduk bersebelahan dengan juru parkir pasar. Sejenak pensiunan guru berpikir, “Apakah dititipkan ke pengemis itu? Ah, tidak mungkin. Bagaimana dia bisa membaginya kepada orang lain?” Sedetik kemudian punggungnya ditepuk seseorang dari belakang, ternyata penjaga masjid. Dan berpindahlah kemasan nasi bungkus itu dari tangannya.

“Barakallah, Pak Guru,” ucapnya sembari mundur membawa bingkisan.

“Amin, semoga membawa berkah, Mas.”

Usai salat, pensiunan guru masih duduk bersandar di dinding menikmati semilir angin dari kipas yang dipasang di langit-langit. Hawa sejuk dan suasana teduh membawa pensiunan guru berselancar ke alam mimpi. Ada sepasang mata menatapnya teduh, lalu bertanya dengan berbisik.

“Siapa yang menyuruh Saudara berbagi uang dan nasi bungkus? Bukankah Saudara sendiri masih kekurangan?”

Pensiunan guru gelagapan ditanya seperti itu, ‘Ya, bukankah aku sendiri masih kurang. Makan hanya dua kali sehari?’

“Berapa gaji pensiunmu? Berapa yang kaubagikan ke pengemis?”

“Tak elok memberi tahu penghasilan kepada orang lain. Tetapi Tuhan mengajari aku menyisihkan sepuluh persen gajiku kepada orang lain. Itu milik mereka.”

“Hari ini kamu melempar uang enam puluh delapan ribu rupiah ke kaleng pengemis dan membagi dua puluh lima nasi kotak. Total kamu mengeluarkan uang sebesar tiga ratus enam puluh delapan ribu rupiah.”

“Penghasilan saya lebih banyak dari yang Anda sebutkan. Mengharap rida Allah dan menyucikan rezeki itu,” jawab pensiunan guru sekenanya.

“Saudara yakin, uang yang Saudara lempar ke kaleng pengemis itu sungguh-sungguh dinikmati sendiri oleh pengemis itu?”

“Saya tidak tahu, tetapi berharap meringankan penderitaannya.”

“Lihatlah ini!”

Lalu orang bermata teduh itu membuka layar tabletnya. Dalam video itu terlihat tiga orang sedang berbagi uang receh dan lembaran. Tak salah lagi. Mereka adalah pengemis tunanetra, pedagang plastik, dan petugas parkir. Mereka membagi uang hasil mengemis itu bertiga. Pengemis mendapat separuh, sisanya dibagi antara pedagang plastik dan juru parkir. Rupanya mereka sepakat membagi rezeki bertiga.

Pensiunan guru terhenyak dan membuka matanya. Sosok bermata teduh sudah tidak ada di depannya. Masih ada beberapa orang berzikir. Dia merapikan letak kopiahnya lalu bergegas keluar. Di pintu keluar, dia bertemu dengan pengemis tunanetra yang tiap saat dia temukan di pintu masuk pasar, masih menengadahkan kaleng berisi kepingan dan lembaran uang. Lalu pensiunan guru mengedarkan pandang sekeliling. Benar, pedagang plastik dan juru parkir duduk di seberang jalan, di bawah pohon beringin yang teduh.

“Assalamualaikum, Saudaraku. Apakah hari ini sudah makan?” tanya pensiunan guru kepada pengemis tunanetra sambil duduk di sampingnya.

“Alhamdulillah, sudah, Bapak Guru. Tadi saya sudah dapat bagian nasi bungkus.”

“Lho, kok Saudaraku tahu aku guru?”

“Saya hafal dengan suara Bapak Guru. Tadi saya melihat Bapak Guru tertidur di dinding sana, tetapi bibir komat-kamit melambungkan doa rupanya?”

“Lho, kok Saudaraku tahu? Bukankah Saudaraku tunanetra?”

“Mata saya tidak melihat, tetapi hati dan seluruh indra saya bekerja, Bapak Guru.”

Pensiunan guru melambai-lambaikan telapak tangan di depan mata keropos pengemis itu. Tanpa ekspresi, pengemis melanjutkan bicara.

“Selama ini Bapak Guru selalu memberi lebih dari yang lain. Dan itu saya syukuri, semoga rezeki Bapak Guru melimpah dan penuh berkah.”

“Amin…, apa Saudaraku diberi tahu bakul plastik dan juru parkir itu?”

Pengemis menghela napas sejenak lalu berkata, “Saya tidak pernah diberi tahu siapa-siapa. Saya juga tidak mengenal mereka, meskipun tiap hari minta jatah dari kaleng saya. Tetapi biarlah, itu juga bagian dari rezeki mereka.”

Pensiunan guru melihat sekeliling. Masih ada jemaah yang berzikir. Bakul plastik dan juru parkir sudah tidak berada di bawah pohon beringin. Kaleng pengemis sudah berisi receh logam, kertas ribuan, dan dua ribuan. Pensiunan guru merogoh saku bajunya, masih ada dua lembar sepuluh ribuan dan satu lembar dua puluh ribuan. Lalu, menggaet tangan pengemis dan memasukkan dalam genggamannya, “Ini ada sedikit rezeki untuk Saudaraku.”

Sampai di rumah, pensiunan guru mendapati istrinya tengah belajar berjalan dengan tongkat stainless steel. Kursi roda dibiarkan teronggok di sudut ruangan.

“Ibu…?” pekiknya keheranan.

“Barakallah, selepas Bapak pergi ke masjid, ada tamu memberi tongkat ini. Katanya titipan dari Bapak.”

“Kapan aku membeli tongkat?” tanya pensiunan guru sambil mengelus punggung istrinya yang kegirangan karena bisa berjalan meski masih tertatih.

“Seorang lelaki bermata teduh bergamis warna putih memberikan tongkat ini. Katanya titipan dari Bapak.”

“Lelaki bermata teduh?”

“Tak sempat aku mengucapkan terima kasih, dia bergegas pergi menyusul Bapak ke masjid, katanya.”

Bukankah lelaki itu yang tadi datang ke alam mimpiku? Pensiunan guru memeluk istrinya yang tertegun melihat mata suaminya berkaca-kaca. Malaikat itu sudah memberikan hadiah tongkat untuk istrinya. []

Mersi, Agustus 2023

Yonas Suharyono. Mantan guru SMPN 1 Cilacap, masih senang berpumpun dengan para sastrawan Yogyakarta, Semarang, dan Purwokerto. Kini tinggal di Mersi, Purwokerto.

Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: Yonas Suharyono

Editor: Ayu K. Ardi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan