Oleh Muhammad Subhan
SETIAP perjalanan memiliki pintu awal yang membukanya. Begitu pula dengan kehidupan saya. Ketika mengenang masa kecil hingga dewasa, ada wajah-wajah yang tak lekang dari ingatan: guru-guru yang mengubah hidup saya tanpa mereka sadari. Mereka, seperti penenun halus, menyulam benang-benang nasib saya menjadi sebuah kain yang penuh warna.
Kisah itu bermula di kelas empat sekolah dasar.
Dunia bagi saya adalah halaman kecil di depan rumah, tempat saya sering bermain sendirian. Kami adalah keluarga sederhana, jarang sekali saya membawa uang jajan ke sekolah. Teman-teman saya sering membeli makanan ringan di kantin, sementara saya hanya bisa melihat mereka menikmati jajanan. Tapi hidup saya berubah ketika Ibu Fauziah, kepala sekolah yang ramah dan penyayang, mengarahkan langkah kaki kecil saya ke tempat yang lebih indah: perpustakaan sekolah.
“Ibu tahu kamu suka membaca,” katanya suatu siang dengan senyum hangat. “Di perpustakaan ada banyak buku cerita. Kamu boleh membaca kapan saja.”
Saya menatapnya dengan mata berbinar. Rasanya seperti mendapat kunci ke sebuah goa berisi harta karun. Buku-buku di perpustakaan itu, dengan sampul warna-warni dan cerita yang beragam, menjadi dunia baru yang menantang dan menyenangkan. Melalui buku-buku itu, saya bertualang ke negeri dongeng, bersahabat dengan tokoh-tokoh imajinasi, dan menemukan cinta pertama pada kata-kata.
Tahun-tahun di sekolah dasar berlalu dengan begitu cepat.
Masa SMP membawa saya bertemu Pak Agus, kepala tata usaha sekolah saya. Sosoknya tidak mengajar di kelas, tetapi kehadirannya mengajarkan pelajaran yang tak kalah berharga. Pak Agus sering meminta saya membantu menulis daftar nama guru atau daftar lainnya di papan tulis ruang guru. Awalnya saya merasa tugas itu membosankan, tetapi beliau selalu memuji kerapihan tulisan saya.
“Kamu punya bakat,” katanya suatu hari. “Kenapa tidak coba ikut Pramuka?”
“Pramuka?” gumam saya. Di kelas 1 SMP, saya tidak tertarik mengikuti Pramuka. Di kelas 2, setelah diajak Pak Agus, muncul kesukaan saya pada ekstrakurikuler itu. Dan, Pramuka juga membuka pintu-pintu kreativitas saya di sepanjang menimba ilmu di bangku SMP.
Betapa tidak, Pramuka melatih mental saya yang semula minder kemudian lebih percaya diri, dan memperkenalkan saya pada organisasi serta kerja sama. Dari aktivitas Pramuka pula, saya mulai mengenal majalah dinding (mading) sekolah, tempat pertama kali saya menumpahkan tulisan-tulisan di sana. Sebuah puisi pendek tentang sosok seorang tua dimuat di sana, dan saya merasa seperti penulis besar yang baru saja menaklukkan dunia.
Ketika saya melangkah ke SMA, minat menulis saya kian bertumbuh subur berkat seorang guru Bahasa Indonesia bernama Ibu Sa’diah. Ia adalah perempuan tangguh dengan sorot mata lembut dan penuh perhatian. Suatu hari, ia memanggil saya setelah kelas usai. “Kamu suka menulis, kan? Coba kirim tulisanmu ke koran. Siapa tahu dimuat.”
Saya menuruti saran itu dengan perasaan antara percaya diri dan ragu. Setelah beberapa minggu, saya hampir melupakan tulisan yang telah saya kirim. Namun, pagi itu datang dengan kejutan besar: nama saya tercetak di sebuah koran lokal, disertai tulisan beberapa judul puisi! Saya ingat betapa bahagianya saya ketika itu, dipanggil kepala sekolah, lalu diumumkan di saat upacara bendera, dan serasa sebagai seorang artis saja, dan pulang berlari ke rumah sambil membawa koran itu, memperlihatkannya kepada ayah dan ibu meski disambut dengan dingin tapi tetap mengacungkan jempol bangga.
Semangat yang ditanamkan Ibu Sa’diah dan guru-guru saya lainnya semakin membara ketika saya berinisiatif mengelola majalah sekolah. Dengan alat seadanya—mesin stensil tua dan tumpukan kertas kosong—saya dan beberapa kawan bekerja keras menerbitkan majalah yang menjadi kebanggaan kecil kami. Majalah itu terbit beberapa halaman, dicetak hitam putih, dan memuat beberapa karya siswa di sekolah kami.
Sungguh, saya belajar banyak dari pengalaman itu: menulis, mengedit, bahkan bekerja dalam tim yang begitu luar biasa.
Ketika hidup membawa saya ke Aceh—karena Ayah orang Aceh, ibu asal Minang—dan kemudian meninggalkan daerah itu karena menjelang tamat SMA ayah berpulang ke Rahmatullah, saya menyadari satu hal: menulis telah menjadi sandaran hidup saya ketika pintu-pintu pekerjaan lain tertutup. Semua perjalanan ini, dari bocah yang jarang punya uang jajan hingga seseorang yang menggantungkan hidupnya pada kata-kata, bermula dari guru-guru saya di sekolah. Mereka tidak hanya mengajar mata pelajaran, tetapi juga melihat potensi saya, membukakan pintu, mendidik dengan hati, dan menyemangati langkah saya, serta menitipkan harapan yang besar kepada anak-anak didiknya di kemudian hari.
Dulu, sewaktu kecil, cita-cita saya ingin menjadi pilot pesawat tempur. Tapi, di kemudian hari, nasib membawa saya menjadi penulis yang siap tempur dalam keadaan apa pun—dan itu, sekali lagi, juga karena semangat dan motivasi guru-guru saya.
Hingga hari ini, saya masih mengingat wajah-wajah mereka dengan penuh rasa syukur. Ibu Fauziah yang memberi dunia baru melalui perpustakaan, Pak Agus yang melatih keberanian melalui Pramuka, dan Ibu Sa’diah yang menghidupkan mimpi saya melalui halaman-halaman koran. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa, pembentuk jiwa dan masa depan.
Jika ada yang bertanya apa yang membuat saya menjadi seperti sekarang, saya akan menjawab tanpa ragu: guru-guruku. Dari tangan mereka, saya belajar bahwa pendidikan bukan hanya soal membaca dan menulis, tetapi juga soal menyentuh hati, membangkitkan potensi, dan menginspirasi mimpi.
Dan untuk itu, saya akan selalu bersyukur, sampai kapan pun … Terima kasih guru-guru hebatku. (*)
Muhammad Subhan
Penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis, menetap di pinggir Kota Padang Panjang.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Tiara Nursyita Sariza
Ruarrrr Biasah Uda Han