Gema Nurani dan Kritik Sosial dalam Puisi-Puisi Ilhamdi Sulaiman
Puisi-puisi Ilhamdi Sulaiman memadukan lirih spiritual, kritik sosial, dan perenungan eksistensial dalam bahasa yang sederhana namun sarat makna.

Oleh Rizal Tanjung
Ilhamdi Sulaiman—yang lebih saya kenal dengan nama Boyke Sulaiman—adalah sosok seniman yang tidak hanya piawai di panggung teater, tapi juga dalam dunia kesusasteraan. Sebagai seorang lulusan fakultas sastra Universitas Bung Hatta ia sangat mengenal sastra meskipun jarang mempublikasikan karya-karyanya. Mungkin dikarenakan kesibukannya dalam dunia teater semenjak tahun ’80-an.
Melalui sajak-sajaknya, kali ini yang diterbitkan Majalahelipsis.id edisi Minggu, 20 April 2025, ia mengendapkan pengalaman spiritual, suara kegelisahan sosial, dan renungan filosofis tentang hidup dan waktu.
Tiga puisinya: “Ibuku Kartini”, “Yang Terhormat”, dan “Mengintip Senja” menunjukkan keberagaman tema yang ia usung, namun tetap dalam satu benang merah: pencarian makna dalam realitas yang kompleks.
Dalam puisi “Ibuku Kartini”, Ilhamdi Sulaiman menafsirkan kembali figur Kartini bukan hanya sebagai tokoh emansipasi perempuan, tetapi sebagai metafora Ibu yang suci, spiritual, dan mendidik. Ia menulis:
Ibuku Kartini, yang mendendangkan ayat Ilahi hingga aku menggeliat mengembang dalam rahimnya.
Baris ini bukan sekadar pujian terhadap Kartini, tapi merupakan simbolisasi dari perempuan yang mendidik dengan nilai-nilai ketuhanan. Penulis menciptakan sosok Kartini sebagai “ibu dari segala ibu”—sosok yang menyejukkan dan penuh kasih:
Ibu kita Kartini, ibu dari segala ibu yang bermuara pada kasih sayang-Nya.
Puisi ini bukan sekadar apresiasi terhadap perempuan, tetapi sekaligus spiritualisasi sosok ibu, menjadikan Kartini sebagai figur universal.
Berbeda dengan kelembutan dalam “Ibuku Kartini”, puisi “Yang Terhormat” tampil dengan nada yang lebih tajam dan menggugat. Ilhamdi menyoroti ketimpangan sosial dan kekosongan makna dari simbol-simbol kebangsaan yang kehilangan rohnya.
Negeri ini punya siapa aku bertanya pada bendera. (Kibar tak lambai lambainya tak sampai Sampainya lah lunglai)
Bendera yang seharusnya menjadi lambang kebanggaan nasional, di mata penyair justru menjadi pertanyaan kosong. Ia mempertanyakan kepemilikan dan arah bangsa, dalam suasana getir dan satire.
Gambaran sosok yang menjajakan “kepedihan” di emperan toko menggambarkan ironisme negeri yang konon kaya, namun masih menyisakan kemiskinan di sisi-sisinya:
tertawa di tangan sebuah kaleng usang ada beberapa uang logam.
Ilhamdi membidik dengan presisi ketimpangan yang nyata, namun tetap dibalut dalam metafora puitik.
Sementara puisi “Mengintip Senja” adalah meditatif—sebuah refleksi tentang kefanaan dan ketidakpastian hidup. Ia menyandingkan keindahan alam dengan kesementaraan kehidupan manusia:
daun mulai kering cokelat tanah menunggu dikuak arwah tempat semayam raga abadi.
Senja di sini bukan sekadar waktu, melainkan metafora batas antara yang kini dan yang akhir. Dalam kalimat sederhana tapi dalam, ia menulis:
Senja tiba malam entah siapa punya.
Puisi ini terasa filosofis dan kontemplatif, seolah mengajak pembaca untuk tidak terlalu mengklaim kepastian—karena seperti senja, hidup juga transien dan misterius.
Suara Lirih yang Menggelegar
Ketiga puisi ini menunjukkan kepiawaian Ilhamdi Sulaiman dalam meramu bahasa yang sederhana namun penuh makna. Ia mampu membawa pembaca ke dalam lorong spiritualitas (“Ibuku Kartini”), menggugah kesadaran sosial (“Yang Terhormat”), dan mendorong perenungan eksistensial (“Mengintip Senja”).
Dalam karya-karyanya, Ilhamdi menunjukkan bahwa puisi bukan sekadar permainan kata, tapi juga jendela untuk memandang dunia dan menyuarakan nurani. Seperti dalam salah satu baitnya yang bisa mewakili keseluruhan jiwanya sebagai penyair:
beri aku jawab dari seribu tanya untuk menutup mata di pinggiran warna warni bendera penanda seorang minta kuasa.
Ilhamdi Sulaiman adalah suara lirih yang tak hanya memanggil, tapi juga menggugah. []
Rizal Tanjung, seniman/budayawan Sumatera Barat.
Penulis: Rizal Tanjung
Editor: Muhammad Subhan