Oleh Muhammad Faruqy Lokatara Rivias

TEPAT tengah malam. Langkah kaki kuda terdengar samar. Pak Nobu pulang membawa gerobak berisi jerami, buat makanan kuda. Pak Nobu turun dari kuda dengan lesu. Aku yang menunggu semenjak mentari terbenam berlari menghampiri.

“Lambat sekali, seharusnya kau sudah menyiapkan tangga!” Pak Nobu melewatiku yang sedang menggendong tangga begitu saja, seperti biasa.

“Pak Nobu mabuk lagi malam ini,” ucap benakku. Toh, jeraminya pun sedikit. Beliau tidak pergi ke luar desa, paling mabuk-mabukan dari sore, lalu kekurangan uang dan akhirnya membeli jerami di toko pakan ternak biasa.

Di gubuk ini, di rumah ini. Kami hanya tinggal bertiga. Aku, Pak Nobu, dan istrinya. Aku dulu dibeli dengan iming-iming sebagai anak angkat, sebab mereka belum memiliki keturunan sejak 30 tahun menikah. Aku juga tahu kalau Pak Nobu tak akan bisa punya anak karena memiliki kebiasaan minum yang buruk. Istrinya juga tidak terlalu peduli denganku. Dia orang yang sangat labil, hampir-hampir gila, namum masih pada tingkat normal. Tapi, terkadang dia memperhatikanku dan bertanya,

“Mau makan apa siang nanti? Nanti Ibu belikan.” Bahkan kata “ibu” itu tidak pernah terasa seperti ibu semenjak aku lahir. Syukurnya aku dapat makan tiga kali sehari. Hanya karena itu aku bersyukur keluar dari penampungan.

Paginya, aku pergi berkeliling karena tugasku hari ini hanya menyiapkan sarapan. Aku pergi ke pedagang beras, membeli sekitar dua genggaman. Kubawa hingga tiba di kuil. Tapi tujuanku bukan di kuil. Ada sebuah pohon rindang tempat berkumpulnya burung-burung, aku menggapai beras dan burung-burung itu langsung mendekatiku.

“Oh, demi zaman Edo. Kuil ini tak pernah didatangi oleh siapa pun.” Namun, aku baru saja melihat seorang wanita berpakaian seperti penduduk kota memasuki kuil tersebut. Diam-diam aku mengintip, dia sedang berdoa. Wajahnya terlihat sangat anggun ketika sedang diam. Kuil ini sebenarnya kotor, bahkan aku yang sering ke sini tak ingin mendekatinya. Sebentar melamun, wanita itu keluar dan menghampiriku.

“Halo, Adik Kecil, kau sedang apa di sini?” Dia menatapku dan tersenyum manis.
“Mm… aku sedang memberi makan burung-burung dan melihatmu di sini. Kau sendiri sedang apa?”
“Aku sedang berdoa, Adik Kecil.” Kini matanya yang tersenyum.
“Bukannya kau orang kota, kenapa tidak berdoa di kota saja?” tanyaku.
“Aku hanya tidak ingin. Ngomong-ngomong, namamu siapa?”
“Hiyoko.”
“Ah…, nama yang lucu. Namaku Reina.”
“Rei…, boleh kupanggil Rei?” Dia hanya mengangguk dan tersenyum.
“Kalau tidak keberatan, mau ikut denganku, Hiyoko?”
“Hm.” Lagi pula aku sedang tidak ada pekerjaan hari ini.

Rei membawaku ke desa tempatku tinggal. Kami berkeliling dan secara tidak sadar kami membahas topik-topik hangat. Tidak lama berkeliling, kami melihat sekelompok samurai dengan pedang mereka yang terhunus tak di dalam sarung. Seketika kepala seorang warga terpenggal. Aku terdiam sejenak, aku berpikir aku menyaksikan kepala seseorang yang telah dipenggal. Dipenggal? Apa yang sedang terjadi?! Warga berlari ketakutan. Sedangkan yang tua memohon-mohon agar mereka tidak dipenggal. Melemas karena fisik mereka yang sudah tidak lagi kuat untuk berlari, namun mereka tetap dipenggal.

Tiba saat aku melihat Pak Nobu memohon sembari mencium kaki seorang samurai, tak dihiraukan juga, Pak Nobu juga ikut dipenggal. Istrinya berteriak kencang dan tidak lama samurai yang lain memenggalnya.

“Hiyoko! Lari!” Rei menarik kencang lenganku. Berlari mengikuti arus warga yang tak tentu arah. Rei membawaku ke luar desa dan menuju jalan yang tidak pernah aku tahu sebelumnya.

Sebenarnya ada kemungkinan aku akan diculik oleh Rei, tapi aku tidak dapat memikirkan apa-apa sekarang, pikiranku terpaku pada kejadian yang baru saja aku lihat. Rei memanggil sebuah kereta kuda yang kebetulan lewat dan datang menghampiri. “Apakah kau akan menuju Kyoto?” tanya Rei.

“Ya, naiklah jika kau butuh tumpangan. Tidak ada salahnya berbuat baik sebelum pulang ke rumah, khe.. khe….” Bapak itu terkekeh.

“Mari naik.” Rei mengulur tangannya untukku. Aku diangkut dan duduk di atas tumpukan jerami. Rei terlihat sedih dan cemas terhadapku. Kurasa dia bukan orang jahat. Dia juga berdoa di kuil tadi. Aku….

“Mereka adalah kabukimono, sekelompok bandit dari kalangan samurai. Mereka terkadang melakukan tsujigiri, memenggal siapa saja yang mereka temui di jalan hanya untuk mencoba ketajaman pedang baru. Dan saat ini, desa kau yang menjadi tumbalnya. Tenang saja, mereka tidak akan membunuh banyak orang, itu akan menumpulkan pedang mereka,” jelas Rei dengan mata tertunduk.

“Kalau situasi sudah aman, kau akan kuantarkan kembali kepada orang tuamu.”

“Tidak usah, aku seorang budak, aku tidak punya orang tua. Majikanku juga sudah dibunuh. Kini aku akan mengikutimu ke mana pun kau pergi,” jawabku lemas. Entah mengapa aku merasa nyaman dengan Rei. Seolah-olah, aku sedang dilindungi. Dan itu aneh.

Rei mendekat dan mengecilkan suaranya, “Aku sebenarnya adalah oiran. Aku pergi dari rumah bordil dan berusaha agar orang di distrikku tidak mengetahui kepergianku. Aku ingin berdoa, tapi tidak di kota. Banyak orang yang aku kenal, terutama para samurai. lalu aku bertemu kuil di desamu. Seperti itulah kira-kira.” Rei memandangku dekat.

Oiran itu apa?”

“Hmm… nanti kau akan tahu. Kita akan pergi menginap di Kyoto malam ini,” jelasnya.

Sesampainya di Kyoto, Rei memberi sebuah kantong emas (kurasa) kepada bapak penyupir. Dia melambai ringan seraya menjauh. Malam ini kami menyewa penginapan. Rei mengatakan bahwa dia menawarkanku kepada penjaga pekerjaan sebagai geisha di rumah teh dekat sini. Sementara Rei akan pergi ke distrik lain untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai oiran.

“Aku sudah bilang ke penjaga penginapan. Kau pasti akan menjadi geisha dengan cepat, karena parasmu yang sangat cantik,” katanya. Aku bahkan tidak tahu apa itu geisha.

Tiga hari setelahnya, aku melompat kelas dari shikomi ke maiko secara tidak langsung, karena aku telah menguasai beberapa keahlian sewaktu aku menjadi budak. Dan dalam dua bulan, aku sudah resmi menjadi geisha. Talenta yang hebat, orang-orang memuji banyak tentang bakat dan kecantikanku. Tetapi sedihnya, semenjak aku ditinggalkan di sini, Rei tidak pernah kembali. Aku bertanya-tanya dan aku mengetahui bahwa oiran dan geisha tidak seharusnya berteman. Oiran juga dianggap hina oleh beberapa orang karena pekerjaan mereka sebagai pelacur. Tapi, Rei tidak tampak seperti itu, dia memiliki pesona wanita polos yang masih menjaga keperawanannya. Aku bertaruh.

“Hiyo-chan, lihat itu. Ada para kabukimono berkumpul.” Kabukimono tiba-tiba muncul di distrik kami. Para geisha yang sedang tidak bekerja, termasuk aku, spontan mengintip. Lalu datang satu gerombolan lagi, tapi pakaian mereka tampak berbeda.

“Mereka, machi yakko? Bukankah mereka bermusuhan? Jangan-jangan… mereka akan berperang di sini?!” Satu rumah teh panik dan aku yakin rumah-rumah di distrik sini juga tidak jauh berbeda.

Para machi yakko (gabungan bakuto ‘penjudi ilegal’ dan tekiya ‘pedagang ilegal’) membawa senjata ala berandal dan membawa beberapa wanita bersamanya.

“Dengar para roninronin busuk, kami telah membawa para oiran sesuai kehendak kalian. Sekarang tepati janji kalian!” Salah seorang dari machi yakko berseru.

“Janji? Huh…, bahkan hukum samurai pun kami langgar, Brengsek!” Para kabukimono menyerbu diikuti oleh machi yakko.

Perang pecah di distrik ini. Penghuni rumah teh menjerit ketakutan. Para wanita bawaan machi yakko kocar-kacir tak karuan. Menyisakan satu di mataku. Itu… bukankah Rei? Bukankah itu Rei? Aku membuka pintu-pintu dan berlari menuju pertarungan sengit yang dikepuli dengan asap pertarungan. Aku melihat Reina. Aku melihat Reina dalam kerumunan. Aku melihat Reina! Para geisha yang melihatku berteriak memintaku kembali, tapi tak kuhiraukan.

“Rei!!” Tanpa pikir panjang aku meraih tangannya. Rei menyadari kehadiranku. Aku berusaha keluar dari pertarungan dan segera pergi kembali menuju rumah teh.

“Hiyoko! Kenapa kau ke sini? Pergi kembali ke tempatmu, ini sangat berbahaya!” Tak kuhiraukan, kerusuhan memecah di seluruh arah, kami kesusahan mencari jalan keluar. Rei berusaha melepaskan tanganku, tapi aku mengeras dan bahkan memegang tangannya dengan kedua tanganku. Rumah teh terlihat beberapa meter lagi di depan dan di saat kami ingin memasukinya, sebuah molotov terbang mengarah ke rumah teh kami. Reina berlari, mencoba untuk mengadang, sayang.…

Aku mendorong Rei jatuh, dan botol itu pecah mengenaiku, membiarkan gaun indahku terbakar dengan api.

“Hiyo..!! Apa yang kau lakukan? Kenapa kau mendorongku? Kenapa kau mendorongku?” Rei menangis meronta-ronta ke tanah. Salah seorang geisha menahannya yang mengamuk mencoba meraihku. Para geisha melihatku dengan tatapan miris dan sedih.

Hmm.., itu yang aku ingat terakhir kali. Hiyoko kini telah menjadi abu. Terbang bersama-sama asap pertarungan. Terinjak dan ditendang ke sana kemari, menyatu dengan darah dan tanah. Tak menyisakan satu anggota tubuh pun yang dapat dikenali.[]

*

Ini aku, aku yang lain. Di depanku tertulis batu nisan bernama Hiyoko, tanpa nama belakang. Seusai pertempuran, aku memunguti sisa-sisa tubuh yang kukira itu adalah Hiyoko. Entah mengapa, tapi hanya ada satu mayat terbakar yang mengenakan gaun yang lebar. Aku tidak akan menyangka pertemuan dan perpisahan kita akan sesingkat ini. Kukira aku akan bisa sering menemuimu di saat para samurai berjanji untuk menikahi para oiran dengan membayar upeti yang besar. Tapi, mereka akhirnya hanya menginginkan kekuasaan.

Namamu kini dipajang di rumah tempat dulu kau bekerja. Dipajang bersama dengan lukisan yang menghiasi dinding-dinding. Sebagai penyelamat nyawa mereka, nyawaku. Sebagai geisha terhormat. Kau akan dikenang, Hiyo.

“Hiyo. Maaf aku telah meninggalkanmu, untuk yang kedua kalinya. Karena kau, aku merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang teman, menjadi seorang ibu. Melihat seorang anak yang cantik sepertimu. Melihat mata yang tak mengerti dunia luar. Aku harap kau akan melihatku sebagai ibu untuk yang terakhir kalinya, bukan sebagai oiran yang hina.”

Dari ibu pertama dan terakhirmu, Reina.[]

Muhammad Faruqy Lokatara Rivias, kelahiran Agustus 2006. Ruqy, demikian ia akrab disapa, telah menyukai dunia penulisan sejak di bangku SMP. Mimpinya untuk menjadi penulis hebat tidak pernah luput sejak pertama ia menyukai betapa menyenangkan merangkai kata-kata dengan emosi. Ia sangat menyukai buku. Menurutnya, tidak ada orang yang suka menulis, tapi tidak suka membaca buku. Kebanyakan buku yang ia baca adalah buku-buku pengetahuan.

Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi AI.

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: M. Faruqy Lokatara Rivias

Editor: Asna Rofiqoh

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan