Gambaran Psikologis Korban Pasca Tsunami dalam Naskah Drama “Preh”
Dalam naskah drama 'Preh', pengarang menggambarkan bahwa kondisi pasca tsunami yang terjadi di Aceh tidak hanya mengguncang masyarakat secara fisik.

Oleh Yuni Nabila Putri
BAGAIMANA naskah drama Preh dapat menggambarkan kehidupan realitas masyarakat Aceh pasca terjadinya bencana tsunami? Apakah bencana tsunami menjadi simbol kehidupan yang terus menghantui? Apakah situasi-situasi yang dirasakan oleh tokoh mencerminkan ketakutan dan ketegangan yang sering terjadi kepada keluarga yang terdampak musibah?
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul ketika membaca naskah drama Preh karya Asma Nadia. Naskah drama ini menarik karena menggunakan latar bencana tsunami seperti suara gemuruh ombak, angin yang kencang, suara-suara teriakan yang mengingatkan saya kepada tragedi tsunami yang terjadi di Aceh tahun 2004. Tokoh Mak dalam naskah Preh tetap gigih bertahan di Gampong Kajhu sampai ia dapat menemukan anak laki-lakinya yang hilang setelah kejadian tsunami tersebut. Anak perempuan Mak yang bernama Limah menerima keputusan Mak yang ingin tetap di sana. namun Bibah (kakak Limah) ingin segera pergi dari Gampong Kajhu dan segera menemui tunangannya yaitu Nurdin. Naskah drama Preh menggambarkan keadaan yang menegangkan antara bertahan di tanah kelahiran yang hancur dan keinginan untuk memiliki masa depan yang lebih baik.
Gambaran Trauma dan Kehilangan Masyarakat Aceh Pasca Tsunami
Sosok Mak dalam Naskah Drama Preh yang kehilangan anak laki-lakinya yang bernama Cutbang memilih untuk menunggu kepulangan anaknya di rumah walaupun gampong sudah hancur dan bisa saja akan menjadi lebih hancur lagi. Keteguhan Mak dalam Naskah Drama Preh mencerminkan para korban bencana di kehidupan nyata, terutama orang tua, yang memiliki harapan kuat agar semua keluarganya dapat kembali bersamanya. Perhatikan kutipan dialog yang menggambarkan trauma kehilangan orang yang disayangi.
MAK
Saat kehilangan laki-laki pertama dalam hidup mak, mak mencoba tegar, karena menganggap itu adalah sesuatu yang biasa terjadi, toh laki-laki itu sudah menurunkan mak seorang laki-laki lagi. Juga dua anak perempuan.
Tapi ketika laki-laki pemberiannya itu pun harus pergi, membawa semua harapan yang lama mak bangun, mak… mak…. (seperti kehabisan kata kata, kembali meratap).
Ahh, ke mana ombak telah membawa si abang? Mak menuggu di sini, Sayang. Di tempat yang tak mungkin Mak tinggalkan sejak kenangan demi kenangan menyemak. Mak menunggumu. Cuma itu yang bisa Mak lakukan. Pulanglah sayang. Pulang. Bukankah setiap pengembara rindu pulang ke tanah asal? Mak lah tanah asal itu, sebelum kita pulang ke Maha Asal. Pulang Abang…” (Hal. 31)
Kutipan dialog tersebut menggambarkan ikatan emosional yang kuat yang dimiliki oleh Mak kepada anaknya. Asma Nadia menggambarkan trauma yang begitu kental akan kehilangan seseorang apalagi keluarga yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan. Mereka juga dihantui oleh ketakutan akan kehilangan lebih banyak lagi orang yang disayang. Bagi Mak, tetap di gampong dan menunggu anaknya kembali adalah cara Mak untuk mempertahankan harapan, dengan menegaskan bahwa tanah kelahiran adalah bagian dari identitas anaknya yang tidak bisa ia tinggalkan. Keputusan ini menjadi simbol dari rasa keterikatan para korban bencana terhadap lingkungan asal mereka. Bagi Mak, Gampong Kajhu adalah saksi bisu dari kehidupan yang ia bangun bersama keluarganya sehingga meninggalkannya sama saja dengan merelakan kenangan akan orang-orang tercinta.
Dalam naskah drama Preh, pengarang menggambarkan bahwa kondisi pasca tsunami yang terjadi di Aceh tidak hanya mengguncang masyarakat secara fisik. Seperti yang disampaikan oleh Santy et al., (2024), dampak bencana yang terjadi di Aceh tahun 2004 tidak hanya menyebabkan kerugian secara fisik akan tetapi juga merusak mental para korban. Bencana yang terjadi juga berdampak besar pada sisi psikologis individu sehingga menyebabkan terjadinya berbagai gangguan psikologis, seperti kecemasan, insomnia, depresi, stres akut bahkan Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD. Lebih lanjut dijelaskan bahwa selain dampak tersebut, hal lain yang dapat memicu dan memperparah kondisi seseorang pasca bencana adalah kehilangan orang tercinta, kehilangan harta benda, dan juga dapat kesulitan dalam mencapai kebutuhan dasar hidup pasca bencana seperti dijabarkan Herdiana dan Lakoro (2024).
Naskah Drama Preh bukan hanya mengisahkan tentang penderitaan masyarakat Aceh setelah terjadinya tsunami, namun juga menggambarkan para tokoh merasakan kehilangan dan trauma menjadi bagian dari perjalanan hidup mereka. Melalui karakter Mak dan pilihan-pilihan emosionalnya, Asma Nadia menyoroti kekuatan manusia untuk bertahan dan melanjutkan hidup, meskipun dalam kondisi yang tampaknya tidak mungkin. Naskah ini memberikan pandangan mendalam tentang makna harapan, keberanian, dan cinta di tengah ketidakpastian, yang dialami oleh mereka yang selamat dari tragedi besar ini.
Perbedaan Respon Terhadap Trauma
Asma Nadia menggambarkan para tokoh dalam Naskah Drama Preh dengan adanya perbedaan respons dari mereka yang telah mengalami bencana tsunami. Setiap tokoh memiliki caranya masing-masing untuk menghadapi dampak dari bencana ini, mencerminkan betapa bencana besar dapat melahirkan reaksi yang sangat bervariasi pada korban yang sama-sama terdampak. Mak yang memilih tetap tinggal di gampong dan menunggu kepulangan anak laki-lakinya. Limah yang juga setuju untuk tinggal bersama maknya dan menunggu Cutbang pulang. Sedangkan Bibah yang tidak bisa menunggu lebih lama lagi dan memilih untuk pergi dan menemui tunangannya, yaitu Nurdin. Perhatikan kutipan-kutipan dialog yang menggambarkan perbedaan respons para tokoh dalam trauma mereka.
MAK
Saat kehilangan laki-laki pertama dalam hidup Mak, Mak mencoba tegar, karena menganggap itu adalah sesuatu yang bisa terjadi, toh laki-laki itu sudah menurunkan Mak seorang laki-laki lagi. Juga dua anak perempuan.
Tapi ketika laki-laki pemberiannya itu pun harus pergi, membawa semua harapan yang lama mak bangun, mak… mak…. (seperti kehabisan kata kata, kembali meratap).
Ahh, kemana ombak telah membawa si abang? Mak menunggu di sini, Sayang. Di tempat yang tak mungkin Mak tinggalkan sejak kenangan demi kenangan menyemak. Mak menunggumu. Cuma itu yang bisa Mak lakukan. Pulanglah, Sayang. Pulang. Bukankah setiap pengembara rindu pulang ke tanah asal? Mak lah tanah asal itu sebelum kita pulang ke Maha Asal. Pulang Abang…” (Hal. 31)
BIBAH
Bisa gila saya bila menungguh terus! orang harus berusaha merubah kebiasaan, bukannya diam. Apa tak lihat orang-orang yang mengungsi? Bahkan Haji Leman yang kaya, punya toko mas yang besar, dan ke mana-mana selalu berkendaraan, saya dengar rela tidur berhimpit-himpit dengan banyak macam orang di pengungsian. Ini malah… heh… pokoknya saya tak bisa terus larut dalam kesedihan. Saya harus pergi!” (Hal. 8)
LIMAH
Ini bukan salah Bang Zein. Soal Cutda dia memang sudah lama ingin pergi. (Limah menangis). Tak apa-apa, Bang. Biarlah saya dan Mak tetap menunggu Cutbang, belum lagi 40 hari. Setidaknya menunggu memberi harapan, secuil apa pun itu.” (Hal. 31)
Dalam kutipan-kutipan tersebut, pengarang menggambarkan perbedaan respons para tokoh dengan sangat realistis, melalui tokoh, pengarang memperlihatkan bahwa trauma yang mereka rasakan dapat mendorong seseorang pada respon yang berbeda dan bertentangan satu sama lain. Di satu sisi, Mak dan Limah akan tetap tinggal di Gampong dan menunggu Cutbang pulang, tetapi di sisi lain, Bibah tidak bisa lagi menunggu dan ingin pergi dari gampong dan dapat memiliki masa depan yang lebih baik lagi di luar sana. Konflik yang terjadi antara Mak, Limah, dan Bibah mencerminkan ketakutan mereka terhadap tsunami, yang menggambarkan realitas yang sering dialami keluarga-keluarga yang merasakan bencana juga di kehidupan nyata.
Mak mencerminkan realitas masyarakat yang merasa terikat pada tanah kelahirannya, meski dihadapkan pada kehilangan besar. Hal ini memperlihatkan bahwa karakter Mak adalah orang yang memilih bertahan sebagai bentuk penghormatan terhadap keluarga mereka yang hilang maupun sudah tiada. Tokoh Limah, memperlihatkan sikap yang serupa dengan Mak. Tokoh Limah dapat membuat kita memahami bahwa trauma seringkali tidak dihadapi sendirian. Seperti yang disampaikan oleh Limah, bahwa ia lebih memilih menunda keinginan pribadinya demi mendampingi Mak, menunjukkan bahwa ikatan emosional dalam keluarganya dapat memperkuat daya tahan individu dalam menghadapi tragedi. Bibah mewakili para korban yang memilih pergi sebagai cara untuk menghindari bayang-bayang trauma dan membuka peluang untuk kehidupan yang lebih baik. Bibah ingin memulai kembali tanpa terikat pada masa lalu yang menyakitkan, menunjukkan bahwa trauma dapat mendorong seseorang untuk mencari lingkungan baru yang tidak mengingatkan mereka pada pengalaman pahit.
Sebuah Penantian yang Tak Pasti
Pengarang menggambarkan tokoh Mak dan Limah sebagai orang yang akan tetap memiliki harapan Dengan selalu menunggu kabar dari Zein yang membantu keluarga Mak dalam mencari Cutbang, namun dalam kenyataan mungkin tidak sejalan dengan harapan itu. Keteguhan Mak dan Limah dengan tetap tinggal di Gampong mencerminkan sebuah penantian yang tidak pasti yang juga dirasakan oleh banyak korban bencana di dunia nyata. Perhatian kutipan dialog ini yang menggambarkan sebuah penantian yang tidak pasti.
LIMAH
Cutda deunge! Masih ada harapan. Jangan pergi! Kita tunggu dulu beberapa hari ini.” (Hal. 15).
Dalam kutipan tersebut, Limah tidak hanya berusaha untuk meminta Bibah tetap tinggal bersama mereka, tetapi juga mencerminkan sebuah harapan agar Cutbang segera dapat ditemukan. Limah berharap kesabaran dan penantian yang selama ini mereka rasakan dapat membuahkan hasil pada penantian yang tidak pasti ini. Melalui keteguhan hati Mak, kesabaran Limah, dan konflik emosional yang terjadi dalam keluarga mereka, Asma Nadia menciptakan sebuah cerminan akan kesetiaan dan kekuatan emosional yang sering kali menguatkan korban untuk bertahan, meskipun kenyataannya tidak selalu berpihak kepada mereka. Naskah Drama Preh mengajak pembaca untuk memahami bahwa trauma dan penantian yang dirasakan oleh korban bencana adalah kenyataan yang tak hanya ada di dalam fiksi, namun juga terjadi di dunia nyata, di mana banyak korban yang tetap bertahan dengan harapan dan juga doa.
Simbol Alam sebagai Cermin Kerapuhan Manusia
Dalam naskah drama Preh karya Asma Nadia, terdapat simbol-simbol alam seperti gemuruh ombak dan tiupan angin kencang yang tidak hanya berperan sebagai latar, namun juga menggambarkan akan kerapuhan manusia di hadapan kekuatan alam. Alam yang tak terbendung ini mencerminkan keterbatasan manusia dalam menghadapi kenyataan dan mengingatkan bahwa manusia hanyalah elemen kecil dari gambaran yang jauh lebih luas. Di tengah suara gemuruh ombak dan tiupan angin kencang, naskah drama ini mengajak pembaca untuk mendalami arti atau makna kehidupan dan refleksi diri atas posisi manusia di dunia.
LIMAH
Saat kejadian itu, ketika gempa mengguncang dan menggelombang menerjang, kami semua melihat, betapa tipisnya antara hidup dan mati. Pasti beralasan. DIA mengambil sebagian dari kami, dan kenapa DIA membiarkan sebagian kami tetap hidup. Barangkali supaya ada yang menjadi saksi, begitu lemahnya manusia, begitu kuatnya Yang Kuasa. Begitu tak berartinya segala perhiasan dunia yang kami timbun selama ini. Hanya dalam hitungan detik, semua harta, rumah dan gedung bertingkat, mobil-mobil mewah, kapal, tersungkur di dalam masjid-NYA.” (Hal. 33)
Ketika Limah mengenang kejadian bencana tsunami, ia menyatakan bahwa kejadian tersebut menjadi saksi betapa lemahnya manusia di hadapan Yang Maha Kuasa. Pernyataan ini menggaris bawahi seberapa besar pengaruh bencana dalam membentuk kesadaran para tokoh akan keterbatasan mereka sebagai manusia. Tsunami, sebagai simbol kekuatan alam, menyadarkan para korban bencana bahwa hidup yang mereka jalani tidak hanya bergantung pada apa yang bisa mereka lakukan, tetapi juga pada kekuatan alam yang tidak dapat dikendalikan.
Drama Preh mencerminkan pemahaman para tokoh bahwa hidup tidak sepenuhnya dikendalikan oleh manusia. Pengalaman bencana tsunami ini mengingatkan para korban bahwa hidup mereka tidak hanya bergantung pada tindakan mereka sendiri, tetapi juga pada faktor-faktor di luar kendali mereka. Kesadaran ini mempertegas bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari alam semesta yang lebih besar dan bahwa alam, sebagai perpanjangan dari kekuasaan Tuhan, memiliki kendali mutlak atas segala hal. Kesadaran akan keterbatasan ini membangkitkan rasa berserah diri para tokoh kepada Allah SWT, mengingatkan bahwa hidup adalah tentang menerima apa yang diberikan dan mengambil hikmah dari apa yang diambil.
REFERENSI
Herdiana, I., & Lakoro, R. 2022. Psychosocial Issues Following Natural Disaster In Palu Central Sulawesi: A Case Study On Adolescents. Journal of Educational, Health and Community Psychology, 11(2), 424.
Nadia, A. (2005). Preh (dalam Tiga Naskah Drama, Hasil Lokakarya Perempuan Penulis Naskah Drama). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Safarina, N. A., & Suzanna, E. (2021). Gambaran Resiliensi Masyarakat Aceh setelah mengalami Pengalaman Traumatis. Jurnal Psikologi Terapan (JPT), 3(1), 20. https://doi.org/10.29103/jpt.v3i1.3639.
Santy, D. H., Nurhasanah, D., Aristo, N., Datachi, S. T., & Amna, Z. (2024). Identifikasi Kesehatan Mental pada Masyarakat Penyintas Bencana Tsunami Aceh Paska 20 Tahun. 8(2), 99–110.
Yuni Nabila Putri. Lahir 29 Juni 2004 di Bukittinggi, Sumatra Barat. Berasal dari Agam, Mata Air Gadut Jorong III Kampung, Kecamatan Tilatang Kamang. Sekarang sedang menempuh pendidikan di Universitas Negeri Padang dengan jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Penulis: Yuni Nabila Putri
Editor: Maghdalena