Oleh Finka Novitasari

PAGI merayap perlahan, mendekap lelapku yang tak dibangunkan oleh dering alarm atau hangat sinar matahari yang biasanya menyusup melalui celah jendela. Melainkan, sebuah sinyal yang dikirimkan hormon ghrelin di lambung dan bergerak menuju hipotalamus melalui aliran darah untuk mendorong rasa lapar. Aku meraih ponsel yang masih menampilkan pop up permainan daring yang kutinggalkan semalam. Kubuka salah satu aplikasi pesan antar makanan. Namun, masih dalam posisi meringkuk di bawah selimut, tiba-tiba pikiranku teralihkan dengan gadis pukul tujuh.

Bergegas kusibakkan selimut dan melangkah menuju balkon. Jalanan di depan rumah lengang. Tiada riuh klakson iring-iringan pengantar anak sekolah beradu dengan sekelompok pekerja koporat yang berusaha menaklukkan waktu di tengah chaos lalu lintas kota. Hanya tampak beberapa manula selepas lari pagi tengah bernaung di bawah pohon rindang dari panas yang belum sepenuhnya mengembang. Tetapi, mataku tak tertarik pada mereka. Aku tak mungkin berela-rela bangun pagi dan menghuyung tubuh yang masih setengah sadar ini hanya untuk mengawasi lalu-lalang jalanan. Tetapi, betapa aku tak pernah bosan mengamati aktivitas gadis manis yang senantiasa keluar pada pukul tujuh di pekarangan rumah bersama dengan kebun kecilnya.

Aku tak tahu persis kapan hari gadis itu pindah ke komplek ini. Yang kutahu, rumah di depanku sudah lama tak berpenghuni. Namun, akhir-akhir ini tampak seorang gadis asik merawat aneka sayur dan buah di pekarangan persis di samping rumahnya.

Sudah dua minggu terakhir aku melakukan hal ini. Tak peduli tahi mata maupun bekas liur masih bersarang di wajah, saat melihatnya, semua itu tak lagi penting. Gadis itu akan menghabiskan waktu sekira sampai pukul sembilan di kebun kecilnya. Ketika hari kerja pun ia tetap menyempatkan diri untuk menyirami tanaman, sebelum pergi—barangkali bekerja—dan muncul kembali keesokan harinya. Pekarangan yang dijadikan tempat berkebun itu tak berpagar, membuatku leluasa mengamati setiap geriknya dari balkon kamar.

Postur tubuhnya yang mungil—kira-kira tak sampai menyentuh satu setengah meter—dengan kulit putih susu dan rambut panjang terurai sampai pinggang. Aku memperhatikan tangannya lincah merawat kebun kecil yang dipenuhi sayuran segar—tomat, cabai, paprika, dan sebagainya. Kagumku bukan sekadar pada parasnya. Namun, pada pilihannya untuk berkebun. Di tengah arus kecepatan teknologi yang memungkinkan memesan makanan serba cepat, ia tetap setia pada cara tradisional macam itu. Tiap kali melihatnya sibuk merawat tanaman ada sesuatu yang tenang, sesuatu yang mengikat perhatianku lebih dalam dari sekadar pemandangan pagi.

Minggu yang cerah ini, rencanaku sudah tersusun rapi. Aku tak mau hanya jadi pengamat yang pasif, mengintip dari kejauhan. Sekadar berkenalan agar aku tak menyebutnya gadis pukul tujuh lagi. Seketika rasa lapar yang semula amat menyiksa, lenyap seiring kemunculan gadis pukul tujuh ke pekarangan dengan perkakas pertaniannya.

Usai mandi dan berpenampilan laiknya pria yang hendak bertemu sang pujaan hati, aku berjalan menuju pintu keluar. Lalu, berbelok sedikit ke utara dan menyeberang jalan.

“Permisi,” sapaku penuh percaya diri seraya menyembul dari rimbunnya pohon cabai dan rambatan batang timun. Gadis itu menoleh, menghentikan pekerjaannya sejenak.

“Mari, ada yang bisa dibantu, Kak?” Tutur katanya terdengar lembut, namun ada kerutan di dahinya, mungkin heran melihatku yang tiba-tiba datang tanpa alasan jelas.

Aku terdiam sejenak, terpesona oleh kenyataan yang ternyata selaras dengan khayalanku. “Aku sering melihatmu berkebun setiap pagi. Menarik sekali apa yang kamu lakukan?”

Aku memperjelas kalimatku agar tak disalahartikan sebagai pria penggoda apalagi yang lebih buruk disangka hendak berbuat kriminal.

“Ee… aku tinggal di rumah ini. Apakah sayur dan buah-buahan ini dijual? Kalau iya, aku mau membelinya.” lanjutku meski awalnya tiada rencana untuk berkata demikian.

Gadis itu tersenyum simpul, lalu menggeleng pelan. “Oh, ini hanya untuk konsumsi pribadi, Kak. Kalau mau, petik saja.”

Berbagai tanaman sayur tertata rapi di polybag. Jenis tanamannya jauh lebih banyak dari yang kuperkirakan. Ada pula selada, seledri, dan bayam yang ditanam dengan cara digantung di dinding pembatas antara pekarangan dan rumah.

“Ini vertikultur, Kak. Memanfaatkan bidang vertikal untuk tanaman yang berusia pendek,” paparnya yang seolah mengerti keherananku.

“Menarik. Apakah kamu juga mendistribusikan hasil pertanian ini ke pasar atau supermarket mungkin?” Aku berusaha menyelidik.

“Oh tidak. Ini sekadar hobi dan untuk konsumsi pribadi saja. Jika ada yang mau, aku membiarkan mereka memetik secukupnya,”

“Wah, sayang sekali. Padahal ini punya nilai ekonomis yang tinggi.”

Gadis yang kunamai gadis pukul tujuh, yang akhirnya memperkenalkan dirinya sebagai Sekar itu hanya tersenyum tipis. “Tidak semua hal diukur dengan uang, Kak,” katanya lembut.

Perlahan, obrolan kami mengalir sampai perihal kesibukan masing-masing. Gadis pukul tujuh—aku terbiasa dengan sebutan ini—rupanya masih berstatus mahasiswa pascasarjana di salah satu kampus swasta terbaik di kota ini. Orangtuanya tinggal di kota lain dan rumah tinggal ini dibelikan untuknya agar tak perlu repot menyewa apartemen.

Waktu berlalu tanpa terasa, sampai Sekar berkata, “tunggu, ya, aku mau membuat sarapan dulu. Sudah jam segini,” ujar Sekar di tengah asiknya obrolan kami sampai terlupa sudah pukul sembilan.

Mendengarnya berucap demikian, kupikir sebuah upaya agar aku segera pergi dari sini secara halus. Namun, ketika aku hendak pamit pulang, ia malah mengajakku sarapan bersama.

Sekitar tiga puluh menit aku menunggu di teras rumah akhirnya, Sekar memanggilku. Pertama kali masuk, tak kutemukan foto Sekar maupun keluarganya. Dinding rumah ini benar-benar kosong. Hanya beberapa hiasan dinding kuno yang tampak berdebu. Ada keheningan di dinding-dindingnya yang tak tertembus pandanganku. Barangkali Sekar belum sempat membersihkan, pikirku. Sempat terlintas di benakku hendak menanyakan itu semua namun, berbagai jenis makanan yang terhidang di meja makan membuat pikiranku teralihkan.

“Bagaimana mungkin kamu memasak semua ini dalam waktu setengah jam?” sanjungku.

Ia tersenyum sambil berkata, “sudah, ayo makan.”

Aku mengambil sup wortel dan kentang, memadukannya dengan potongan telur setengah matang. Kami duduk dan makan bersama dalam keheningan yang nyaman.

“Kalau lapar, kamu nggak perlu keluar cari makan atau memesan makanan daring, dong? Soalnya di halaman sudah tersedia semua,” celetukku di tengah suasana yang menyisakan denting piring dan sendok semata.

“Bisa dibilang begitu. Tapi, masih ada beberapa yang harus aku beli. Beberapa memerlukan lahan yang lebih besar.”

“Kenapa kamu mau melakukan ini?”

“Supaya nggak ketergantungan sama rantai pasokan makanan yang panjang dan rentan gangguan. Bayangkan saja, ketika pemerintah mengambil kebijakan impor cabai kering dari Singapura. Sedangkan Indonesia sendiri adalah negara agraris. Itu baru cabai, bagaimana dengan kebijakan impor beras yang baru-baru ini santer diperbincangkan?” Sekar menjawab, suaranya teduh namun tajam memancarkan kedalaman pikir yang tak terduga.

Usai menyelesaikan sarapan bersama, aku berpamitan hendak pulang. Tak enak bila berlama-lama di rumah hanya berdua.

“Bagaimana terkait rencanamu untuk membeli beberapa sayuranku? Bukankah itu tujuanmu ke sini?” godanya sembari mengantarku ke pintu keluar. Aku tahu, ia tak benar-benar menawarkan sebab aku sudah cerita terkait kebiasaanku yang ketergantungan dengan makanan via daring. Dan, tentu saja aku tak bisa memasak.

“Baiklah. Mulai hari ini aku akan belajar memasak, dan barangkali akan menandingi masakanmu,” balasku setengah berseloroh.

Seikat selada segar, tiga buah paprika hijau, dan beberapa biji tomat ceri kupetik sebelum melenggang pulang. “Berapa?” tanyaku.

“Dibayar pakai hasil masakanmu saja,” pungkasnya seraya tertawa sebelum perlahan menutup pintu gerbang.

*

Lima hari semenjak pertemuan perdana dengan gadis pukul tujuh, kesibukan menelanku dengan berbagai macam tetek-bengek pekerjaan yang seolah tiada habisnya. Aku tak sempat sekadar menengok aktivitas berkebun Sekar dari balkon, apalagi menyapanya. Namun, kerinduan itu mengendap diam-diam. Aku merindukan aroma masakannya, lebih dari itu, senyumnya yang hangat dan sederhana.

Jumat pagi ini aku berniat ke pekarangan rumahnya. Aku tak sempat mengintip dari balkon, sebab Sekar pasti sudah ada di sana. Aku tak peduli bila nanti ia akan mengejekku lantaran selada dan paprika darinya belum diolah sama sekali. Yang penting aku bisa bertemu dengannya.

Langkahku terasa cepat seakan jarak antara rumahku dan rumahnya memendek sendiri. Namun, aku merasakan sesuatu yang ganjil. Banyak orang tengah berkumpul di pekarangan rumahnya. Sekar memang sempat bercerita bahwa ia membolehkan siapa pun yang hendak memetik sayurnya. Tetapi, kali ini lain.

“Kenapa kalian melakukan ini?” songsongku di antara kerumunan itu.

“Apa maksudmu? Kami hanya memetik sayur untuk bahan masakan hari ini.” Seorang perempuan paruh baya tampak tak suka dengan nada bicaraku. Ia sedang memasukkan buah tomat dan beberapa lembar daun seledri ke dalam keranjangnya.

“A-aku tahu. Tetapi, kenapa sebanyak ini? Ke mana Sekar? Apakah dia mengetahui perbuatan kalian yang mencuri sayurnya?”

Orang-orang tampak heran menatapku. Beberapa melontarkan cibiran sebab tak terima kubilang pencuri.

“Sekar?”

“Siapa Sekar?”

“Petugas kompleks ‘kan memperbolehkan kami mengambil sayuran di rumah ini.” Suara yang lain mencericip, tetapi semakin menenggelamkanku dalam ketidakmengertian.

“Kau yang tinggal di rumah depan ‘kan? Bagaimana mungkin kau bilang pekarangan ini milik Sekar? Rumah di sebelah ini sudah lama kosong.”

Aku terus meyakinkan mereka bahwa Sekar adalah pemilik rumah ini. Aku melihatnya sudah dua minggu terakhir dan bertemu perdana dengannya minggu kemarin. Tetapi, orang-orang lebih bersetuju dengan ucapan ibu muda barusan. Suara-suara timbul tenggelam silih berganti.

Aku tak menghiraukan cibiran mereka. Dengan tergesa, kuarahkan tubuhku kembali ke rumah, melangkah lurus menuju dapur. Kubuka lemari pendingin. Di sanalah berbaring tanpa cela selada, paprika, dan tomat ceri yang kupetik kala itu. Ya. sayuran itu tak tersentuh, tak berkurang satu pun apa. Kontan wajahku memucat. Keringat menetes di keningku, padahal Air Conditioner berada di titik sejuk. []

Pacitan, Oktober 2024

Finka Novitasari. Alumnus Universitas Alma Ata, Yogyakarta. Sejumlah karyanya telah tersiar di media cetak maupun daring. Saat ini berdomisili di Pacitan, Jawa Timur.

Penulis: Finka Novitasari

Editor: Ayu K. Ardi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan