FLS3N

FLS3N bukan sekadar ajang lomba, tapi proses pembinaan yang mendalam bagi siswa pecinta seni. Prestasi sejati lahir dari ketekunan, bukan sekadar penunjukan tanpa seleksi yang matang.

Oleh Muhammad Subhan

MULANYA sempat terbetik kabar. Katanya, FLS2N 2025 akan dihapus. Namun, kabar itu ternyata keliru. Tidak dihapus. Hanya berganti nama. Dari FLS2N menjadi FLS3N.

Nama baru itu mencantumkan kata “sastra.” Lengkapnya, Festival dan Lomba Seni dan Sastra Siswa Nasional. FLS3N. “Sastra” kini berdiri sejajar dengan seni. Padahal, sastra adalah bagian dari seni itu sendiri.

Diksi itu terkesan mubazir. Ditambah dua buah kata “dan”. Lebih tepat kiranya FLS2N saja: Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional.

Keputusannya sudah final. Buku Panduan FLS3N 2025 yang diterbitkan Balai Pengembangan Talenta Indonesia, Pusat Prestasi Nasional, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 2025, sudah keluar. Sudah beredar ke sekolah-sekolah.

Tapi tak perlu bersedih soal diksi. Sebab yang lebih penting dari nama adalah ruh di dalamnya. Dan ruh itu masih ada. Masih menyala.

Masih menari dalam jiwa para siswa yang mencintai seni: puisi, lagu, cerita, gambar, gerak, nada, dan warna.

FLS3N adalah oase. Bagi anak-anak yang bicara lewat bait. Bagi remaja yang mengadu rasa lewat sketsa. Bagi mereka yang berbahasa lewat denting gitar dan jentik jemari di kanvas.

Tahun 2025, ajang ini mengusung tema indah: “Ekspresi Seni, Inspirasi Negeri.” Sebuah harapan agar siswa-siswa kita bisa menggali potensi, menuangkan rasa, dan menyampaikan pesan kepada dunia.

Ada pula tema khusus yang sederhana tapi dalam: “Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat. Bangun pagi. Beribadah. Berolahraga. Makan sehat dan bergizi. Gemar belajar. Bermasyarakat. Tidur cepat.”

Barangkali inilah pilar-pilar yang tampak kecil, tapi sesungguhnya pondasi kokoh bagi karakter seorang seniman muda yang tangguh.

Tahun ini, FLS3N membuka 47 cabang lomba. Dibagi untuk tiga jenjang: Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Peserta Didik Berkebutuhan Khusus.

Jenjang SMA/MA/SMK/MAK/Sederajat memiliki 16 cabang, yaitu: Baca Puisi, Cipta Lagu, Cipta Puisi, Desain Poster, Fotografi, Instrumen Solo Gitar, Menyanyi Solo (Putri dan Putra), Jurnalistik, Kriya, Komik Digital, Menulis Cerita Pendek, Monolog, Tari Kreasi, Film Pendek, dan Kreativitas Musik Tradisional. Bidang-bidang yang menampung rasa, imajinasi, dan mimpi.

Namun, di balik semarak panggung nasional, ada kisah-kisah yang tak terlihat. Ada celah yang sunyi. Dan ada praktik yang menyisakan getir.

Beberapa sekolah mengutus siswa hanya berdasarkan “kira-kira.”

“Sepertinya dia bisa menulis puisi.”

“Dia pintar di kelas, pasti bisa membuat cerpen.”

Tanpa seleksi. Tanpa pembinaan. Tanpa menyelami potensi sesungguhnya.

Siswa yang diutus hanya karena nilai akademik, terlihat aktif, tanpa dilihat karya, tanpa diuji lewat kompetisi sekolah.

Tak jarang, siswa itu bingung ketika sampai di arena lomba. Tak siap. Tak kenal medan.

Ini bukan salah siswa. Ini bukan pula sepenuhnya salah guru. Kadang, guru pun tak paham betul materi lomba. Tak sempat menulis. Tak sempat membaca karya. Dikejar jam mengajar. Disergap rutinitas.

Dan akhirnya, hanya “menunjuk” tanpa “menyaring.”

Tapi tentu tak semua sekolah begitu. Ada yang punya cerita berbeda. Cerita yang menyimpan harapan.

Sekolah-sekolah yang peduli terhadap prestasi siswanya, mereka bekerja sama dengan seniman di luar sekolah. Menyediakan anggaran. Melakukan seleksi ketat. Lalu merencanakan jadwal latihan berkelanjutan. Ini sekolah keren.

Dulu, beberapa tahun lampau, di sebuah sekolah di Padang Panjang, saya diajak guru menyeleksi siswa mereka untuk bidang lomba cerpen dan puisi. Sekolah sangat memberi ruang agar muncul bibit terbaik pada FLS2N.

Jauh hari sebelum lomba, sekitar enam bulan, semua siswa kelas VII dan VIII diminta menulis cerpen dan puisi. Tugas bebas. Asal orisinal. Diberi waktu sepekan.

Terkumpullah lebih dari 200 karya. Diseleksi. Dibaca ulang. Disaring pelan-pelan. Lalu ditetapkan yang terbaik. Bukan karena nilai rapor, tapi karena kualitas tulisan.

Lima cerpen dan lima puisi terbaik dipilih. Setelah itu, mereka diberi pelatihan. Selama sebulan. Seminggu sekali, siswa-siswa ini ditantang menulis karya baru. Dilatih, diberi umpan balik, dan dimotivasi lewat buku-buku bermutu yang disediakan pendamping.

Dari sinilah lahir duta FLS2N sekolah. Mereka tidak datang dari ruang favorit. Tapi dari ruang-ruang sunyi, tempat bakat tumbuh diam-diam, hingga akhirnya diberi cahaya untuk menyala.

Siapa sangka, dari proses panjang itu, ketika FLS2N tingkat kota dihelat, siswa sekolah itu juara. Putra juara 1 cerpen. Putri juara 2 puisi.

Otomatis, siswa putra mewakili kota ke provinsi. Jelang ke provinsi, pendampingan dan proses belajar semakin diperketat. Siapa sangka, di provinsi ia lolos kembali. Juara 1 cerpen. Lalu terbang ke Medan untuk mengikuti lomba tingkat nasional.

Menjelang keberangkatan ke nasional itu, siswa tersebut nyaris tak ada jeda untuk belajar dan latihan. Terus dan terus. Ia benar-benar matang. Berangkatlah siswa itu didampingi gurunya ke Medan. Syukurnya, di Medan, ia kembali lolos masuk tiga besar.

Meski tidak juara 1, tapi ia membawa medali juara 3 dan mengharumkan nama sekolah dan kotanya.

Inilah perumpamaan wajah FLS3N. Dan lomba-lomba berjenjang lainnya di tingkat sekolah. Ajang yang bukan sekadar “mengutus,” tapi mempersiapkan. Bukan hanya menunjuk, tapi menemukan.

Kompetensi siswa itu seperti biji dalam tanah. Ia tersembunyi. Tapi bisa tumbuh—jika dirawat. Kalau tidak, ia akan selamanya terpendam. Dan potensi itu akan hilang bersama musim.

FLS3N adalah panggung, tapi juga proses. Ia bukan hanya tentang menang atau kalah. Ia adalah perjalanan. Tentang kerja keras, tentang ketekunan, dan tentang karakter.

Kita berharap, suatu saat nanti, yang berdiri di panggung nasional bukan hanya siswa pilihan yang “dianggap layak,” tapi benar-benar mereka yang telah melalui jalan panjang pembinaan.

Mereka yang dibesarkan oleh guru-guru yang sabar dan tekun. Mereka yang muncul dari lorong kelas yang sepi tapi penuh semangat. Mereka yang menemukan suara sendiri, dan memperdengarkannya ke seluruh negeri.

Sebab sejatinya, FLS3N bukan sekadar festival. Ia adalah cara bangsa ini merawat jiwa-jiwa muda yang ingin bicara, tanpa harus berteriak. Yang ingin dikenal, tanpa harus menjadi viral. Yang ingin didengar, karena karya, bukan karena sensasi semata.

Dan, kelak dari panggung ini, lahirlah tokoh-tokoh besar bangsa: presiden, menteri, diplomat, penyair, seniman, penulis, aktor, artis yang tidak hanya memimpin, menghibur,
tapi juga menginspirasi. Untuk negeri. Untuk masa depan. Untuk kemanusiaan. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, dan founder Sekolah Menulis elipsis.

Gambar ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan