Faktor Penghambat dan Kemunduran Adat Salingka Nagari

Jika tak ada pembenahan, adat salingka nagari bukan lagi warisan luhur, melainkan sekadar simbol tanpa makna.

Oleh Muhammad Jamil, S.Ag. Labai Sampono

SAAT ini, penerapan adat selalu mendapat sorotan karena masih banyaknya perilaku yang menyimpang dari aturan adat dan syarak. Para pemuka adat nyaris tidak bisa berbuat banyak lagi. Setiap waktu, masalah muncul, dan kritik terhadap pemajuan adat terus berdatangan karena tidak dijalankannya fungsi adat oleh para pelakunya sendiri.

Setidaknya ada tujuh kendala utama yang menyebabkan adat tidak lagi tertanam dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau:

1. Gelar pemuka adat hanya sekadar prestise, bukan prestasi.

Hal ini terbukti dengan adanya pemuka adat yang tidak beradat dan tidak beradab. Parahnya lagi, nasihat dari orang lain sering kali dianggap tidak berarti.

2. Perasaan lebih tinggi.

Sering kali, pemuka adat merasa lebih tinggi sehingga risih menerima nasihat. Kadang, orang yang memberi nasihat justru dianggap musuh karena dinilai telah merendahkannya dan memberi malu. Tidak jarang, hal ini memicu percekcokan, terutama ketika pemuka adat mengadu kepada kaum kerabatnya dengan mengatakan bahwa dirinya telah direndahkan. Perasaan lebih tinggi ini, terutama saat seseorang telah bergelar dan mengenakan pakaian datuak, menyebabkan berkurangnya keharmonisan dengan generasi berikutnya.

3. Dendam leluhur.

Kadang, dendam warisan dari leluhur ditanamkan kepada anak kemenakan. Masalah yang terjadi antara pemuka adat suatu suku dengan suku lain di masa lalu masih diwariskan hingga sekarang. Hal ini dapat menyebabkan permusuhan turun-temurun, bahkan ada yang sampai melarang pernikahan antar-kaum.

4. Memaksakan gelar adat yang tidak sesuai dengan kepribadian.

Filosofi gelar adat seharusnya mencerminkan karakter penyandangnya. Misalnya, gelar Pakiah diberikan kepada seseorang yang faqih, paham hukum syariat, sehingga bisa berperan sebagai petugas adat dalam bidang hukum. Gelar Sutan bermakna sultan atau raja, sementara Imam berfungsi sebagai pemimpin dalam kaum. Jika gelar adat tidak sesuai dengan kepribadian seseorang, maka akan sulit baginya menjalankan peran adat yang diemban.

5. Tidak ada pembekalan kapasitas bagi calon pemuka adat.

Ada pepatah yang mengatakan, “Karambia tumbuah di mato, batuang tumbuah di buku.” Artinya, seseorang dipaksa menerima gelar adat tanpa persiapan yang cukup. Bahkan, ada yang memperebutkan gelar datuak tanpa memahami tanggung jawab besar di baliknya.

6. Tidak menjalankan kriteria sebagai pemimpin adat yang sah dan baik.

Seorang pemuka adat seharusnya memenuhi kriteria kepemimpinan yang telah ditetapkan secara adat. Namun, dalam banyak kasus, hal ini diabaikan.

7. Tidak berjalannya fungsi edukasi, regenerasi, dan pembekalan calon pemuka adat.

Jika tidak ada regenerasi dan pembekalan yang baik bagi calon pemuka adat, adat akan kehilangan eksistensinya dalam kehidupan masyarakat.

Menurut kami, jika persoalan ini terus diabaikan dan tidak ada pembaruan rumusan adat di nagari-nagari, maka adat akan semakin ditinggalkan oleh generasi selanjutnya. Gejala ini nampaknya sudah mulai terjadi dan sedang berlangsung. []

Muhammad Jamil, S.Ag. Labai Sampono
Pengurus LKAAM Sumbar dan Penulis Buku tentang Minangkabau.

Penulis: Muhammad Jamil, S.Ag. Labai Sampono

Editor: Muhammad Subhan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan