Fakta-Fakta Gempa Dahsyat di Myanmar
Peristiwa ini terjadi di tengah krisis kemanusiaan yang melibatkan etnis Rohingya, sementara junta militer Myanmar menghadapi tekanan global.

Catatan Adisman Libra | Padang
SUARA gemuruh mengguncang tanah, bangunan berderak, dan dalam hitungan detik, kehancuran melanda. Gempa bumi tidak hanya mengguncang tanah di bawah kaki, tetapi juga menggetarkan kesadaran manusia.
Gempa berkekuatan 7,7 magnitudo mengguncang Myanmar pada Jumat (28/3/2025). Getarannya terasa hingga Bangkok, Thailand. Ratusan orang di Myanmar dan beberapa di Thailand dilaporkan tewas. Junta militer Myanmar mengumumkan kondisi darurat dan meminta bantuan internasional untuk pemulihan. Korban tewas mencapai lebih 1.000 orang, sementara 732 lainnya mengalami luka-luka.
“Peningkatan jumlah korban tewas dan luka-luka masih mungkin terjadi. Banyak bangunan yang runtuh, sehingga operasi penyelamatan masih berlangsung,” ujar Min Aung Hlaing, pemimpin junta Myanmar.
Kepala Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, menganalisis dua gempa dahsyat yang berpusat di Myanmar pada Jumat (28/3/2025). BMKG mencatat adanya gempa kembar dengan kekuatan 7,6 M dan 7,2 SR.
“Gempa kembar atau double earthquake adalah dua peristiwa gempa bumi yang memiliki magnitudo hampir sama dan terjadi dalam waktu serta lokasi pusat gempa yang berdekatan,” jelasnya.
Gempa pertama berkekuatan 7,6 SR terjadi sekitar pukul 12.50 waktu setempat atau 13.20 WIB dengan kedalaman 10 km. Sebelas menit kemudian, gempa kedua terjadi dengan kekuatan 7,2 SR dan kedalaman yang sama.
“Gempa kerak dangkal (shallow crustal earthquake) ini dipicu oleh aktivitas Sesar Sagaing,” tambah Daryono.
Sesar ini merupakan sesar aktif yang membentang di kota-kota besar di Myanmar. Kerusakan parah dilaporkan terjadi di beberapa wilayah, termasuk Naypyidaw.
Myanmar selama ini dikenal karena perlakuan keras terhadap Muslim Rohingya di bawah kepemimpinan Min Aung Hlaing. Saat bumi berguncang, sebagian orang melihatnya sebagai peringatan, sementara yang lain menganggapnya sebagai kejadian alam semata.
Dalam sejarah, banyak gempa besar terjadi bersamaan dengan peristiwa sosial dan politik yang dramatis. Ingat gempa dahsyat yang menghancurkan Lisboa pada tahun 1755? Peristiwa itu tidak hanya menghancurkan kota tetapi juga mengguncang keyakinan manusia terhadap Tuhan dan takdir. Beberapa orang melihatnya sebagai hukuman atas dosa penduduk, sementara ilmuwan mencoba menjelaskannya secara rasional.
Tak bisa disangkal bahwa hubungan antara manusia dan alam lebih kompleks daripada sekadar angka dan statistik. Beberapa budaya percaya bahwa bumi memiliki kesadaran, bahwa alam memiliki caranya sendiri untuk berbicara. Jika benar, mungkinkah gempa adalah cara alam memberi peringatan, menunjukkan ketidakseimbangan, atau bahkan menuntut keadilan?
Pada tahun 2015, Myanmar memiliki sekitar 1,4 juta penduduk Rohingya. Kelompok etnis minoritas Muslim ini telah tinggal di Myanmar selama berabad-abad, tetapi tidak diakui sebagai warga negara dan kerap mengalami diskriminasi. Sejak 2015, lebih dari 900.000 pengungsi Rohingya melarikan diri ke Bangladesh tenggara, serta ke negara-negara tetangga dan Muslim lainnya, termasuk Indonesia.
Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) telah mengajukan permohonan surat perintah penangkapan terhadap Jenderal Senior Min Aung Hlaing atas dugaan keterlibatannya dalam kejahatan terhadap kemanusiaan yang menargetkan populasi Rohingya. Langkah ini diumumkan pada Rabu lalu setelah investigasi menyeluruh ICC terhadap gelombang kekerasan tahun 2016 dan 2017 di Provinsi Rakhine, Myanmar.
“Kantor saya menyimpulkan bahwa ada alasan kuat untuk meyakini bahwa Jenderal Senior Min Aung Hlaing bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan berupa deportasi dan penganiayaan terhadap Rohingya, yang dilakukan di Myanmar dan sebagian di Bangladesh,” ujar Jaksa ICC, Karim Khan, dalam pernyataan resminya.
Satu hal yang pasti—gempa bukan sekadar getaran di tanah. Ia adalah pengingat dari alam, atau mungkin dari sejarah itu sendiri, bahwa manusia tak pernah benar-benar bisa mengendalikan segalanya. []
Adisman Libra, Tim Redaksi Majalahelipsis.id.
(Dirangkum dari berbagai sumber)
Penulis: Adisman Libra
Editor: Muhammad Subhan