Oleh Moehammad Abdoe
Kau berjalan menyusuri lorong gelap kota yang tampak merosot, di mana lampu jalanan tidak lebih dari sisa-sisa kunang-kunang yang terhapus oleh kabut kematian. Tanganmu menggenggam sebotol kecil pil berlabel hitam dengan angka-angka yang samar. Jalanan ini, tempat di mana kau dan dua jiwa terhilang lainnya bertemu, adalah arena pertempuran batin yang tak pernah berakhir.
Gareth, sahabat lamamu, selalu menjadi yang pertama menegur. “Dari dulu aku bilang, kau mesti berhenti.” Suaranya serak, penuh kepedihan dan keputusasaan.
“Ah, Gareth. Jangan mulai lagi,” jawabmu tanpa menoleh. Kau tahu, percakapan ini tidak akan membawa perubahan. Sudah terlalu sering kalian berputar dalam lingkaran yang sama-gila, putus asa, dan penuh amarah.
Di depanmu, Kai duduk di tepi trotoar, memandangi botol minuman beralkohol yang hampir kosong. Kai, dengan tatapan kosong yang menyimpan lebih banyak rahasia daripada buku harian apa pun. “Apa kau datang hanya untuk menghakimi?” tanyanya, mengangkat botol seolah-olah itu adalah piala kemenangan yang penuh dengan kepahitan.
“Aku datang karena ini adalah kebiasaan kita, bukan?” Kau membalas, menatap mereka dengan mata yang tidak pernah benar-benar melihat. “Sekali lagi, kita berkumpul dalam pusaran yang sama-gila, putus asa, dan penuh amarah.”
Gareth merengut. “Kita butuh lebih dari sekadar rutinitas untuk keluar dari sini. Kau tahu itu.”
Kau tahu. Tapi tahu saja tidak cukup untuk mengubah apa pun. Pil yang kau bawa itu, seakan menjadi simbol dari semua harapan dan kebencian yang terakumulasi. Kau ingat ketika kau pertama kali menemukannya, sebuah janji manis untuk membebaskan diri dari segala rasa sakit. Sekarang, itu hanya sebentuk ilusi yang merayap ke dalam hidupmu.
“Rasa sakit?” Kai tertawa getir. “Apakah kau pikir ini hanya tentang rasa sakit? Ini tentang kehilangan-kehilangan harapan, kehilangan diri sendiri. Kau tahu betapa banyaknya kita kehilangan sebelum pil-pil ini menjadi pelarian kita.”
Kau tidak bisa tidak setuju. Kau ingat hari-hari ketika masa depan tampak cerah, seperti gambar yang dicetak pada selimut di toko-toko murah. Tapi sekarang, semuanya menyusut menjadi bayangan yang tak pernah menentu. Setiap malam, kau mengulang rutinitas yang sama, hanya untuk merasakan kekosongan yang sama.
“Kalau begitu, apa rencana kita?” tanya Gareth, suara penuh frustrasi. “Lagi-lagi, kita hanya berputar dalam lingkaran setan ini.”
“Rencana?” Kai menjawab sinis. “Apa itu rencana? Hanya ilusi lain yang diciptakan oleh mereka yang tidak bisa menerima kenyataan.”
“Dan kenyataannya?” Kau bertanya dengan nada penuh kebingungan. “Apa kenyataan kita?”
“Realitas ini—“ Kai berhenti, mengamati langit gelap yang tampaknya menyatu dengan kegelapan dalam dirimu. “Adalah kita terjebak dalam lingkaran yang tak bisa kita pecahkan. Kita seperti tikus di labirin, hanya mencoba untuk bertahan hidup.”
“Kau terlalu banyak berpikir.” Gareth mendengus. “Cobalah untuk keluar dari sini. Cari sesuatu yang nyata.”
“Yang nyata?” Kau mengulang. “Apa yang nyata dalam hidup kita selain ilusi yang kita buat sendiri?”
Dialog ini tidak hanya mengungkapkan kebingungan, tetapi juga perpecahan di dalam diri masing-masing dari kalian. Pil-pil itu adalah teman setia dan musuh terbesar sekaligus, dan semua kata-kata ini hanya menambah rasa sakit. Tapi mungkin, kata-kata itu juga bisa menjadi alat untuk mengungkapkan ketidakpuasan yang telah lama terkubur.
Ketika malam semakin dalam, kau merasakan ketegangan di udara semakin tebal. Ada sesuatu yang terasa berbeda malam ini, dan kau tidak bisa mengabaikan rasa cemas yang menyelimuti dirimu. Langit di atas tampak seperti kanvas yang dipenuhi dengan awan gelap yang bergerak perlahan, menyelimuti segala sesuatu dalam misteri yang tak terpecahkan.
“Apakah kita siap untuk mengakhiri ini?” tanya Gareth dengan serius. “Maksudku, benar-benar mengakhiri ini.”
“Apa maksudmu?” Kau bertanya, mata tertutup rapat.
“Lepaskan semua,” kata Gareth. “Akhiri permainan ini. Kita tidak bisa terus seperti ini.”
Sebelum kau bisa merespons, Kai berdiri dengan gerakan mendadak, seakan-akan mendapatkan pencerahan. “Kalian tidak mengerti,” katanya. “Kalau kita terus seperti ini, kita hanya akan menjadi cerita lama yang terlupakan. Apakah kita benar-benar ingin menjadi itu?”
Gareth menatap Kai, lalu kau. “Jadi, apa pilihan kita?”
Pilihan. Itu kata yang selalu kau hindari. Pilihan berarti ada sesuatu yang bisa diubah, sesuatu yang bisa diperbaiki. Tapi dalam kehidupan kalian, apa yang bisa diubah? Pil-pil ini, kebiasaan buruk ini, semuanya seperti belenggu yang tak bisa diruntuhkan. Dalam kegelapan ini, pilihan terasa seperti ilusi lain yang hanya mengarah pada lebih banyak kebingungan.
“Aku tidak tahu.” Kau menjawab dengan suara hampir tidak terdengar. “Mungkin kita hanya harus mengikuti apa yang sudah ditakdirkan.”
“Takdir?” Kai mendengus. “Takdir hanya sebuah kata. Kita sendiri yang menciptakan jalan kita.”
Ketegangan mencapai puncaknya. Kau merasa udara di sekelilingmu semakin menyesakkan. Dengan sebuah keputusan yang tampaknya mustahil, kau mengangkat pil itu, memperhatikannya dengan penuh rasa takut dan keraguan. Dalam genggamanmu, pil itu tampak seperti kunci dan penjara sekaligus.
“Kalau begitu, apa yang akan kita lakukan?” tanya Gareth dengan nada penuh harapan yang mulai memudar.
Kau tidak bisa menjawab. Pilihan ini, di tanganmu, terasa seperti satu-satunya keputusan yang tersisa. Tapi apa yang sebenarnya tersisa? Hanya dirimu, botol pil, dan kegelapan yang mengelilingi kalian.
Kai menatap botol itu dengan mata yang kosong, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang menunjukkan sebuah keputusan sudah dekat. “Mungkin kita perlu membuat pernyataan. Jika kita terus seperti ini, kita hanya akan menjadi simbol kegagalan.”
Gareth mengangguk, meski ada kekhawatiran di wajahnya. “Jika kita harus membuat keputusan, mari kita pastikan itu berarti sesuatu.”
Dengan perasaan yang campur aduk, kau membuka botol pil dan menuangkan sebagian ke telapak tanganmu. Kau merasakan berat pil-pil itu, setiap butirnya seperti beban yang tak tertanggung. Kemudian kau memandang kedua sahabatmu, seolah menunggu konfirmasi dari mereka.
Kai mendekat dan mengamati pil-pil itu, lalu menatapmu dengan tatapan penuh makna. “Apakah kau benar-benar siap untuk ini? Apakah kita siap untuk mengakhiri semuanya?”
Gareth, dengan nada suara yang lembut, berkata, “Kadang-kadang, kita harus membuat keputusan drastis untuk melawan ketidakberdayaan.”
Kau mengangguk pelan. Saat malam semakin dalam, dan udara terasa semakin dingin, kau merasa tertekan oleh pilihan yang harus diambil. Dengan hati yang berdebar kencang, kau menyadari bahwa keputusan ini—meski tampaknya menjadi akhir—adalah bagian dari perjalanan kalian yang tidak pernah selesai. Kegelapan, rasa sakit, dan kebingungan telah mengisi hidup kalian, dan kini, pilihan itu akan menentukan apakah ada sedikit harapan yang tersisa.
Kau melihat Gareth dan Kai, dua sahabat yang kini tampak seperti bayangan dalam kegelapan malam. Setiap detik yang berlalu membawa kalian lebih dekat pada keputusan yang tampaknya tidak ada jalan keluar. Pilihan untuk menelan pil-pil itu atau meninggalkannya adalah simbol dari pertempuran batin yang tak pernah selesai.
Tiba-tiba, tanpa sepatah kata pun, Kai meraih sebagian pil dari tanganmu dan memasukkannya ke mulutnya. “Kalau kita harus membuat pernyataan, mari kita buat yang paling dramatis,” katanya dengan suara penuh tekad.
Gareth, dengan mata yang penuh air mata, melihat apa yang terjadi dan akhirnya mengikuti jejak Kai, menelan pil-pil itu. Kau tertegun, merasakan beban berat yang tersisa di tanganmu. Akankah ini menjadi akhir dari semua penderitaan atau hanya awal dari sesuatu yang lebih buruk?
Saat kau merasa seperti berada di ambang jurang, kau mengangkat pil terakhir dan menatap langit yang sekarang dipenuhi dengan bintang-bintang yang samar. Dalam hati, kau bertanya-tanya apakah ada sesuatu di luar kegelapan ini—sebuah epiphany yang sebenarnya.
Kau menelan pil terakhir, dan dalam kegelapan malam yang menutupi segala sesuatu, semua yang kau tahu hanya menyusut menjadi titik-titik bintang yang jauh. Kegelapan menelan kalian, dan keputusan yang diambil hanyalah bagian dari cerita yang belum sepenuhnya terungkap.
Dengan napas yang tersisa, kau bertanya-tanya apakah ini adalah akhir dari perjalanan kalian atau apakah ada sesuatu yang lebih dalam menunggu di luar kerudung twilight. Keputusan kalian telah diambil, dan seperti senja yang tak pernah sepenuhnya gelap atau terang, masa depan masih menjadi misteri yang tak terpecahkan.
Kegelapan menyelimuti, dan satu-satunya hal yang bisa kau rasakan adalah bahwa perjalanan kalian telah mencapai titik yang menentukan, meskipun hasilnya masih mengambang dalam kekosongan yang tak terjelajahi.
Malang, 19 September 2024
Moehammad Abdoe. Lahir di Malang, pelopor komunitas Pemuda Desa Merdeka, pengamat film, sejarah, serta menulis puisi dan cerpen yang dimuat di berbagai surat kabar dan majalah nasional. Buku puisi terbarunya berjudul Debar Waktu terbitan Elex Media Komputindo/Kompas Gramedia (2021).
Ikuti update terbaru tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Moehammad Abdoe
Editor: Anita Aisyah