Dunia Menari Gara-Gara Dika

Viralitas hanya pintu gerbang. Setelah itu, tantangan sebenarnya adalah merawat tradisi, menjaga keaslian, dan membuat wisatawan ingin datang lagi dan lagi.

Oleh Muhammad Subhan

BERKACA mata hitam, bertanjak hitam, dan berpakaian hitam khas Melayu, bocah itu lincah menggerakkan tangan dan menjaga keseimbangan badan. Ia berdiri di ujung perahu yang dikayuh puluhan pendayung tangguh. Gayanya tenang. Tapi menimbulkan semangat. Ia tak takut jatuh ke sungai yang dalam.

Usianya masih sangat muda. 11 tahun. Namanya Rayyan Arkan Dikha. Dika, panggilannya.

Siapa sangka, Dika hari ini mengajak dunia menari. Melepaskan segala beban penat hidup. Tarian yang tenang, tapi asyik. Semua bermula gara-gara video, yang tentu banyak orang merekamnya, kemudian viral di media sosial.

Itu dahsyatnya media sosial. Dulu, pernah ada yang merekam Dika di TikTok, tapi sepi. Sampai suatu hari, Dika menemukan titik takdir suksesnya. Gayanya menari di ujung perahu sebagai togak luan ‘penari simbolik yang bertugas menyemangati pendayung dalam lomba pacu jalur’ menarik simpati, mata, dan hati jutaan orang di dunia. Pacu jalur sendiri merupakan tradisi olahraga air dari Kuantan Singingi, Riau, yang telah berlangsung sejak abad ke-17, saat sungai menjadi jalur utama transportasi warga, sumber hidup dan kehidupan orang-orang Melayu.

Saya kagum pada Dika. Anak sekecil itu mengubah nasib dirinya dan keluarganya. Siapa sangka. Netizen menyebutnya memiliki aura farming. Aura positif sebagai sebuah tren digital era Gen Z dan Gen Alpha yang mengacu pada cara menampilkan diri yang keren, menarik, dan berkarisma. Yang dilakukannya tidak dibuat-buat, mengalir secara alami, dan ia pun tak menyangka banyak kamera dan lensa menyorot kepadanya.

Media-media asing banyak menulis dan menampilkan foto Dika di atas perahu itu. Sejumlah tokoh dunia mengomentari dan menari pula. Padahal mulanya video Dika yang entah siapa yang merekam, berdurasi kurang dari semenit. Dan tentu, bukan hanya kepada Dika sorotan mata dunia itu, tetapi juga kepada Kuantan Singingi, daerah yang merawat dan melestarikan tradisi budaya pacu jalur sejak berabad-abad lampau.

Aura farming istilah yang biasa digunakan dalam online games untuk menggambarkan aktivitas mengumpulkan atau memanen aura, yang bisa berupa poin, energi, atau buff, secara berulang demi meningkatkan kekuatan karakter. Dalam konteks ini, farming berarti aktivitas repetitif untuk mendapatkan sumber daya sebanyak-banyaknya.

Selain di dunia game, istilah ini juga bisa muncul dalam komunitas spiritual atau percakapan sehari-hari. Di ranah spiritual, aura farming diartikan sebagai upaya merawat atau memanen energi positif melalui meditasi atau praktik tertentu. Sementara dalam bahasa gaul, kadang dipakai secara sarkastik untuk menyebut orang yang “mencari vibes” atau perhatian dari lingkungan demi membangun citra diri yang lebih baik.

Tapi Dika tidak melakukan aura farming yang dibuat-dibuat. Semua mengalir alamiah. Dan ketika terjadi secara alamiah, orang-orang di dunia pun berjoget mengikuti Dika yang memancing kekaguman publik.

Bagi Riau, Dika adalah ikon pariwisata yang menguntungkan bagi branding Riau. Tak hanya Riau, tentu juga Indonesia. Gubernur Riau mengangkat Dika sebagai Duta Pariwisata Riau dan memberikan beasiswa pendidikan. Pantas, Riau berterima kasih kepada Dika. Pun Indonesia berterima kasih kepada Dika. Menteri Kebudayan, Fadli Zon, juga mengundang Dika ke Jakarta. Fadli Zon memuji Dika karena telah membawa budaya Indonesia menembus batas digital dunia.

Semuanya spontan. Semuanya bermula dari kekuatan media sosial yang juga dibesarkan media konvensional.

Dika membawa aura positif. Segala yang positif ketika tersebar ke dunia, orang-orang terbawa efek positif.

Saya teringat Desa Wisata Kubu Gadang di Padang Panjang. Di sana ada kesenian Silek Lanyah, bersilat di dalam lumpur. Silek Lanyah juga telah menjadi ikon Kubu Gadang, Padang Panjang, dan menarik mata banyak orang untuk datang ke Padang Panjang. Silek Lanyah juga memiliki aura farming, meski belum spontanitas mengejutkan dunia seperti Dika. Tapi itu soal waktu saja.

Di balik sorot kamera, media sosial telah mengubah peta promosi destinasi wisata. Dulu, orang harus memasang baliho, iklan di surat kabar, menjemput wartawan agar mau menulis. Sekarang, sebuah destinasi bisa muncul ke permukaan hanya lewat satu video pendek. Satu momentum. Satu unggahan bisa lebih kuat dari puluhan brosur.

Namun, ketika viralitas datang, persoalan yang lebih berat menanti: bagaimana mempertahankan perhatian publik. Karena orang mudah kagum, tetapi juga mudah bosan. Produk wisata yang tidak dibarengi dengan inovasi dan perawatan akan cepat tenggelam dalam riuhnya konten baru di linimasa.

Inilah tantangan yang mesti dijawab bersama. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, komunitas budaya, dan masyarakat setempat harus bergerak cepat. Jika sebuah destinasi viral, maka infrastruktur penunjangnya juga harus siap. Fasilitas yang bersih, akses jalan yang memadai, penataan pedagang lokal, dan keamanan wisatawan adalah hal-hal mendasar yang tak boleh diabaikan.

Selain infrastruktur, keaslian narasi menjadi kunci. Dika menjadi fenomena bukan hanya karena tariannya, tetapi karena ia bagian utuh dari cerita pacu jalur yang mengakar. Destinasi lain pun perlu merawat narasi. Setiap tarian, alunan musik, sungai, hutan, ladang, punya nilai. Nilai itulah yang akan membedakan sebuah destinasi dengan destinasi lain.

Kolaborasi lintas platform harus diperkuat. Media sosial perlu bersinergi dengan media massa, film dokumenter, liputan mendalam, hingga produk kreatif yang bisa memperpanjang napas viral. Jangan sampai kehebohan hanya berhenti di layar ponsel. Orang harus datang, merasakan sendiri, lalu membawa pulang cerita, untuk kemudian datang lagi dan lagi.

Masyarakat lokal pun harus menjadi tuan rumah yang ramah. Pariwisata bukan hanya soal pemandangan, tetapi juga tentang bagaimana manusia merawat tamu-tamunya. Ketika pengalaman wisatawan positif, mereka akan menjadi duta-duta kecil yang menularkan kabar baik. Dari mulut ke mulut, dari story ke story, dari status ke status.

Dan terakhir, pemerintah mesti memikirkan regenerasi. Hari ini ada Dika, besok harus lahir Dika-Dika lain. Anak-anak kampung harus punya panggung. Tradisi harus diwariskan, bukan hanya difilmkan. Viralnya satu budaya harus menumbuhkan kebanggaan kolektif, bukan sekadar peluang ekonomi sesaat.

Maka, mari belajar dari Dika: menari di ujung perahu bukan hanya soal gaya, tetapi tentang keberanian menjaga keseimbangan di arus deras zaman. Agar setiap riak tarian, tak hanya menenangkan hati, tetapi juga menggerakkan dunia. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.

Gambar ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Komentar

1 Komentar

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan