Oleh Arie Fajar Rofian

PADA pagi yang tak biasa, langit tampak begitu sendu, awan berwarna abu-abu menggantung rendah serupa kesedihan yang tak tertahankan. Di jalanan yang basah sisa hujan pada malam sebelumnya, langkah kaki membentuk garis panjang di permukaan trotoar. Tidak ada yang mencolok, hanya sekelompok orang yang berlalu-lalang dengan ekspresi kosong, seperti tidak tahu apa yang harus dipilih atau bahkan apa yang sedang terjadi.

Beberapa spanduk masih menempel malas pada dinding-dinding rumah atau bangunan, mengingatkan akan datangnya sebuah perubahan, meski tak jelas perubahan macam apa yang dimaksudkan. Selebaran berisi slogan dan nomor urut masih berseliweran, memasuki setiap celah yang ada, lalu menjadi bagian dari sampah yang tak berguna. Iklan-iklan besar berisi wajah yang tersenyum lebar masih menutupi hamparan langit, semacam ingin mengatakan bahwa mereka adalah sosok yang pantas untuk berkuasa di atasnya.

Dua bulan belakangan, kota ini memang dibanjiri beragam spanduk, baliho, beserta iklan. Semuanya berisi janji-janji manis yang diproduksi ulang secara berlebihan, seperti lagu lama yang tak tahu kapan harus berhenti. “Kesejahteraan. Pembangunan. Lapangan Kerja.” Kata-kata itu terpatri dalam ingatan orang-orang yang melintas, tetapi tak seorang pun tahu apakah itu hanya kata-kata atau ada makna di baliknya. 

Aku tak benar-benar tertarik dengan semua itu, hanya mengamati sejenak sebelum kembali tenggelam dalam pikiranku sendiri. Kota ini terasa berbeda dari biasanya, atau mungkin, aku saja yang sedang melihatnya melalui cara yang berbeda. Sudah terlalu banyak tokoh yang mengenakan setelan jas yang berbicara tentang kesejahteraan, pembangunan, dan lapangan kerja di layar televisi, seolah-olah mereka sangat memahami apa yang dibicarakan. Namun, nyatanya, mereka datang dan berganti seperti musim hujan yang hanya meninggalkan genangan air.

Sebelum menuju bilik suara, aku mendatangi kedai kopi di pinggir jalan, sekadar mencari hangat dari secangkir kopi yang menguap. Aku duduk di depan meja yang tak lagi bersih. Begitu banyak sidik jari dan coretan tanpa arti yang tertinggal di permukaan meja kusam itu. Sementara, di balik jendela, butiran hujan yang masih tersisa mengaburkan pandangan. Aku menyandarkan punggungku pada kursi plastik yang mulai rapuh, merasakan sedikit ketidaknyamanan.

Berjarak setengah meter dari keberadaanku, Rudi, rekan kerja sekaligus tetanggaku, duduk ditemani secangkir kopi hitam berwarna pekat. Wajahnya bersemangat, ada semacam gairah yang berkecambah dan tumbuh tanpa suara. Kami bertemu secara tidak sengaja, tetapi percakapan yang kemudian mengalir terasa seperti disengaja.

“Jadi, kamu mau milih siapa? Nomor satu, dua, atau tiga?” tanya Rudi kepadaku, tanpa menoleh, tatapannya lekat pada cangkir kopi yang baru saja diangkat dan disesapnya penuh nikmat. “Jangan bilang bahwa semua pilihan sama saja, kecuali kamu memang tidak punya cukup informasi sampai akhirnya berkata demikian.”

Rudi lantas memutar-mutar cangkir kopi, kembali menyesap dengan kenikmatan yang sama, tapi aku tahu bahwa dia sedang menunggu jawabanku, apa pun itu.

Aku terdiam selama beberapa saat, berupaya memahami arti di balik pertanyaan Rudi yang sebenarnya. Pikiranku melayang ke segala janji yang terdengar seperti lagu lama, kata-kata yang dilemparkan ke udara tanpa pernah benar-benar mengakar.

Namun, hal yang terpenting, apa pertanyaan yang diajukan Rudi memang murni dimaksudkan untuk mengetahui preferensiku dalam memilih, atau hanya akan dijadikan bahan perdebatan seperti yang kerap dia lakukan jika yang ditanya memiliki preferensi yang berbeda dengannya.  

Perangai Rudi bukanlah sesuatu yang asing bagiku mengingat kami tumbuh dan bekerja di lingkungan yang sama, selama bertahun-tahun. Rudi adalah tipe pribadi yang selalu merasa ada hal yang mendesak setiap kali dia berhadapan dengan seseorang yang memiliki pendapat berbeda.

Detik berselang, aku ingin mengucapkan sesuatu yang mungkin dapat sedikit menunjukkan intelektualitasku dengan menyertakan istilah-istilah yang sulit dipahami oleh orang awam, tetapi urung kulakukan. Kata-kata yang sudah di ujung bibir itu, menghilang tanpa jejak, lenyap seperti asap rokok yang diembuskan, lalu menyatu dengan udara. Kini, yang terbayang di kepalaku hanyalah rentetan kalimat umpatan, yang entah akan ditujukan kepada siapa.

Bagiku, perhelatan kali ini adalah pilihan yang tidak benar-benar memilih. Sulit rasanya untuk memilih yang terbaik di antara pilihan-pilihan buruk. Semua orang tahu, mereka yang kelak memimpin, menyuarakan untuk membawa pembaruan dan perubahan, tapi selalu berakhir di titik yang sama: uang dan kekuasaan. Maka, ini lebih kepada kebiasaan, kebisingan yang datang setiap lima tahun sekali, rutinitas yang harus dijalani, meski tak tahu lagi alasan kenapa harus berpartisipasi.

Di layar televisi yang sengaja dibiarkan menyala oleh pemilik kedai kopi, wajah-wajah semringah para calon pemimpin muncul, berupaya merangkul melalui serangkaian ucapan manis yang sudah disiapkan jauh-jauh hari sebelumnya, meski tangan mereka lebih sering menggapai lingkaran kekuasaan ketimbang membangun kepercayaan akar rumput. Senyuman di layar televisi seakan diukir dengan hati-hati agar terlihat sempurna. Aku mengamati wajah itu selama beberapa detik sebelum akhirnya angkat bicara.

“Entahlah, bagaimana nanti saja,” jawabku sekenanya sembari memberi isyarat tangan kepada pemilik kedai agar segera dibuatkan secangkir kopi, enggan repot-repot memikirkan serangkaian jawaban hanya demi memuaskan rasa ingin tahu orang lain, terlebih Rudi.

“Pernyataan yang keliru,” sergap Rudi semangat, seolah memang sengaja menunggu momentum untuk menyanggah ucapanku, “bukan bagaimana nanti, tetapi nanti bagaimana. Maka, untuk menjawab pertanyaan itu, pilihlah mereka yang memiliki visi-misi yang terbaik, program kerja yang terbaik. Sosok yang satu ini menjadi contoh nyata.”

Telunjuk Rudi mengarah ke layar televisi yang sedang menampilkan kandidat yang menjadi pilihannya, seorang pria yang mengenakan pakaian senada dengan warna partai politik yang mengusungnya, menunjukkan simbol jari sesuai nomor urutnya.

Pria di layar televisi itu memandang kamera, matanya menatap langsung ke dalamnya, seolah hendak berbicara kepada setiap orang yang sedang menyaksikan. Lalu, dia mengangguk kecil, menunjukkan barisan gigi putihnya dengan senyum yang terasa lebih seperti formalitas ketimbang kegembiraan yang tulus.

Aku tak menunjukkan ketertarikan. Aku tahu bagaimana percakapan ini akan berakhir. Rudi akan terus bicara tentang visi-misi, tentang bagaimana satu kandidat lebih baik dari yang lain, sementara aku hanya ingin menikmati kopi dalam diam.

“Begitu banyak janji, tapi tetap saja, kita sebagai konstituen terjebak oleh mekanisme yang mengharuskan memilih. Seperti halnya membeli tiket lotre, kita berharap banyak, tetapi kita juga tahu tidak akan pernah menang.” Seorang pengunjung kedai, pria paruh baya, yang duduk di dekat layar televisi merasa terpanggil untuk melibatkan diri, bergabung dengan percakapan yang sebenarnya tidak akan mengubah apa pun.

Wajah pria paruh baya itu terlihat sangat lelah. Lelah dengan janji-janji manis yang menjelma menjadi rentetan kebohongan. Lelah dengan wajah-wajah yang selalu mengenakan topeng yang sama, dengan suara-suara yang terus menggema, merasuki hari-hari yang teramat panjang. Aku menyimpulkan demikian, karena itu adalah kalimat yang sama persis seperti yang sempat kupikirkan, tetapi urung terucap.

Beberapa remaja yang duduk di sebelah pria paruh baya itu mengangguk setuju, meski mungkin tidak sepenuhnya memahami. Mereka adalah remaja yang lebih memikirkan seberapa cepat untuk bisa sampai ke tempat tujuan. Mereka belum memahami bagaimana rasanya terjebak dalam jangka waktu yang lama pada sebuah permainan besar yang tak pernah mereka pilih tetapi harus dijalani, yang mungkin telah dirasakan pria paruh baya itu berdekade lamanya.

Langit di luar makin gelap, seolah meresapi percakapan di dalam kedai kopi; meresapi keabsurdan yang tercipta dari percakapan itu. Hujan berderai, deras, suaranya mengalahkan percakapan panjang tentang siapa yang kelak pantas memimpin.

Mereka yang terlibat percakapan—termasuk aku—tidak tahu, atau mungkin hanya sekadar berpura-pura tidak tahu, bahwa dunia ini tak akan benar-benar berubah. Tidak oleh seorang pemimpin daerah, atau bahkan kepala negara. Semua itu hanya ilusi yang menunggu dihancurkan atau terus dipelihara oleh waktu. 

*

Di dalam bilik, kertas suara membentang di hadapanku dengan sejumlah wajah yang tak sepenuhnya kukenali. Wajah-wajah yang terasa hidup, seolah mengamati setiap pergerakan kecilku, semacam ada tuntutan yang mengharuskan memilih mereka. Aku berpikir lama, menimbang beragam hal sebelum akhirnya memutuskan.

Aku merogoh saku celanaku, menyentuh tiga lembar amplop dari tiga kandidat berbeda. Mereka, yang mewakili para kandidat, secara bergantian mendatangiku dalam gelap subuh, menyelipkan amplop tipis disertai senyum tipis melalui kecepatan cahaya. Setiap amplop menandakan janji, dan setiap janji dikompensasi dengan sejumlah rupiah yang tak seberapa, yang mungkin hanya bisa menyambung hidup selama beberapa hari.

Lalu, dalam kesunyian yang janggal, aku mulai mencoblos. Tidak sekali, tidak pula dua kali, tetapi pada setiap gambar pasangan calon yang tertera pada kertas suara itu. Satu per satu, aku mencoblos setiap pasangan calon dengan gerakan ritmis, seperti tarian pelan yang menampilkan keindahan, yang menyatukanku dengan kertas suara itu.

Usai melipat kertas suara, aku tersenyum tanpa alasan yang jelas, seolah baru saja menyelesaikan sesuatu yang paling jujur dalam hidupku. Setidaknya, aku tidak berbohong soal apa pun, atau mengingkari ucapan seperti janji-janji masa kampanye yang terabaikan ketika jabatan sudah digenggam. Tentu saja, aku tidak seperti mereka, para kandidat bermulut manis yang kerap menyajikan kenyataan pahit.

Aku tahu tindakan itu melanggar aturan, menganulir keabsahan surat suara. Namun, di dalam pikiranku, ada semacam kenikmatan kecil dan sesaat, nyaris seperti protes yang sulit tersampaikan melalui kata-kata. Dengan seutas senyum tipis yang hanya dapat kupahami sendiri, aku keluar dari bilik suara dan menyerahkan kertas suara kepada seorang petugas yang sama sekali tidak menaruh curiga.

Aku memainkan peran yang seharusnya kutolak, tapi di luar bilik suara, semua tampak baik-baik dan biasa-biasa saja. Tak ada yang melihat ke arahku, tak ada yang tahu apa yang sebenarnya telah terjadi di dalam sana. Aku bergegas meninggalkan TPS, berjalan pelan di antara gemuruh suara-suara kota yang merayakan pesta penuh kebohongan. Ada semacam kelegaan yang menyelimutiku, seolah baru saja melunasi utang yang tak pernah kupinjam.

Aku kembali merogoh saku celana, tiga lembar amplop beserta isinya itu masih ada di dalam sana.[]

Arie Fajar Rofian, pegiat literasi yang berdomisili di Karawang, Jawa Barat. Karyanya tersiar di berbagai media.

Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi AI.

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: Arie Fajar Rofian

Editor: Anita Aisyah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan