Dua Puluh Tahun Menunggu, Shantined Terharu Buku Karyanya Mendapat Sambutan Publik Sastra
Jagat Sastra Milenia berbahagia dapat memfasilitasi penerbitan buku Shantined. Kolaborasi ini diharapkan dapat membuka lebih banyak peluang dan ruang bagi para penulis untuk berkembang dan memperkenalkan karya mereka ke ranah yang lebih luas
JAKARTA, Majalahelipsis.id—Lebih dua puluh tahun menunggu, penyair dan prosais Shantined terharu dua buku karyanya mendapat sambutan hangat dari publik sastra Indonesia.
Dua buku tunggal yang memuat puisi karyanya berjudul Kita yang Tersisa dari Luka Cuaca dan kumpulan cerpen berjudul Saga, Serigala, dan Sebilah Mandau diluncurkan dan dibedah atas gagasan komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM) di sejumlah tempat.
Tadi malam, di layar Zoom Meetings dan dihadiri sastrawan dari berbagai kota di Indonesia dan mancanegara, kedua buku Shantined diluncurkan dan dibahas dengan kritis oleh para pembicara.
Mereka adalah Naning Scheid (sastrawati dan akademisi; Brussels, Belgia), Warih Wisatsana (sastrawan, jurnalis; Denpasar, Bali), Amien Wangsitalaja (sastrawan; Samarinda, Kalimantan Timur), Unis Sagena (sastrawan dan akademisi; Samarinda, Kalimantan Timur), dan Muhammad Subhan (penulis, pegiat literasi; Padang Panjang, Sumatra Barat). Acara dipandu Rissa Churria (penulis, pendidik; Bekasi, Jawa Barat).
Warih Wisatsana pembahas pertama mengatakan, sebagai penyair, Shantined rupanya menyadari bahwa dunia rekaan dalam karyanya tercipta melalui proses sublimasi antara serpih kenangan dan ingatan yang berbaur dengan momen puitika kejadian sehari-hari yang menggugah daya imajinasinya.
“Puisi hakikatnya adalah perayaan imajinasi, menyapa pembacanya melalui pesona kata atau bahasa. Demikian pula puisi-puisi yang terangkum dalam buku antologi Kita yang Tersisa dari Luka Cuaca karya Shantined ini, hadir mengungkapkan lapis yang lebih jauh dari semata realita kasatmata,” ujar Warih.
Bila dibaca saksama, papar Warih, seraya merunut tahapan ciptanya yang lintas masa, karya Shantined jelaslah bukan hanya mengedepankan paduan kata yang menimbang bunyi dan arti, melainkan menggambarkan pula upaya meraih metafora yang mempribadi tanpa menepikan keleluasaan tafsir bagi setiap pengkhidmatnya.

“Metafora yang mempribadi atau otentik itu justru berhasil membawa pembacanya pada ingatan dan kenangan masing-masing. Pada tahapan ini, terlukiskan bagaimana pergulatan penyair untuk undur tidak mendominasi komunikasi; lantaran menyadari bahwa makna puisi lahir dari dialektika pencipta-pembaca,” ungkap Warih.
Himpunan puisi ini, kata Warih, dengan aneka tematik yang dijelajahinya, mengungkapkan kegigihan kreatornya mengelak dari ungkapan klise dan artifisial guna menghamparkan hal yang esensial.
“Terbukalah kemudian medan ambiguitas dengan sentuhan keindahan yang mengesankan,” jelasnya.
Menurut Warih, sebagian besar puisi Shantined mengalir tanpa pretensi menasehati atau menyampaikan pesan yang terbebani filosofi tertentu. Lebih menyarankan percakapan keseharian yang intim, membentangkan kebeningan yang mengoda siapa saja untuk becermin.
“Bacalah puisi bertajuk “Kecambah”, “Diam”, “Batu Kenang”, “Kecubung”, “Tissue”, “Perahu”, dan sebagainya,” sebut Warih.
Sepakat dengan pemaparan Warih Wisatsana, Muhammad Subhan mengatakan, puisi memiliki kekuatan untuk menangkap jejak kehidupan, merangkum luka, dan menyuarakan kegelisahan batin dalam baris-baris kata yang padat makna.
“Dalam buku Kita yang Tersisa dari Luka Cuaca, tampak bagaimana puisi menjadi ruang refleksi atas kehilangan, kenangan, ketidakadilan, dan pergulatan emosional manusia. Dengan imaji yang kuat dan diksi yang tajam, penyair menghadirkan lanskap batin yang melankolis sekaligus kritis terhadap realitas,” ujar Muhammad Subhan.
Dia menelisik dari sisi judul, buku ini sudah memikat. Ada ketukan lirih dalam rangkaian katanya, semacam refleksi panjang tentang manusia yang berjalan di tengah cuaca yang tak selalu bersahabat.
“Cuaca, dalam judul ini, bukan sekadar hujan atau panas, tetapi simbol dari pergulatan hidup yang memar. Luka yang ditinggalkan oleh perjalanan, yang barangkali menyisakan kita dalam bentuk yang berbeda dari sebelumnya. Ada rasa getir yang tak tersuarakan, ada sisa yang masih harus dibawa ke depan. Buku ini mengisyaratkan bahwa kita, sebagai manusia, adalah sisa-sisa dari berbagai badai yang pernah menerpa,” ungkapnya.

Buku puisi Kita yang Tersisa dari Luka Cuaca memuat seratus puisi dengan tema yang merentang luas. Namun, secara umum, kata Muhammad Subhan, ada benang merah yang menghubungkan banyak puisi dalam buku ini: kritik sosial.
“Puisi-puisi seperti “Luka”, “Sepenuh Ini, Indonesia”, “Kepada Pecundang”, “Tiiittss!”, “Masihkah Terasa Indonesia Raya”, “Hanyut”, adalah beberapa di antaranya. Puisi-puisi ini seperti lontaran keresahan terhadap realitas sosial yang bergerak tanpa arah, penuh kebisingan yang meredam suara nurani,” kata penulis novel Rumah di Tengah Sawah yang diterbitkan Balai Pustaka ini.
Muhammad Subhan tertarik menelusuri titimangsa penulisan puisi-puisi dalam buku tersebut yang lahir dalam rentang waktu panjang: 2003, 2005, 2006, 2015, 2017, 2018, 2021, 2022, 2023, hingga 2024. Ada jeda yang cukup panjang antara 2006 hingga 2015.
“Saya tidak hendak mengatakan bahwa Shantined vakum menulis dalam rentang itu. Barangkali, ia hanya tidak menerbitkan atau tidak mengumpulkannya ke dalam buku ini. Namun, kesenjangan waktu ini menarik karena menunjukkan bagaimana perjalanan kepenyairannya mengalami tarikan antara diam dan ledakan, antara menyimpan dan mengumumkan,” kata Muhammad Subhan.
Selain waktu, tambah Muhammad Subhan, ada juga tanda-tanda geografis dalam buku ini. Puisi-puisi Shantined ditulis di berbagai kota: Depok, Jakarta, Cibubur, Tanjung Barat, Bantarsoka (Purwokerto), Balikpapan, Solo, Samarinda, Bogor, Karanglewas (Banyumas?), Bumi Etam (Kalimantan Timur?), hingga Bontang. Bahkan, ada yang bertitimangsa di tempat yang lebih spesifik: Fat Bubble—mungkin sebuah kafe.
“Puisi yang lahir di tempat-tempat ini seperti jejak perjalanan seorang penyair yang membawa puisinya dalam langkah-langkah nomaden, memungut serpihan suasana dan menjadikannya bait-bait kata,” jelasnya.

Namun, meski begitu, ada juga puisi yang lahir tanpa titimangsa. Seperti “Denyut”, “Doa”, “Diam, “Pesta Kopi”, “Badut-Badut Agustusan”, “Semesra Ini, Ramadhan”, “Indonesia dalam Huruf Kecil”, “Jika Ternyata”, “Embun Perak, Nelayan, Di Ada Kopi”. Puisi-puisi ini seperti lahir dari ruang tanpa koordinat, hanya tertambat pada waktu batin penyairnya. Ada pula puisi berjudul “Takdzim” yang bertitimangsa CVA, 2021; “Rindu” titimangsa JS Station, 2022; dan “Beranda” bertitimangsa di Some place, 2021. Saya tidak tahu apa itu “CVA” atau di mana lokasi “Some place”.

Jika merujuk ke bahasa Inggris, some place berarti ‘suatu tempat’ atau ‘tempat tertentu’, tanpa ada kejelasan lebih lanjut. Atau memang sebuah nama tempat; kafe, atau lainnya.
“Mungkin, begitulah puisi. Kadang lahir di tempat yang kita tahu, kadang dari ketiadaan yang hanya dipahami oleh penyairnya sendiri, pun mereka yang bersentuhan secara empiris dengan tempat-tempat itu,” katanya.
Cermin Perjalanan Manusia
Menelisik titimangsa juga dilakukan Naning Schied saat tampil sebagai pembahas ketiga. Naning mengatakan, buku puisi Shantined bukan sekadar kumpulan puisi, tetapi juga cerminan perjalanan manusia; perjuangan, kehilangan harapan, dan luka, dengan sensitivitasnya yang menyejukkan sekaligus menggugah.

Secara detail, Naning juga mengklasifikasikan di mana puisi-puisi Shantined dibuat, kapan saja, dan bercerita tentang apa.
“Kita dapat mengurai perjalanan kepenyairan Shantined dari cerita-cerita yang tersurat dan tersirat dalam puisi-puisinya ini,” jelas Naning yang berdomisili di Belgia.
Sastrawan asal Samarinda, Amien Wangsitalaja, memaparkan sosok Shantined yang ia kenal dan masa awal Shantined bersastra. Ia mulai pembahasannya dengan menyebutkan bahwa Shantined “penulis yang bermasalah”.
Diksi “bermasalah”, maksud Amien, bukan berarti Shantined sosok yang benar-benar bermasalah secara makna harfiah.
“Bermasalah berarti bermateri, berwawasan, dan lainnya. Puisi-puisi Shantined bermasalah menandakan karyanya bukan puisi biasa,” ujar Amien.
Amien juga bernostalgia saat ia melihat proses kreatif Shantined pada awal-awal di Samarinda. “Banyak terjadi lompatan dalam karya Shantined, yang menandakan penyair perempuan ini terus belajar,” ungkapnya.

Senada dengan Amien, sastrawati dan akademisi Unis Sagena asal Kalimantan Timur mulanya mengaku sebal dengan Shantined. Sebal bermakna kiasan yang ia saksikan proses kreatif Shantined terus berkembang pesat.
“Capaian-capaian diksi Shantined semakin baik, sementara dulu kami sama-sama belajar. Banyak terjadi lompatan dalam karyanya,” ujar Unis Sagena.
Dalam buku kumpulan puisi Kita yang Tersisa dari Luka Cuaca, ungkap Unis, Shantined tidak sekadar menulis cerita kamar tapi juga kritik sosial yang sangat aktual dengan kondisi kekinian.
“Kegelisahan Shantined terhadap kondisi negeri ini ia ungkapkan dalam puisi-puisinya di buku ini,” jelasnya.
“Orang Lama” yang Mati Suri dan Dibangunkan Kembali
Dalam sambutannya, Ketua Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), Riri Satria, mengatakan bahwa ia baru mengenal Shantined. Dari penelusurannya di Google, ia baru mengetahui jika Shantined adalah “orang lama” yang telah mati suri dan kini saatnya dibangunkan kembali.
“Meskipun kini tidak seaktif dulu, ia tetap menulis dan terus berkontribusi dalam dunia sastra Indonesia. JSM ikut berbahagia dapat berkontribusi ‘membangunkan’ kembali penulis potensial ini,” ujar Riri Satria yang juga pengamat transformasi teknologi digital.
Karya-karya Shantined dalam dua buku ini merupakan kumpulan puisi dan cerpen terpilih yang telah ditulis Shantined sejak tahun 2004 hingga 2024. Shantined dikenal sebagai penulis yang produktif di era 2004—2014 dengan berbagai karyanya yang menghiasi media massa dan jurnal sastra.

“Shantined adalah salah satu penulis yang memiliki daya eksplorasi luar biasa dalam menciptakan kisah dan puisi yang menggugah. Dua buku ini adalah refleksi dari perjalanan panjangnya dalam dunia sastra, yang patut diapresiasi,” ujar Riri Satria.
Wakil Ketua Komunitas JSM, Nunung Noor El Niel, dalam sambutannya mengatakan, komunitas ini memiliki berbagai program yang bertujuan untuk mengembangkan potensi menulis bagi para anggotanya.
“Kami ingin memberikan ruang bagi sastrawan muda untuk terus berkembang, belajar, dan berkarya dalam suasana yang mendukung,” ujarnya.
Seiring perjalanan waktu, JSM terus menunjukkan eksistensinya sebagai wadah bagi para pecinta sastra di Indonesia. Didirikan pada 10 Oktober 2020, komunitas ini memiliki visi sebagai rumah belajar dan berkarya bersama dalam upaya memajukan kesusastraan Indonesia.
“Sebagai bentuk komitmen terhadap visi tersebut, JSM memiliki beberapa misi utama, di antaranya mengembangkan kemampuan menulis sastra melalui berbagai program pelatihan dan bimbingan bagi penulis pemula. Selain itu, komunitas ini juga aktif mengadakan forum diskusi sastra yang bertujuan menciptakan ruang dialog dan pertukaran ide antaranggota,” papar Nunung.
Tak hanya itu, tambah Nunung, JSM juga berperan dalam penerbitan karya sastra baik dalam bentuk buku maupun media digital melalui JSM Press. Dengan memanfaatkan teknologi digital, komunitas ini berupaya menjangkau lebih banyak penulis dan pembaca dari berbagai daerah.
Nunung memberikan apresiasi atas terbitnya buku karya Shantined dan dapat difasilitasi JSM. Kolaborasi ini diharapkan dapat membuka lebih banyak peluang dan ruang bagi para penulis untuk berkembang dan memperkenalkan karya mereka ke ranah yang lebih luas.
“JSM telah menggelar berbagai kegiatan seperti peluncuran buku, festival sastra, dan berbagai diskusi literasi. Dengan berbagai program yang terus dikembangkan, Jagat Sastra Milenia diharapkan dapat menjadi wadah yang lebih luas bagi generasi muda untuk menyalurkan bakat dan kecintaan mereka terhadap sastra, sekaligus menjaga eksistensi kesusastraan Indonesia di tengah perkembangan zaman,” jelas Nunung.
Sementara itu, Shantined tampak terharu saat karyanya dibicarakan di forum itu. Suaranya agak bergetar menahan seguk dan kedua bola matanya berkaca-kaca.
“Semalam adalah waktu yang kutunggu-tunggu. Selama dua puluh tahun aku berkarya, baru kali ini aku mempunyai buku sendiri. Karya-karya lama yang sekian tahun berserakan, kukumpulkan satu per satu, kuhimpun dan dijadikan sebuah buku karya tunggal. Dua buku bahkan, puisi dan cerpen,” ujar Shantined.
Dia mengaku bahwa penerbitan kedua bukunya itu tak lepas dari kebaikan dan dukungan penuh Riri Satria, ketua komunitas JSM, beserta seluruh tim di JSM.
“Aku kembali mencubit pipiku sendiri. Aku tidak sedang bermimpi. Terima kasih, sekali lagi terima kasih sedalam-dalamnya,” ujar Shantined.
Shantined lahir di Yogyakarta dan besar di Balikpapan, di mana ia aktif dalam Dewan Kesenian Balikpapan (DKB) serta membidangi Komite Sastra. Ia merupakan murid dari sastrawan Kalimantan Timur, Korrie Layun Rampan. Kini, ia berdomisili di Depok dan terus melanjutkan kiprahnya dalam dunia literasi dan sastra.
Saga, Serigala, dan Sebilah Mandau menampilkan kumpulan cerpen dengan kisah yang kuat dan penuh eksplorasi psikologis. Salah satu cerpen dalam buku ini, “Saga”, telah banyak diperbincangkan sejak pertama kali diterbitkan di Jurnal Perempuan (2008) dan masuk dalam beberapa antologi bergengsi seperti Un Soir du Paris (Gramedia, 2010) dan I am Woman (Lontar, 2011). Cerpen ini bahkan telah dikaji secara akademik oleh Tita Nurajeng Myasari dari Universitas Diponegoro menggunakan pendekatan psikoanalisis Sigmund Freud dan dipublikasikan dalam Jurnal Kebahasaan dan Kesusastraan Gramatika pada 2018.
Sementara itu, Kita yang Tersisa dari Luka Cuaca menjadi penanda kembalinya Shantined dalam dunia puisi. Puisi-puisinya banyak mengeksplorasi tema kerinduan, perjalanan hidup, dan refleksi sosial-politik. Shantined menggambarkan pencarian akan keintiman dan kedekatan dalam kehidupan modern yang serbacepat serta refleksi mendalam terhadap berbagai pengalaman hidupnya. []
Penulis: Ayu K. Ardi
Editor: Maghdalena










