Oleh Melsi Ardila

SORE menjelang malam seperti biasa tugasku membantu Ayah untuk memasukan ternak ke dalam kandang dibantu oleh seorang sahabat setia. Sahabat yang kudapatkan beberapa minggu yang lalu. Yah, sahabat pertamaku, yang baru pindah beberapa minggu yang lalu. Namanya Amir, ia orang yang sangat ramah, dialah  satu-satunya teman yang menerima aku tanpa memandang perbedaan. Dia anak yang cukup berada di kampung ini. Ayahnya seorang bos PT Sawit satu-satunya di kampung. Aku dan Amir hidup di lingkungan perdesaan yang jauh dari perkotaan. kehidupan masyarakat di tempat kami sangatlah rukun mereka saling menghargai antarsesama.

“Eh, Rom, Romi… kambingnya kabur, Rom,” teriak Amir menyadarkanku yang fokus menghalau kambing untuk masuk ke kandang. Aku melihat Amir berlarian mengejar kambing yang lepas membuatku tertawa terjungkal sampai perutku kram.

‘’Nggak usah dikejar, Mir … nanti dia akan kembali masuk ke kandang,” teriakku yang tak kalah kerasnya dibanding suara Amir. Dan Amir yang masih dalam kebingungan dengan kekocakkannya itu pun duduk di bawah pohon yang rindang.

Aku menghampiri Amir yang sudah duduk di bawah sebatang pohon yang rindang itu. Aku perhatikan Amir masih ngos-ngosan bersandar ke batang pohon memandang senja yang indah. Aku duduk di sampingnya melurusakan kaki yang terasa penat.

“Lelah juga ,ya Rom, berkerja seperti ini.”

Aku terdiam, bukan karena aku tak mau menjawab ucapan Amir tetapi kalimat itu membuatku seperti akan menertawai diriku sendiri. Selama ini aku membantu Ayah berkerja tak pernah mau mengeluarkan kata lelah. Aku tersenyum membayangkan bagaimana rasa lelah yang dulu aku rasakan saat pertama kali diajarkan Ayah untuk menjadi seorang pria yang perkerja keras. Bukan aku dipaksa membantu Ayah, tapi keadaan yang membuat inisiatifku untuk membantu Ayah.

“Sorry, telah membuatmu kelelahan, Mir, aku tidak bermaksud membuatmu seperti itu,” jawabku merasa bersalah karena ini pertama kalinya Amir mencoba pekerjaan yang aku kerjakan.

“Tenang, tenang bukannya berniat mengeluh, ya, tapi ini pertama kalinya bagiku berkerja sepertimu,” ucap Amir yang mengetahui perasaanku.

“Bagaimana menurutmu, apa terlalu berat bagimu, Mir?” tanyaku yang memiliki jiwa kepo.

Amir tertawa pelan sebelum menjawab pertayaanku. Dia mengubah posisi duduknya, bersila menghadap ke arahku lalu tersenyum.

“Kalau menurutku lumayan, kawan, tapi ingatlah semua yang kita lakukan itu memiliki arti tersendiri, aku salut sama kamu, Rom. Tidak mengeluh dengan keadaan,” puji Amir yang bangga kepada sahabatnya.

Mendengar ucapan Amir, aku hanya diam mengedarkan pandangan melihat bukit-bukit yang memagari sawah-sawah di sekitar. Kami diam sejenak menikmati angin sepoi-sepoi menghembus wajah kami, aku dan Amir menyandarkan tubuh di batang pohon melepas lelah sejenak,  menikmati indahnya ciptaan Tuhan.       

“Oh, ya, besok kita libur, kan?” Pertanyaan singkat Amir memecahkan keheningan kami.           

“Iya, aku baru ingat, kenapa emang?” Tanyaku.

Hmm, aku ingin mengajakmu jalan-jalan.”

 “Jalan-jalan? Mau jalan-jalan kemana, Mir,” tanyaku sedikit penasaran.

“Yah, muter-muter kampung, sekalian mengenal dusun-dusun yang ada di sini. Bisakah kau ikut denganku?

“Baiklah, nanti kutanya Ayahku dulu ya, Mir kalau bisa besok aku kabari,’’ jawabku sedikit ragu.

Ok. Deal, nih, kutunggu.”

“Sudah mau Magrib, Mir. Pulang, yuk,” ajakku melihat wajah lelah Amir.

Karena senja telah kembali ke tempat persembunyian kami bangkit dari duduk untuk pulang menuju rumah masing-masing. Rumahku dengan Amir hanya berbatasan beberapa rumah saja. Rumahku berada paling ujung yang sedikit berjarak dari rumah lainnya.

Seperti biasa aku bangun ketika mendengar suara azan Subuh dikumandangkan di beberapa surau terdekat. Aku bangkit merapikan tempat tidur persegi dengan satu kasur kapuk yang sudah tipis dan satu bantal guling. Aku melangkah keluar kamar, sayup-sayup terdengar suara sendok Ayah di  dapur berdenting membuat secangkir kopi dan juga secangkir teh untukku.                    

“Pagi, Yah.” Ayah sedikit kaget mendengar suaraku yang datang tiba-tiba.           

 “Eh, sudah bangun, Rom.” Ucap ayah.         

 “Ambil wudhu sana, gih bentar lagi iqomat.” Pinta ayah.

 Aku mengangguk berjalan di samping Ayah, memasuki sebuah kamar mandi kecil di samping dapur. Selesai wudu, aku menyusul Ayah yang sudah menungguku untuk salat berjamaah. Setalah melaksankan kewajiban sebagai seorang muslim, aku dan Ayah duduk di ruang tamu sambil bercanda-gurau.

Sekarang matahari telah menampakkan sinarnya, pagi ini hari begitu cerah dan sangat mendukung untuk aku membantu Ayah mengeluarkan kambing-kambing dari kandangnya.

“Oh, iya, Yah, kemarin Amir mengajakku untuk pergi berkeliling, apakah Romi boleh pergi, Yah?’’
“Hmm,’’ hanya itu yang keluar dari mulut Ayah.
“Yah, kalau Ayah tidak memberi Romi izin, Romi ngak papa, kok, Yah. Nanti Romi bilang sama Amir lain kali saja,’’ucapku sedikit kecewa.
Emang tadi ayah sudah bilang Romi tidak boleh pergi, hmm?’’ Tanya Ayah sambil memperlihatkan senyum yang selalu ingin aku lihat.
N-ngak, Yah, tapi memang Ayah izinin Romi buat pergi sama Amir?”
Eeeumm, boleh, tapi ada syaratnya.”
“Syaratnya apa, Yah? Kalau Romi bisa, insyaallah bakal Romi lakukan apa yang Ayah suruh,” jawabku dengan mantap.
“Syaratnya, Romi harus sopan. Gak boleh bikin repot Amir, bisa, kan? Tanya Ayah, berharap Romi tidak akan membuat rusuh nantinya.
“Siap, Ayah,” ucapku lantang sambil memberi hormat kepada ayah. Melihat hal itu, Ayah langsung tertawa terbahak.

Sekitar pukul 06.30, aku mulai membantu Ayah untuk mengeluarakan kambing-kambing dari kandangnya. Setelah membantu Ayah, Aku bersegera mandi. Setelah itu, Ayah menyuruhku untuk sarapan terlebih dahulu. Aku makan dengan lahap sambil bercanda gurau dengan Ayah. Setelah selesai makan aku mendengar teriakan dari luar. Aku segera menuju sumber suara. Aku mendapati Amir yang sudah siap dengan sepedanya. Aku pun bergegas mengambil sepeda yang diletakkan di samping rumah.

Kami  mulai mengayuh sepeda ke arah tepian sungai, yaitu Sungai Kapuas. Di sana, pemandangannya sangat indah dan di sana juga tempat kapal-kapal besar berlabuh. Kami berhenti tepat di jembatan Sungai Kapuas.

‘’Rom, hari ini panas, ya, pasti enak minum es teh,” ucap Amir yang sudah mulai mengeluarkan keringat.

“Ya sudah, kita beli es teh di sana, pemandangannya juga bagus,” kataku sambil menunjuk dan mengayuh sepeda menuju ujung jembatan yang besar itu. Di sana kami membeli es teh dan duduk sambil menikmati pemandangan.

“Rom, lihat, deh kapal-kapal besar itu. Padahal, kalau naik kapal yang ukurannya tidak sebesar kapal yang itu jauh lebih mahal dari pada kapal besar itu, tapi masih ada orang yang naik kapal itu ya, Rom?” Tanya Amir panjang lebar sambil menunjuk kapal-kapal itu satu persatu.

“Ya, namanya juga rezeki, Mir, kan sudah diatur sama Allah. Kita sebagai manusia, kan hanya berusaha,”
“Iya, deh, Pak Ustaz,” jawab Amir terkekeh.
“Habis ini kita mau ke mana, Rom?” Tanya Amir yang tidak sabar menuju tempat selanjutnya.
“Habis ini kita ke perpustakaan yang tidak jauh dari sini aja, di sana tempatnya bagus,” jawabku masih menikmati angin sepoi-sepoi dan pemandangan di depannya.
Ketika kami akan melanjutkan perjalanan tiba-tiba ada seorang anak yang mungkin seumuran dengan mereka.
“Eh, Mir kamu mau ke mana?” tanya salah seorang anak itu
“Eh, Vin, aku lagi jalan-jalan sama Romi. Rom, kenalin ini teman aku yang udah lama pindah ke sini, namanya, Kelvin.”
“Oh, iya, kenalin nama saya Romi,” ucapku sambil mengulurkan tangan.
“Kamu, kok mau, sih, Mir temanan sama anak kayak Romi. Sudah gak ada ibu, miskin lagi.” ucap Kelvin tanpa membalas uluran tanganku.

Aku yang mendengar hal tersebut sudah tidak sanggup untuk membendung air mata.

“Heh, Vin kamu apa-apaan sih, Romi anak baik. Dia teman aku yang selalu ada, kalau kamu cuma mau ngehina teman aku mending kamu pergi,” teriak Amir geram, karena dia tidak terima temannya dihina.

Amir melihatku yang masih berusaha menahan air mata dengan jariku sudah mengepal.

“Maaf, ya Rom. Dia memang kayak gitu, mulutnya gak bisa dikontrol,”  ucap Amir sambil merangkul pundakku.

Gak papa, Mir, yang dia bilang benar, kok,”   ucapku pelan.

Gak boleh gitu, dong, Rom, kamu teman baikku. Dia itu gak tahu cara menghargai. Kita mau lanjut jalan atau pulang saja, Rom?” Tanya Amir yang mulai kasihan kepadaku.

“Kita lanjutlah, kan kamu masih mau jalan-jalan,” ucapku masih berusaha tersenyum.

Kami pun mengayuh sepeda ke arah TBM yang tidak jauh dari sana. Sesampainya di TBM, kami memarkirkan sepeda di dekat parkiran sepeda motor, kami pun segera memasuki perpustakaan yang selalu ramai oleh orang-orang. Di sana terlihat rak buku yang banyak. Aku mengajak Amir ke salah satu rak buku.

“Kita baca di sini saja, Mir,” ajakku menarik tangan Amir
“Wah, buku di sini bagus-bagus, ya, Rom,” ucap Amir.
“Rom, kamu baca buku apa?” Fokus banget kayaknya,” tanya Amir.
“Ini, aku lagi baca buku Kisah 25 Nabi dan rasul,” ujarku sembari memperlihatkan judul buku tersebut kepada Amir.
“Wih, teman aku ini udah kayak Ustaz , kagum aku sama kamu, Rom.’’

Setelah hampir dua jam membaca, kami pun berjalan keluar dan menuju tempat sepeda terparkir, kemudian melaju menelusuri jalan dengan hati-hati. Namun, ketika berada di tikungan, ada mobil yang melaju dengan kencang dan menyenggol sepedaku.

“Aduh,’’ rintihku sembari meringis karena kaki dan tanganku berdarah.

‘’Rom …  Romi,  kamu gak papa, kan?” ucap Amir.

Gak papa, kok cuma luka dikit saja,’’ jawabku sambil menahan nyeri di lutut dan tangan. Aku melihat sepeda bututku yang sekarang sudah tidak bisa dipakai lagi. Roda sepedaku sudah tidak bulat lagi, bentuknya sudah lonjong.

Tidak lama kemudian seseorang dengan umur sekitar 60-an dan anak yang seumuran dengan aku dan Amir, turun dari mobil yang kelihatannya keluaran terbaru. Ternyata itu adalah anak yang aku temui di jembatan bersama Amir tadi. Ya, itu adalah Kelvin dan ayahnya.

“Heh! Kamu kalau bawa sepeda itu hati-hati, siapa yang suruh kamu bawa sepeda di jalan raya begini.”

“Ma-af, Om,” ucapku gugup karena takut pria di depanku akan marah besar.

“Om, kok, malah nyalahin dia, kita bawa sepeda pelan-pelan kok, Om. Omnya saja yang ngebut bawa mobil,” sahut Amir memotong pembicaraan tanpa rasa takut sedikit pun.

“Mir, mending kamu diam, deh. Gak usah bela-bela anak miskin itu, Mir,’’ ucap Kelvin membuat hatiku bagai teriris pisau.

“Pah, Dia itu anak Pak Amiruddin, yang peternak kambing itu, Pah. Sudah miskin, bau, bahkan gudang kita lebih bagus dari rumah dia,” tutur Kelvin dengan senyum bahagianya menghina ayah dan tempat tinggalku.

“Oh, jadi kamu anaknya Amiruddin. Pantas kayak Bapaknya, kurus. Kayak gak makan.”

“Sudahlah, Om. Kita lihat saja nanti, Romi apa akan miskin seumur hidupnya,” ucap Amir mengakhiri dan mengajakku meninggalkan orang-orang sombong itu.

*

Tahun-tahun telah berlalu begitu cepat dan sekarang aku masih berteman dekat dengan Amir, meskipun telah jarang bertemu. Amir sibuk dengan pekerjaannya sekarang sebagai seorang pekerja kantoran dan aku yang dulu hidup sederhana sekarang telah menjadi seorang pengusaha ternak kambing terbesar di desaku.

Sore itu. Aku sedang duduk di teras rumah bersama Ayah sambil berbincang tentang pemasukan yang semakin hari semakin meningkat.

“Ayah bangga dengan anak Ayah. Putra Ayah yang dulunya kecil tak berdaya, tapi sekarang sudah dewasa, jadi pengusaha sukses pula.” Ucap Ayah sambil memandangiku dengan mata berkaca.

“Iya, Yah, ini semua berkat doa Ayah yang selalu mendampingi Romi dan Romi bersyukur punya sosok ayah yang selalu ada buat Romi,” ujarku tersenyum penuh syukur.

Sekarang aku sadar apa yang kualami dulu bisa memberi pelajaran, bahwa dari kesederhanaan kita bisa menjadi yang terbaik. Selagi kita berusaha, Allah tidak akan menyia-nyiakan apa yang kita inginkan. Menghina hanya akan membuat lelah dan tidak mempunyai rasa menghargai sedikitpun.

Sekarang aku membuktikan kekuatan doa sahabatku, Amir yang mengatakan aku akan sukses jauh dari pada dua lelaki ayah-anak yang sombong itu. Kelvin dan ayahnya  sudah bangkrut. Ayahnya, diduga melakukan kasus korupsi dan bahkan Kelvin tidak dapat melanjutkan sekolahnya dan sekrang bekerja sebagai seorang kuli. []

Melsi Ardila. Siswi SMAN 10 Solok Selatan. Lahir di Air Dingin, 5 Juni 2008. Melsi saat ini baru naik ke kelas XI. Anak kedua dari tiga bersaudara. Melsi memiliki hobi badminton dan menulis. Melsi meraih juara 2 menulis cerpen FLS3N Tk. Kabupaten tahun 2025.

Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi AI.

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: Melsi Ardila

Editor: Ayu K. Ardi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan