Dua Dekade Setelah Tsunami Aceh

Kini, setiap Desember, ketika mengenang tsunami Aceh, saya selalu teringat akan fragmen-fragmen perjalanan itu.

Oleh Muhammad Subhan

SIANG itu, Minggu, 26 Desember 2004, saya menjalani rutinitas sebagai wartawan di Padang. Usia saya baru 24 tahun, masa ketika semangat hidup bergelora dan idealisme wartawan masih segar mengalir di dada. Pimpinan redaksi menugaskan saya meliput kegiatan partai politik di kawasan GOR Haji Agus Salim. Sebuah tugas biasa yang berubah menjadi momen luar biasa ketika berita itu datang.

Pidato sang pemimpin partai tiba-tiba terhenti. Dengan suara berat, ia mengabarkan bahwa Aceh dilanda gempa besar di pagi hari. Tak lama berselang, tsunami dahsyat menyapu pesisir. Gedung-gedung runtuh, rumah-rumah hilang tersapu ombak, dan ribuan nyawa lenyap sekejap. Saat itu, kata “tsunami” masih asing di telinga banyak orang, termasuk saya. Namun, tragedi Aceh mengukir kata itu dalam sejarah, mengingatkan kita pada kekuatan alam yang tak terbendung.

Pikiran saya melayang ke Aceh, tanah kelahiran ayah. Masa kecil dan remaja saya habis di Aceh Utara sebelum merantau ke Padang selepas SMA. Empat tahun sudah saya tinggalkan tanah itu, namun ikatan emosional tetap kuat. Kenangan akan pantai-pantai biru, rumah panggung sederhana, dan keramahan masyarakat membekas di hati. Namun, hari itu Aceh menjadi tanah luka. Bencana maha dahsyat meluluhlantakkan daerah yang sudah bertahun-tahun diguncang konflik bersenjata.

Sebulan setelah tsunami, saya memutuskan kembali. Kali ini bukan sebagai wartawan semata, tetapi sebagai relawan. Saya bergabung dengan tim relawan dari partai politik yang sebelumnya saya liput, meski saya bukan bagian dari mereka. Bersama tim kecil, kami menempuh perjalanan darat ke Meulaboh, Aceh Barat. Meulaboh menjadi salah satu daerah paling parah terkena tsunami, dengan pemandangan yang hanya bisa digambarkan sebagai kehancuran total.

Berziarah ke kuburan massal korban tsunami di Ulee Lheu, Meuraxa, Banda Aceh. Di sini berkubur 14.800-an korban tsunami 26 Desember 2004. (Foto: Dok. Muhammad Subhan)

Sepanjang perjalanan menuju Meulaboh, jalanan penuh dengan bekas reruntuhan. Di garis pantai, dataran yang dahulu padat dengan pemukiman kini hanya menyisakan tanah kosong yang diam tak bersuara. Orang-orang yang kami temui berjalan tanpa arah, dengan tatapan kosong yang sulit diartikan. Saya menyaksikan derita yang tak terucapkan. Anak-anak kehilangan orang tua, pasangan kehilangan belahan jiwa, dan semua orang kehilangan harapan.

Namun, di tengah kehancuran, ada pula semangat untuk bangkit. Saya bertemu relawan-relawan dari seluruh penjuru dunia, membawa bantuan dan harapan. Mereka bekerja tanpa lelah, memulihkan yang hancur dan merawat yang terluka. Di tengah duka, solidaritas menjadi bahasa universal yang menyatukan manusia.

Kembali ke Padang, pengalaman itu membawa saya pada renungan mendalam. Betapa rapuhnya kehidupan, betapa kecilnya manusia di hadapan kekuatan alam. Namun, juga betapa luar biasanya kemampuan manusia untuk bertahan dan bangkit kembali. Bersama beberapa kawan, kami sempat menerbitkan surat kabar harian yang bertahan tiga bulan, mencoba merekam jejak pasca-tsunami dan menyuarakan kisah-kisah harapan.

Kuburan massal korban tsunami di Meulaboh. (Foto: Dok. Muhammad Subhan)

Sepotong kisah tsunami itu juga saya rawat ingatannya pada salah satu bagian dalam novel Rinai Kabut Singgalang yang saya tulis enam tahun kemudian pasca bencana itu.

Dan, dua belas tahun berselang, pada 2016, saya kembali ke Meulaboh. Kali ini sebagai peserta Temu Penyair Nusantara “Pasie Karam”, sebuah acara budaya yang menjadi bagian dari Festival Budaya Aceh Barat. Perjalanan saya kini lebih mudah – terbang dari Medan ke Bandara Cut Nyak Dhien di Nagan Raya dengan pesawat kecil. Pemandangan yang saya temui sungguh berbeda.

Kawasan yang dulu rata dengan tanah kini kembali hidup. Rumah-rumah berdiri kokoh, perkantoran beroperasi, dan masyarakat menjalani kehidupan dengan semangat baru. Meulaboh telah bangkit dari reruntuhan, membuktikan bahwa Aceh mampu menata diri setelah diterjang badai. Di pantai yang dulu menjadi saksi bisu kedahsyatan tsunami, kini anak-anak bermain, gelak tawa mereka menggema, membawa pesan bahwa hidup terus berjalan.

Namun, dua dekade setelah tsunami, pertanyaan besar tetap ada. Apa yang telah kita pelajari dari bencana itu?

Aceh telah menunjukkan kekuatannya untuk bangkit, tetapi tantangan baru terus hadir. Ketergantungan pada bantuan internasional harus berakhir, dan pembangunan berkelanjutan harus menjadi prioritas. Kearifan lokal, seperti budaya gotong royong dan nilai-nilai keislaman yang kuat, menjadi modal utama yang harus terus dijaga.

Tsunami Aceh juga menjadi peringatan bagi kita semua tentang pentingnya kesadaran terhadap mitigasi bencana. Dengan teknologi yang semakin maju, kita memiliki kemampuan untuk meminimalkan korban jiwa dan kerugian material di masa depan. Namun, itu semua tak akan berarti tanpa adanya kesadaran dan komitmen bersama.

Kini, setiap Desember, ketika mengenang tsunami Aceh, saya selalu teringat akan fragmen-fragmen perjalanan itu. Perjalanan seorang anak rantau yang kembali untuk menyaksikan tanah leluhurnya terluka, tetapi juga menyaksikan bagaimana tanah itu sembuh. Bagi saya, Aceh bukan hanya cerita tentang derita dan duka, tetapi juga tentang harapan, keberanian, dan kebangkitan.

Dua dekade telah berlalu, tetapi jejak tsunami tetap ada. Ia hadir dalam monumen-monumen peringatan, dalam cerita-cerita yang diceritakan ulang, dan dalam semangat masyarakat yang tak pernah padam. Aceh telah mengajarkan kita bahwa meski badai datang menghancurkan, matahari selalu terbit kembali. Dan selama ada kehidupan, selalu ada harapan. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis, menetap di pinggir Kota Padang Panjang.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Ayu K. Ardi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan