Dua Buku Shantined Dibedah di PDS HB Jassin, Maman S. Mahayana: Perempuan dalam Sastra Tidak Lagi Inferior

Stigma perempuan itu lemah, inferior, dijungkirbalikkan. Dalam karya Shantined, semua tokoh laki-laki, kalau tidak mati, diposisikan sebagai pecundang.

JAKARTA, Majalahelipsis.id — Dunia sastra Indonesia kembali diramaikan dengan peluncuran dua buku terbaru karya Shantined, yaitu kumpulan cerpen Saga, Serigala, dan Sebilah Mandau serta kumpulan puisi Kita yang Tersisa dari Luka Cuaca.

Kedua buku ini merupakan kumpulan karya terbaik Shantined selama dua dekade terakhir (2004—2024), yang menjadi refleksi perjalanan kreatifnya dalam dunia kepenulisan.

Acara peluncuran yang berlangsung Kamis (27/2/2025) pukul 13.30–17.00 WIB itu digelar di Aula Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Gedung Ali Sadikin Lantai 4, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Peluncuran tersebut tidak hanya menjadi ajang perkenalan karya terbaru Shantined, tetapi juga wadah diskusi sastra yang mendalam.

Acara ini menghadirkan sejumlah kritikus dan sastrawan terkemuka Indonesia untuk membedah karya-karya Shantined, di antaranya Maman S Mahayana (kritikus sastra), Kurnia Effendi (sastrawan), Fanny J. Poyk (sastrawan), Mahwi Air Tawar (sastrawan), Olin Monteiro (aktivis feminis), dan Ririen Fina Richdayanti (psikolog).

Diskusi dipandu Rissa Churria (sastrawan dan pendidik) dengan pewara Willy Ana. Acara diawali sambutan dari Sofyan RH Zaid (CEO Taresia) serta Riri Satria (Ketua Jagat Sastra Milenia).

Tidak hanya itu, peluncuran buku tersebut makin semarak dengan pembacaan puisi oleh para penyair, seperti Sihar Ramses Simatupang, Hanna Sania, Romy Sastra, Nuyang Jaimee, Sekar Wangi Indonesia (14 tahun, putri Shantined), Prof. Firdaus Syam, dan Udi Utama.

Salah seorang pembaca puisi, Sekar Wangi Indonesia (14 tahun, putri Shantined). (Foto: Dok. JSM)

Sementara itu, nukilan cerpen karya Shantined berjudul Saga, Serigala, dan Sebilah Mandau dibacakan oleh Retno Budiningsih dan Nurhayati.

Tak hanya menghadirkan pembacaan puisi dan cerpen, acara ini juga dimeriahkan dengan musikalisasi puisi oleh Rinidiyanti Raya Ayahbi dan Khairani Piliang.

Dua buku ini bukan sekadar dokumentasi perjalanan sastra Shantined, tetapi juga bentuk perayaan akan kekuatan kata-kata dalam mengabadikan emosi, peristiwa, dan refleksi kehidupan.

Perempuan dalam Persoalan Sosial

Kritikus sastra Maman S. Mahayana mengatakan, diskusi itu dinilainya sudah sangat lengkap sebab para pembicara berasal dari lintas profesi, mulai dari psikolog, sastrawan, cerpenis, penyair, dan aktivis feminis dan perempuan.

“Ini contoh kasus bahwa sastra bukan hanya saluran untuk mengeluarkan unek-unek, tetapi juga untuk menunjukkan ideologi si penulis dalam menyikapi berbagai persoalan sosial dan kemanusiaan di masyarakat,” ujar Maman.

Cerpen karya Shantined menurut Maman sangat menarik. Tokoh-tokohnya sangat psikologis karena cerpen bisa ditarik ke mana mana. Shantined sangat kental mencurahkan ideologi perempuan dalam persoalan sosial.

Suasana diskusi dua buku Shantined di aula PDS HB Jassin. (Foto: Dok. JSM)

Lebih lanjut Maman S. Mahayana mengatakan bahwa pada antologi cerpen Saga, Serigala, dan Sebilah Mandau karya Shantined, pembaca dihadapkan pada berbagai kisah yang tampak surealis. Padahal ia sekadar monolog interior kecamuk pikiran atau kegelisahan yang disampaikan secara metaforis.

“Bagaimana rumput bisa menggugat dan serigala bisa nongkrong dalam isi kepala seseorang? Maka, jika ada pertanyaannya: apakah dengan begitu cerpen-cerpen Shantined dalam peta cerpen Indonesia termasuk kategori cerita absurd yang tidak terpahami lantaran melabrak logika formal? Tidak juga, sebab di sana, kita tidak perlu berkerut kening ketika menyusuri perkelindanan peristiwa yang satu dengan peristiwa lain,” papar Maman.

Menurut Maman, rangkaian peristiwa dalam cerpen-cerpen Shantined masih bergerak dalam tataran konvensional. Shantined, dengan cara demikian, bisa lebih leluasa menyalurkan pesan ideologisnya.

“Kemarahannya, obsesinya, dan segala unek-uneknya sebagai pengalaman masa lalu, dapat dibungkus secara metaforis. Tetapi, jangan salah pula: pencerita aku dalam ke-13 cerpen di sana—tiga cerpen lainnya memakai bentuk pencerita orang ketiga (dia), tentu saja harus dimaknai bukan Shantined,” lanjut Maman S. Mahayana.

Riri Satria (kiri) dan Shantined (kanan). Riri Satria memberikan apresiasi atas peluncuran dua buku Shantined. (Foto: Dok. JSM)

Dia mencontohkan cerpen “Jalan Saga 5” dan “Mata Suwung” menunjukkan kekuatan Shantined yang lain. Keterampilannya mengulur-ulur waktu penceritaan merupakan modal penting yang menjadikan peristiwa apa pun bisa diolah menjadi cerpen, bahkan juga jadi cerita panjang.

Begitu juga cara mengecoh dan menempatkan akhir cerita sebagai kejutan, lazim digunakan dalam cerita detektif, misalnya pada novel Agatha Chistie.

“Bukankah sebagian besar dari ke-16 cerpen itu juga cenderung membuat kejutan di akhir cerita?” sebut Maman.

Maman S. Mahayana juga menyampaikan bahwa dalam sastra, terutama cerita rekaan (novel atau cerpen) ada semacam rumus: pencerita tidak sama dengan pengarang. Bagaimanapun, sastra (cerpen, novel, atau puisi) tidak datang begitu saja dari ruang hampa, tidak lahir dari kekosongan, juga tidak dibawa malaikat dari langit.

Narasumber dan sejumlah sastrawan berfoto bersama usai peluncuran dan diskusi buku karya Shantined di Aula PDS HB Jassin. (Foto: Dok. JSM)

“Di situlah uniknya sastra. Di satu pihak, ia fiksional, dan di pihak lain, ia mewartakan pengalaman yang boleh jadi sekadar peristiwa biasa, mungkin juga kegelisahan, harapan, bahkan kemarahan. Di situ pula sastra menjalankan fungsinya menyampaikan pengalaman individual yang khas dan unik menjadi pengalaman bersama, menjadi peristiwa kemanusiaan yang berlaku universal,” ungkap Maman.

Selain itu dipaparkan Maman, stigma perempuan itu lemah, inferior, dijungkirbalikkan. Dalam karya Shantined, semua tokoh laki-laki, kalau tidak mati, diposisikan sebagai pecundang.

“Shantined menawarkan tema-tema yang bagi sebagian orang masih tabu atau hanya dibicarakan di ruang-ruang privat seperti LGBT dan kekerasan,” ujar Maman S. Mahayana.

Pembicara lainnya, Olin Monteiro, mengatakan, perempuan harus bersuara, berani menulis tema-tema di luar dirinya dan sektor domestik. Perempuan juga bisa menulis terkait isu-isu HAM, kejahatan lingkungan, termasuk dunia laki-laki. Kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual yang ditulis laki-laki memiliki sudut pandang yang berbeda dengan perempuan.

“Padahal ini kejahatan. Jadi saya suka karya-karya Shantined karena berani mengungkap sesuatu dari sisi perempuan, tidak terjebak pada tema yang manis-manis saja. Shantined adalah sosok perempuan “pemberontak” dan “melawan arus” dalam dunia sastra,” katanya.

Sementara psikolog Ririen Fina Richdayanti mengapresiasi karya Shantined yang menurutnya berani dan berdaya. “Tidak ada akhir cerita yang indah dalam cerpen-cerpen karya Shantined,” ungkapnya.

Ditinjau dari ilmu psikologi, karya Shantined didominasi id dalam teori Sigmund Freud, mengenyampingkan dua hal lagi yang membentuk kepribadian manusia yakni ego (pengendalian diri) serta super ego (norma yang berlaku). Shantined mengkedepankan id, menabrak ego dan super ego.

“Saya turut bahagia dan bangga dengan keberanian Shantined untuk mengangkat tema-tema marginalisasi, KDRT, homoseksualitas, gangguan kepribadian, kesehatan mental, dan isu-isu sensitif lainnya,” ujar Ririen.

Para pemantik diskusi. (Foto: Dok. JSM)

Keberanian Bertutur

Sastrawan Kurnia Effendi memuji keberanian cara bertutur Shantined yang menggabungkan antara suatu tindakan dengan khayalan, di mana unsur absurditas cukup dominan, mendekati surealis.

“Ini adalah kekuatan shantined sebagai penulis cerpen,” ujar Kurnia.

Sementara bagi Fanny Jonathans dan Mahwi Air Tawar, mereka menilai Shantined berhasil membangun cerita dengan estetika yang baik dan lokalitas yang kental. Menurut mereka, Shantined bukan penulis iseng. Dia serius dalam berkarya, dan seorang pencerita yang andal.

Semua pembahas menantang Shantined untuk menulis novel ke depannya, karena Shantined memiliki potensi besar untuk menulis novel yang dahsyat, dengan tema-tema yang masih dianggap tabu oleh masyarakat.

Melawan Ketakutan

Pada kesempatan itu, Shantined mengatakan bahwa bertahun-tahun lamanya ia mempertimbangkan berbagai hal sebelum akhirnya menerbitkan kedua buku itu, antara lain melawan ketakutan. Antara terus berkarya secara jujur atas berbagai peristiwa yang ditemui berbalut imajinasi liarnya seperti yang terdapat ke dalam beberapa cerpennya, atau menjadi penulis yang “dianggap baik-baik saja” mengikuti arus agar terhindar dari persepsi buruk masyarakat.

Shantined juga menceritakan bahwa salah satu cerpennya yang sedikit kotroversial tahun 2008 berjudul “Saga” pernah dimuat di Jurnal Perempuan No. 58, 2008, lalu dianalisis secara akademik menggunakan menggunakan teori psikoanalisis oleh seorang mahasiswa S-2 Magister Ilmu Susastra, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro dan dimuat dalam jurnal Kebahasaan dan Kesustraan Gramatika pada tahun 2018 dengan judul “Kepribadian Tokoh Utama dalam Cerpen Saga Karya Shantined dari Kumpulan Cerpen Un Soir Du Paris: Kajian Psikoanalisis. Cerpen berjudul “Saga” ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan bahasa Cina.

Ketua Jagat Sastra Milenia, Riri Satria, mengatakan dengan tegas, “Shantied is back!” Riri Satria mengisahkan bahwa semua itu dimulai pada Oktober 2024 dalam sebuah obrolan sambil ngopi santai di Depok.

Saat itu, Riri Satria mengetahui bahwa Shantined seorang penulis yang karyanya banyak malang-melintang di dunia sastra Indonesia pada tahun 2005—2010. Cerpen dan puisinya banyak bermunculan di media saat itu. Saat ini ia masih tetap menulis walau tak segencar dulu.

Buku Un Soir du Paris diterbitkan oleh Gramedia, dan Shantined satu buku bersama cerpen karya Seno Gumira Ajidarma, Cok Savitri, Lynda Christanti, Agus Noor, dan sebagainya. Sementara itu edisi bahasa Inggris ada dalam buku I am a Woman, di mana karyanya bersanding dengan karya Putu Wiaya, Oka Rusmini, serta Lily Farid. Sebuah rekam jejak yang sangat baik menurut Riri satria.

Shantined, lahir di Yogyakarta, besar di Balikpapan bahkan pernah aktif di Dewan Kesenian Balikpapan (DKB) dan membidangi Komite Sastra, dan sekarang berdomisili di Depok.

Di akhir obrolan, Riri Satria menyarankan agar Shantined mengumpulkan tulisan-tulisannya yang tersebar sejak dahulu di berbagai media dan buku, siapa tahu bisa diterbitkan sebagai buku kumpulan cerpen atau puisi pribadi, dan itu akan menjadi rekam jejak perjalanan kepenulisan Shantined.

“Masih banyak yang beranggapan bahwa apa yang kita tulis sebagai apa yang kita alami atau pikirkan. Realitas itu membuat saya takut akan muncul stigma negatif pada diri saya setelah mereka membaca karya saya. Akhirnya saya memiliki keberanian setelah membaca karya-karya penulis lain yang berani. Pembaca juga sudah semakin memahami bahwa apa yang saya ceritakan, tidak selalu mengenai atau berhubungan dengan diri saya. Ketika saya menulis tentang LGBT, bukan berarti saya adalah pelakunya, begitu juga ketika saya menulis tentang pembunuhan, bukan berarti saya seorang pembunuh. Ada cerpen dengan tema kekerasan dan psikopat, bukan berarti saya juga demikian. Saya hanya mengungkapkan ke permukaan hal-hal demikian ada di sekitar kita,” tegas Shantined.

Shantined menambahkan, acara peluncuran buku antologi puisi dan cerpennya itu telah ia tunggu selama 20 tahun. “Luar biasa, saya terharu, seperti mimpi saja rasanya. Terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu, terutama terima kasih saya kepada Bang Riri Satria serta semua sahabat Jagat Sastra Milenia atau JSM,” ucap Shantined dengan nada suara bergetar terharu serta nyaris menitikkan air mata ketika menyampaikan ucapan terima kasih di akhir acara.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Ayu K. Ardi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan