Oleh Risen Dhawuh Abdullah
SETELAH mencetak tiket, aku langsung mengeluarkan kartu identitas dari tas, begitu terburu-buru. Aku sedikit berlari menuju petugas stasiun yang mengecek tiket penumpang. Sebuah kesalahan memang, datang ke stasiun dengan waktu yang mepet dari jam keberangkatan kereta. Beruntung, KA Sancaka relasi Yogyakarta–Surabaya yang akan kunaiki diparkir di jalur dua, sehingga aku tak semakin ngos-ngosan karena harus melewati lorong stasiun semisal di parkir di jalur lain.
Pada perjalanan kali ini, aku naik di gerbong ekonomi premium lima. Gerbong paling belakang. Aku meletakkan tasku di bagasi. Tidak ada koper yang kubawa, seperti penumpang-penumpang lain yang kulihat di ruang tunggu stasiun maupun yang berjalan ke arah dalam kereta. Pada perjalanan kali ini memang aku tidak menginap di kota tujuan. Aku tidak pergi ke rumah-rumah saudaraku yang berada di luar kota sebagaimana biasanya. Aku hanya akan menghadiri pernikahan temanku dan langsung kembali ke Yogyakarta pada sore harinya.
Aku kurang beruntung. Kursi yang tertera pada tiket ternyata menghadap berlawanan dengan arah jalannya kereta. Memang tidak pernah ada yang dapat memprediksi dengan tepat posisi kursi saat naik ekonomi premium. Pernah aku mencari tips bagaimana caranya mendapat tempat duduk yang searah dengan jalannya kereta. Kupikir para pembuat konten kereta menawarkan tips, ternyata mereka juga tidak dapat memastikan.
Saat aku asyik membalas berbagai pesan, aku kaget. Suara benturan pintu karena dibuka dengan kasar. Aku menoleh dan seorang perempuan, tepatnya seorang pramugari, menangis dan berjalan cepat ke arah belakang kereta. Tangisnya begitu terdengar jelas. Beruntung, belum ada penumpang yang naik selain diriku, sehingga tidak menjadi pusat perhatian. Aku sedikit mengangkat badan, ia duduk di kursi paling belakang mepet jendela. Meski aku duduk di kursi dekat pintu, dan ia duduk di kursi paling belakang, tapi tampak jelas deras air matanya.
Aku mengalihkan pandang ke luar jendela, yang kulihat hanya beberapa orang di kursi stasiun. Sembari mendengar tangis pramugari itu, aku berharap segera ada orang yang mendekatinya. Paling tidak temannya atau orang yang mengetahui masalah pramugari itu. Namun, hingga beberapa menit, tidak kunjung ada orang datang padanya. Malah dua penumpang, yang duduk di lajur seberang kursiku. Aku kembali mencuri-curi pandang, tangisnya berkurang. Entah mendapat ilham dari mana, aku berdiri dan berjalan menghampiri.
“Sembilan tahun,” katanya. Tangisnya mengeras. Belum sempat kutanya apa-apa, ia sudah berkata demikian. Jelas aku bingung, jelas aku mati kutu.
Kuberanikan duduk di sampingnya. Baru akan mulutku membuka mengeluarkan pertanyaan, kepalanya tiba-tiba mendarat di dadaku. Aku semakin bingung. Sangat bingung. Aku tidak tahu caranya menghadapi momentum seperti ini. Hingga umurku menginjak seperempat abad, sama sekali tidak pernah menjalin hubungan dengan perempuan. Diam-diam aku merasa menyesal, tidak pernah pacaran. Aku menjadi merasa, selama ini diriku terlalu pasif sebagai laki-laki. Kepala pramugari masih di dadaku.
“Goblok!” batinku.
Aku ingin merangkulnya, tapi pada kenyataannya aku tak pernah mengenalnya. Ada perasaan aneh yang membayang ketika semisal itu kulakukan. Di sisi lain aku juga menakutkan sesuatu, kalau ia menganggapku memanfaatkan situasi untuk melakukan tindakan yang tidak-tidak. Seumur-umur aku belum pernah merangkul perempuan, selain adikku sendiri. Aku bingung. Sungguh. Jika tak kurangkul, nyatanya pramugari itu seperti meminta perlindungan. Sementara bibirku juga masih ragu-ragu. Ahh, Goblok!
Kereta telah berjalan. Hingga kepalanya terangkat dari dadaku, aku tak bisa memberi keputusan apa yang harus kulakukan. Yang ada hanya sebuah pertanyaan, yang bermuara pada jawaban penjelasan mengapa ia menangis. Ia mengusap pipinya. Bedak yang menempel di pipinya luntur. Melihatnya mengusap sembab pipinya hanya dengan tangan, aku tidak sampai hati. Spontan aku mencopot jaketku.
“Pakai saja. Tidak apa-apa,” ucapku sembari menyerahkan jaketku padanya.
Ia menerima begitu saja, tak ada kata yang terucap. Melihatnya mengusap pipinya menggunakan jaketku, aku kembali merasa goblok. Seharusnya bukan tindakan ngawur seperti yang kuambil. Ahh, sungguh terlihat sekali kalau aku tidak pernah menghadapi perempuan. Seharusnya aku pergi ke gerbong restorasi untuk meminta tisu. Sungguh, aku mengutuk diriku sendiri. Laki-laki macam apa aku ini.
“Terima kasih. Saya minta maaf,” ujarnya begitu tiba-tiba.
“Saya yang meminta maaf.”
Aku meminta maaf karena aku malah mengulurkan jaketku. Dan kemudian diam, tidak ada lagi kelanjutannya. Kepala pramugari itu bersender di kaca jendela. Timbul penyesalan, mungkin jika tadi aku merangkulnya, ia tidak akan seperti itu. Aku menebak-nebak bercampur setengah percaya diri, jangan-jangan ia kecewa terhadapku? Kata-katanya juga begitu singkat, tidak ada kelanjutan. Ia juga menyerahkan jaketku kembali. Apa benar ia kecewa padaku?
Tapi beberapa saat setelah permintaan maaf itu—yang aku juga tidak tahu maksudnya secara pasti—ia bicara. Ia mengajukan sebuah pertanyaan kepadaku. Dari pertanyaannya, aku baru bisa sedikit menebak-nebak, arah dari penyebab pramugari itu menangis.
“Apa semua laki-laki akan menyerah pada akhirnya, setelah tak mampu mengarungi lautan, setelah tak mampu lagi mendaki gunung?”
Sesaat di telingaku pertanyaan itu terdengar puitis. Barangkali karena ia menggunakan kata-kata perumpamaan. Aku tahu maksud dari pertanyaan itu. Aku berpikir keras untuk menjawabnya, butuh beberapa saat aku memutuskan akan menjawab apa.
“Laki-laki menggunakan logika,” jawabku. Aku berusaha supaya suaraku terdengar berwibawa. Kuubah dudukku menjadi setegak mungkin.
“Kalau menggunakan logika, kenapa tolol?”
Pramugari itu sedikit membentak. Aku mencoba untuk tidak panik menghadapi pertanyaan yang mengentak itu.
“Sembilan tahun itu bukan waktu yang sebentar! Dan hilang begitu saja! Terus yang dilakukan selama ini itu apa? Susah payah yang tidak ada artinya? Kalau memang menggunakan logika, kenapa tolol?” ucapnya dengan berapi-api. Aku seperti ditampar.
“Sembilan tahun!” Ia mempertegas dan kembali menjatuhkan kepalanya di dadaku.
Kali ini aku sudah tidak peduli. Aku memberanikan mengambil tindakan, merangkulnya. Pandanganku keluar jendela, hamparan sawah tampak begitu hijau. Seharusnya menjadi pemandangan yang indah. Namun, pada perjalanan kali ini, aku tidak menganggapnya seperti itu. Kesedihan yang menguasai pramugari itu menjalar padaku. Sembilan tahun? Jelas bukan waktu yang sebentar. Bahkan terlampau lama untuk sebuah hubungan. Dan itu durasi paling lama yang pernah kuketahui. Sembilan tahun itu harus hilang begitu saja.
Pertemuan yang tidak pernah kuduga di kereta Sancaka pagi itu ternyata mengundang pertemuan-pertemuan selanjutnya. Di setiap pertemuan, kami tidak pernah berjanji untuk bertemu. Tidak pernah melakukan komunikasi apa pun sebelum bertemu. Pada awalnya, aku juga heran. Sedikit tidak percaya, semua ini tidak lebih dari kebetulan yang terus terulang.
Dengan penuh kekonyolan, aku kembali datang ke Stasiun Yogyakarta tiga hari setelah pertemuan itu, hari yang begitu menyakitkan baginya, pramugari itu. Sengaja aku membeli tiket KA Sancaka. Aku hanya berharap kembali bertemu. Padahal belum tentu pramugari itu dinas di kereta yang sama, sebagaimana pertama kali kami bertemu. Dan ia ternyata ada di dalam kereta. Ia menyapaku penuh dengan keramahan, meski dari wajahnya kutangkap, mendung kesedihan itu masih menggantung tebal.
Hingga selang seminggu kemudian, aku kembali membeli tiket KA Sancaka. Aku kembali bertemu. Aneh. Akhirnya kucoba berkali-kali dan memang terus bertemu. Kami tak pernah saling memperkenalkan diri. Ya, walaupun aku tahu namanya dari pin yang menempel di dadanya. Sungguh, kami tidak pernah saling memperkenalkan diri. Aku tidak pernah memanggil namanya. Apalagi dirinya. Kami tidak pernah saling menukar nomor telepon. Kami tidak pernah berjanji untuk bertemu. Aneh? Ya, memang. Inilah kenyataannya.
Keajaiban-keajaiban itu ternyata tidak hanya kutemui di KA Sancaka yang berangkat pukul 06.45 dari Yogyakarta itu. Di jadwal pemberangkatan siang pun, aku kembali mendapati keajaiban. Aku selalu bertemu dengan pramugari itu. Bahkan sampai aku mencoba di kereta lain, misalnya di KA Mataram relasi Solo Balapan-Pasar Senen. Atau KA Argo Dwipangga relasi Solo Balapan-Gambir. Atau kereta-kereta yang berhenti di Stasiun Yogyakarta seperti Bima, Mutiara Selatan, hingga Argo Lawu. Bahkan saat aku naik dari Stasiun Lempuyangan. Selalu aku bertemu dengan pramugari itu.
“Sungguh kebetulan yang gila!” kataku.
Aku pernah berpikir, apakah kami punya ikatan batin yang kuat? Namun, pertanyaan itu kutepis sendiri. Jelas tidak mungkin, kami tidak pernah saling kenal. Bagaimana mungkin? Semenjak itu, setiap minggunya, pasti ada hari aku berada di stasiun. Ada sensasi tersendiri saat perjalanan menuju ke stasiun, selalu dilingkupi perasaan yang tidak karuan—aku tidak lagi merasa konyol. Selalu muncul pertanyaan, apakah nanti akan bertemu? Dan perasaan tidak karuan itu selalu dibayar tuntas pertemuan dengan pramugari itu.
Entah sudah berapa tiket kereta kubeli. Hanya untuk menikmati perasaan tidak karuan yang selalu muncul. Di dalam kereta, kami selalu menyempatkan diri mengobrol. Apa pun. Ia paling senang jika aku membeli makanan yang ditawarkannya. Tak masalah aku kehilangan uang dan waktu hanya untuk bertemu pramugari itu. Meski hanya sebentar, meski hanya sekadar menanyakan kabar. Sekali lagi, ini kebetulan yang gila. Kubiarkan diriku hanyut dalam sensasi-sensasi itu.
Diam-diam aku memperhatikan. Ada perubahan. Kesedihan yang menghiasi wajahnya sudah banyak berkurang. Bahkan di momen tertentu, ia seperti tidak merasakan sakit hati gegara gagal dalam hubungan yang dibangun susah payah selama sembilan tahun. Apakah perubahan itu karena kehadiranku?
“Minggu depan naik kereta lagi?” tanyanya.
Aku kaget. Untuk pertama kalinya ia bertanya seperti itu. Kutatap wajahnya, ia seperti begitu berharap.
“Tentu,” jawabku.
Tiba-tiba saja aku kehabisan kata-kata. Pramugari itu tersenyum. Hingga beberapa menit, tak ada percakapan. Pramugari itu tidak menanyakan, hari apa aku akan naik kereta. Benar-benar aneh. Namun, inilah kenyataannya.
Aku menjadi penasaran, ada apa dengan minggu depan di dalam kereta? Selama ini ia tidak pernah bertanya yang seperti itu. Apakah akan ada kejutan untukku darinya? Dan aku menjadi sering begadang, karena penasaran. Mencari-cari jawaban, meski pada akhirnya juga tidak kutemukan.
Tiba waktunya pada hari yang kutunggu-tunggu. Aku kembali naik KA Sancaka. Akhirnya, setelah aku menunggu pramugari itu dengan dada yang bergemuruh, ia datang juga. Ia tersenyum dan menawarkan makanan yang ada di atas troli. Ia tentu tidak sendiri, bersama rekannya. Yang membuatku terkejut, setelah aku menerima makanan yang diulurkannya, ia memberikan sesuatu.
Sebuah undangan. Di undangan itu, tertera namanya. Tidak sendiri. Bersama nama seorang laki-laki. Melihat kenyataan itu, degup jantungku mengencang. Gemuruh yang sudah reda, kembali menjadi-jadi. Pramugari itu hanya bilang, kalau aku disuruh datang, sebelum ia kembali mendorong troli-nya. Kata-katanya begitu melukai hatiku.
Sulit rasanya aku menerima kenyataan ini. Aku menjadi teringat pada awal kami bertemu. Hingga kemudian aku rutin membeli tiket kereta api. Sampai dua tahun lamanya. Dan sekarang? Semua itu hilang begitu saja. Hanya akan bermuara pada sebatas kenangan yang pahit. Timbul pertanyaan dalam benakku, lalu yang kulakukan selama dua tahun ini apa?
Aku menyesal, tidak pernah segera memastikan, mengenai perasaan yang ganjil ini. Semua sudah terlambat. Terlambat. Sungguh. []
Yogyakarta–Solo Balapan, 2024
Risen Dhawuh Abdullah. Lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Magister Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, UGM angkatan 2023. Alumnus Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji. Bermukim di Bantul, Yogyakarta.
Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Risen Dhawuh Abdullah
Editor: Neneng JK