Di Era AI Apakah Penyair Masih Diperlukan? Riri Satria: Ini Tantangan Puisi di Era Akal Imitasi
Puisi di era AI menghadapi tantangan besar yang menggugat otentisitas, hak cipta, hingga makna kemanusiaannya.
Catatan Muhammad Subhan | Padang Panjang
SEPERTI apa masa depan puisi di tengah derasnya arus kecerdasan buatan (AI) atau akal imitasi?
Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) XIII 2025, Sabtu (13/9/2025), di Perpustakaan Nasional RI menghadirkan Riri Satria, pakar transformasi digital yang juga dikenal aktif dalam dunia sastra melalui komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM).
Dalam sesi kuliah umum bertajuk “10 Tantangan Dunia Perpuisian dan Kepenyairan di Era AI”, di hadapan seratusan penyair Indonesia dari berbagai kota, Riri Satria menyampaikan pandangan yang memantik rasa ingin tahu sekaligus kegelisahan.
“AI tidak sekadar alat, ia sudah menjadi rekan kreatif baru yang menuntut kita memikirkan ulang hakikat puisi,” ujarnya.
Setidaknya Riri mengungkapkan sepuluh tantangan besar yang akan menentukan apakah perpuisian tetap menjadi wilayah kemanusiaan, atau justru melebur dengan algoritma.
Riri membuka diskusinya dengan pertanyaan mendasar: apakah dunia puisi siap menerima konsep meta estetika?
Dalam pandangan itu, papar Riri, penyair tidak lagi sekadar bermain dengan konstruksi bahasa, melainkan menekankan makna filosofis.
AI, dengan kekuatan analisis semantiknya, mampu menyusun puisi yang berlapis simbol, tetapi apakah itu cukup menggantikan sentuhan batin manusia?
“Jika bahasa hanya wadah, lalu diisi algoritma, di manakah ruang batin penyair?” tanya Riri, seakan menggiring hadirin merenung.
Di era generatif, puisi bukan lagi sekadar karya seni, melainkan bisa dipandang sebagai produk engineering.
Seperti halnya arsitektur yang memadukan seni dan teknik, AI dapat menghasilkan puisi lewat rumus dan logika.
“Apakah kita siap menerima puisi sebagai hasil art-neering, kolaborasi seni dan rekayasa teknologi?” ujar Riri.
Ini pertanyaan yang memantik pro-kontra: apakah puisi buatan mesin hanya simulasi rasa, atau sebuah bentuk baru kreativitas?
Di masa depan, puisi tak lagi berhenti pada teks. Bentuk multimedia—puisi dengan suara, gambar, musik, bahkan realitas virtual—akan semakin populer.
Generasi muda mungkin lebih akrab dengan puisi yang bisa “dilihat dan didengar” ketimbang dibaca.
“Jika puisi menjadi audiovisual interaktif, apakah kita masih bisa menyebutnya puisi, atau ia sudah berevolusi menjadi karya seni lintas medium?” kata Riri.
Fenomena hypertext dan hypermedia memungkinkan puisi terhubung dengan teks lain, bahkan lintas bahasa dan budaya, dalam jejaring global.
Bayangkan satu bait puisi yang jika diklik, langsung menghubungkan pembaca pada ribuan tafsir lain di dunia maya.
“Universal chain of poetry bukan khayalan. Dunia akan menyambutnya. Pertanyaannya, apakah penyair siap?” ungkap Riri.
Lebih lanjut ia mengatakan, jika AI bisa menulis puisi, siapa yang menjamin kualitasnya?
Riri menegaskan pentingnya peran kurator. Bukan hanya soal estetika, tetapi juga otentisitas. AI detector mungkin akan menjadi senjata kurator, layaknya kritikus modern.
“Penyair harus siap karyanya disaring, bahkan diperdebatkan keasliannya. Kita memasuki era ketika kurasi menjadi semakin krusial,” jelasnya.
Dalam dunia digital, hak cipta puisi semakin rapuh. Riri menekankan potensi Non-Fungible Token (NFT) sebagai sertifikat kepemilikan karya sastra. Puisi bisa dijual, dilelang, bahkan diwariskan secara digital.
“Apakah penyair siap mengadopsi teknologi blockchain untuk melindungi karyanya?” tanyanya.
Ini membuka peluang baru, sekaligus tantangan hukum dan etika.
AI menurut Riri mampu regenerate puisi siapa pun, dari Chairil Anwar hingga Sutardji, hanya dengan data pelatihan yang cukup. Namun, hal ini mengundang masalah serius: hak cipta dan otentisitas.
“Bayangkan puisi dengan gaya khas Sapardi, tetapi ditulis AI. Apakah itu penghormatan atau pelanggaran?” tanya Riri.
Riri juga menyinggung soal licentia poetica, yang merupakan salah satu hak istimewa penyair untuk bebas melanggar aturan bahasa demi estetika. Kini, AI pun bisa melakukannya. Pertanyaannya, apakah kebebasan itu sah jika dilakukan oleh mesin?
“Lisensi puitika tidak hanya soal bahasa, tetapi soal keberanian menyuarakan jiwa. Bisakah mesin punya jiwa?” Riri melemparkan dilema yang mengguncang batas seni dan teknologi.
Dipaparkannya lagi, AI memungkinkan puisi menyebar dalam hitungan detik ke seluruh dunia. Diskusi tentang sebuah puisi bisa berlangsung real-time lintas benua. Namun, kecepatan ini menimbulkan pertanyaan tentang mutu.
“Jika semua orang bisa menulis puisi dalam satu klik, apakah kualitas akan tenggelam dalam banjir teks?” Riri memperingatkan.
Dia menambahkan, tantangan terbesar justru pada sisi kemanusiaan. Riri menutup dengan kalimat reflektif: “High tech harus diimbangi high touch. Teknologi boleh maju, tapi puisi adalah penjaga peradaban.”
Bagi seorang Riri Satria, matematika, algoritma, dan program komputer sejatinya serupa dengan puisi: sama-sama menyederhanakan kompleksitas menjadi simbol. Namun, hanya manusia yang bisa memberi makna dari simbol-simbol itu.
Dari Catur ke Puisi
Untuk menguatkan pandangannya, Riri Satria juga menyinggung sejarah AI. Dari tahun 1958 ketika komputer pertama kali diajar bermain catur di mainframe IBM 704, hingga 1997 saat Deep Blue mengalahkan Garry Kasparov.
“Dulu pecatur dunia menertawakan ide komputer bisa mengalahkan manusia. Hari ini kita menertawakan ide mesin menulis puisi. Tapi sejarah bisa berulang,” ujarnya.
AI memang tidak memiliki rasa. Ia hanya belajar lewat pola, algoritma, dan feedback. Namun, pola-pola itu bisa menghasilkan puisi.
Bahkan, OpenAI pernah meluncurkan buku I Am Code, kumpulan puisi yang ditulis mesin Code-davinci-002 sebagai semacam “otobiografi puitis”.
Apakah itu puisi sejati atau hanya simulasi? Dunia sastra mungkin tak pernah sepakat.
Di akhir kuliahnya, Riri tidak mengajak penyair menolak AI, melainkan berdialog dengannya. Baginya, masa depan kreativitas justru terletak pada sinergi: manusia memberi deskripsi (promting), mesin mengolah (generating), lalu manusia memberi sentuhan akhir (finalizing).
“Kreativitas masa depan adalah gabungan critical thinking, design thinking, penguasaan teori, kekuatan imajinasi, dan dukungan AI,” tuturnya.
Sepuluh tantangan yang dipaparkan Riri Satria bukan sekadar daftar prediksi, melainkan peta jalan yang harus dihadapi penyair. Dari meta estetika hingga NFT, dari lisensi puitika hingga kemanusiaan, semua menuntut jawaban.
Pertanyaannya, apakah penyair akan tetap menjadi penafsir zaman, atau tergantikan oleh algoritma? Atau, mungkinkah justru lahir sebuah era baru: ketika manusia dan mesin bersama-sama menulis puisi sebagai jejak peradaban?
Tentu, akan banyak jawaban dan tafsir atas semua pertanyaan itu. []
Muhammad Subhan, dewan redaksi Majalahelipsis.id.
Catatan: Tulisan di atas diolah dari makalah Riri Satria berjudul “10 Tantangan Dunia Perpuisian dan
Kepenyairan di Era Kecerdasan Buatan (AI)” yang disampaikan pada sesi kuliah umum Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) XIII di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta, Sabtu, 13 September 2025.









