Oleh S. Prasetyo Utomo
LELAKI muda itu mesti meninggalkan Lembah Kelelawar. Ia mendaki lereng Gunung Jabalkat, mencari seorang guru yang bisa memberinya ilmu kebal tubuh. Ia dikenal sebagai rampok, pencuri, begal dari Lembah Kelelawar yang tak mengenal rasa takut. Tiap orang menyebut namanya dengan gentar.
Langkah kakinya mulai gelisah ingin menemukan seorang guru yang bisa memberinya ilmu kebal senjata. Ia ingin mengalahkan segala kesaktian Suro Kolong, lelaki setengah baya di desanya. Seorang diri ia mendaki Gunung Jabalkat, mencari rumah Ki Gandrung Marsudi.
Mencapai lereng gunung yang berkabut, tak terlihat lagi Lembah Kelelawar. Lelaki muda itu melangkah ragu mendekati pintu pendapat yang senyap. Rumah kayu itu dihuni Ki Gandrung Marsudi, seorang lelaki tua yang hanya hidup berdua dengan istrinya. Sesekali mereka menerima seseorang yang berguru padanya.
Lelaki muda dari Lembah Kelelawar itu duduk bersila di pendapa. Ia menanti Ki Gandrung Marsudi keluar dari kamarnya. Mungkin Ki Gandrung Marsudi sedang semadi.
“Kau mau ketemu aku?” Terdengar suara Ki Gandrung Marsudi yang berambut panjang keputihan. Matanya tajam.
“Izinkan saya untuk berguru,” pinta lelaki muda dari Lembah Kelelawar sambil mencium tangan Ki Gandrung Marsudi.
“Seorang murid harus mengikuti semua yang diajarkan guru!”
“Saya akan mengikuti semua perintah Ki Gandrung,” kata lelaki muda dari Lembah Kelelawar, “Asalkan guru menurunkan ilmu kebal.”
“Itu hal yang mudah,” balas Ki Gandrung Marsudi, sambil mengusap-usap jenggotnya yang memutih. “Tinggallah di rumahku untuk sementara waktu.”
*
LELAKI muda dari Lembah Kelelawar kembali berpikir: kenapa aku berguru pada Ki Gandrung Marsudi? Ia teringat saat bersembunyi dari kejaran polisi setelah melakukan perampokan toko emas di kota. Di rumah yang senyap, ia hanya tinggal berdua dengan Nenek, yang rapuh tubuhnya. Nenek senantiasa melindunginya. Ia tinggal bersama Nenek semenjak umur setahun. Ayah dan ibunya telah berpisah. Mereka meninggalkannya di Lembah Kelelawar.
Semasa remaja. lelaki muda itu sering bermain ke hutan Gandapati, bergaul dengan para begal, yang merampas sepeda motor orang yang melintasi jalan sunyi dalam gelap malam.
Siang itu lelaki muda dari Lembah Kelelawar disergap lima polisi, setelah melakukan perampokan bank di kota. Rumah lelaki muda itu dikepung. Lelaki muda itu bersembunyi dalam kamar. Tetapi Nenek tak memiliki rasa takut sedikit pun terhadap lima polisi bersenjata.
“Tinggalkan rumah, ini, Nek. Biar mereka kuhadapi sendiri!” pinta lelaki muda. “Nenek bisa mati tertembak!”
“Aku tak takut pada mereka. Kalau mereka ingin menembakku, biar Nenek mati lebih dulu!”
Kelima polisi mendekat ke arah rumah, dan memerintahkan lelaki muda itu menyerah. Lelaki muda itu melepaskan tembakan pistol dari dalam kamar. Terjadilah tembak-menembak. Begitu gencar, hingga lelaki muda itu tertangkap. Tangannya diborgol.
Saat lelaki muda itu melewati ruang tamu, ia tersentak, melihat tubuh Nenek yang terkapar, melelehkan darah. Ia meronta, ingin memeluk Nenek. Tetapi sebuah pukulan keras di perut telah menggoyahkan tubuhnya. Ia ingin muntah. Ia teringat Ki Gandrung Marsudi, di puncak Gunung Jabalkat, yang memiliki ilmu kebal tubuh. Ia ingin berguru ke sana.
Lelaki muda itu terus membayangkan Nenek, perempuan tua yang merawatnya sejak kecil, dan selalu berhadapan dengan orang-orang yang membenci perbuatannya sebagai begal. Nenek selalu marah padanya, bila mendengar kejahatan yang dilakukannya di hutan Gandapati. Tetapi Nenek selalu mengasihinya, dengan permohonan, “Berhentilah jadi begal dan rampok. Nenek butuh perlindunganmu!”
*
LELAKI muda itu juga ingat, saat ia kesakitan dipukuli Suro Kolong dengan tongkat sonokeling di bawah pohon beringin putih di tepi sendang. Pada mulanya ia melintasi tepi sendang. Ia iseng menggoda Kanti, anak bungsu Suro Kolong, yang tengah mencuci di sendang. Lama-kelamaan ia berhasrat menyentuh tubuh gadis itu, dan bangkitlah birahinya. Mereka hanya berdua di sendang. Ia tak dapat mengendalikan diri, menggagahi gadis itu, yang tanpa takut, melawan dengan meronta-ronta. Gadis itu sama sekali tidak berteriak.
Lelaki muda itu tersadar saat punggungnya dipukul tongkat sonokeling. Keras. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tubuhnya menggelepar. Ia menghindar. Melihat Suro Kolong memandangnya dengan sepasang mata serupa bara.
Lelaki muda itu beringsut-ingsut menjauh. Takut. Gemetar.
“Aku akan membunuhmu, kalau kau terus berbuat begini!” ancam Suro Kolong.
“Aku akan mencari ilmu kebal tubuh!”
“Carilah ilmu itu. Aku sanggup membinasakanmu.”
“Aku akan melawanmu!” kata lelaki muda Lembah Kelelawar, sepasang matanya meradang. “Suatu hari aku akan datang padamu.”
Sepasang mata Suro Kolong tajam, memberangus mata lelaki muda itu. Ia menghampiri anak gadisnya. Mereka meniti jalan setapak, meninggalkan sendang di bawah pohon beringin putih.
*
DUDUK bersila, berhadapan dengan Ki Gandrung Marsudi, hati lelaki muda dari Lembah Kelelawar itu tenang. Dalam sunyi kabut di luar pendapa, ia merasakan ketangguhan dirinya sebagai rampok. Ia sudah memiliki ilmu kebal. Tak akan ada senjata yang sanggup melukai tubuhnya. Tak ada peluru yang sanggup menembus dadanya. Ia takjub dan menaruh rasa hormat pada Ki Gandrung Marsudi, lelaki tua berambut panjang memutih, yang telah menerimanya selama beberapa hari di rumahnya, tanpa bertanya kehidupan kesehariannya sebagai perampok.
“Besok, pagi-pagi benar, saya mohon diri untuk pulang,” kata lelaki muda itu.
“Kau mesti meninggalkan Lembah Kelelawar. Kalau kau tak meninggalkan lembah itu, hatimu selalu dalam kegelapan,” kata Ki Gandrung Marsudi. “seperti binatang kelelawar, cahaya yang menerpamu selalu menyilaukan. Kalau kau bertemu seorang lelaki yang membawa tongkat sonokeling, dia tahu segala kelemahanmu. Dia murid kesayanganku.”
*
YANG pertama dikunjungi lelaki muda sekembalinya dari berguru pada Ki Gandrung Marsudi adalah menantang Suro Kolong, yang pernah memukuli punggungnya dengan tongkat sonokeling. Ia ingin mencoba kekebalan tubuhnya, dan meledek Suro Kolong untuk berbuat murka.
Dalam gelap malam, lelaki muda itu memasuki ladang jagung Suro Kolong, mematahkan tongkol-tongkol jagung dari tangkainya, dan memasukkannya pada karung. Langit kelam, tanpa bulan, dengan kelelawar-kelelawar yang terbang rendah di atas ladang jagung. Ia dengar suara Suro Kolong dan Subro, seorang pemanah, yang menjaga ladang jagung, “Lelaki muda itu dari Lembah Kelelawar. Ia baru saja menemukan guru yang memberinya ilmu kebal.”
“Ia mulai memetiki tongkol jagung dan memasukkannya dalam karung,” kata Subro. “Biar saya panah dadanya!”
“Jangan!” suara Suro Kolong menahan dendam. “Arahkan anak panah yang sudah kusepuh mantra pada selangkangannya. Dulu dia menggagahi Kanti di sendang. Anak gadisku tak mau nikah sampai kini. Aku ingin pencuri itu akan terus mengingat peristiwa malam ini.”
Lelaki Kelelawar muda dari Lembah itu melihat cahaya senter menyilaukan mata. Cahaya selalu membutakan matanya yang terbiasa dalam gelap. Anak panah meluncur dari busur di tangan Subro. Melesat dalam cahaya bening. Menembus celah batang-batang jagung, menghunjam selangkangan, dan terdengar suara lelaki muda itu memekik kaget, menahan nyeri, “Aaahrghhhh!”
Pandana Merdeka, Juni 2024
S. Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”. Semenjak 1983 ia menulis cerpen, esai sastra, puisi, novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia, Suara Karya, majalah Noor, majalah Esquire, Basabasi. Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa”, yang dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Menerima penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah. Kumpulan cerpen Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Cerpen “Sakri Terangkat ke Langit” dimuat dalam Smokol: Cerpen Kompas Pilihan 2008. Cerpen “Penyusup Larut Malam” dimuat dalam Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian: Cerpen Kompas Pilihan 2009 dan diterjemahkan Dalang Publishing ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Midnight Intruder” (Juni 2018). Cerpen “Pengunyah Sirih” dimuat dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Pilihan Kompas 2010. Novel yang terbit Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016), Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017), Percumbuan Topeng (Cipta Prima Nusantara, 2022). Kumpulan cerpen Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020), nomine Penghargaan Sastra Badan Bahasa 2021. Kumpulan cerpen terbaru Ketakutan Memandang Kepala (Hyang Pustaka, 2022) dan Anak Panah Dewa (Penerbit Nomina, 2022). Novel terbarunya Iblis Menjelma Senapan Berburu (Falcon Publishing, 2024).
Penulis: S. Prasetyo Utomo
Editor: Ayu K. Ardi