Oleh Vania Lalita Daniswara

Di sore yang gelap ditutupi oleh awan, dia berjalan lesu di trotoar masih dengan pakaian kerjanya. Tubuhnya letih setelah bekerja seharian, digempur oleh berbagai macam jenis pekerjaan yang tidak ada habisnya.

Namun, dia tak sempat mengeluh. Ia hanya butuh istirahat. Lihatlah kantung matanya yang menghitam dan pandangannya yang sayu. Rambut pendek sebahunya yang terlihat acak-acakan dan raut wajahnya muram, semuram langit sore ini.

Setetes air membasahi kepalanya, meresap jauh melewati surai rambutnya dan berakhir di kulit kepala. Dia menengadah, gerimis berdatangan. Tiba-tiba tawanya meledak. Kesialan datang bertubi-tubi hari ini. Ia lupa tidak membawa payung atau jas hujan. Ia benar-benar membenci semua yang terjadi di hari ini.

Getaran gawai mengambil seluruh atensinya dari rintik hujan yang masih berjatuhan. Ada beberapa pesan dari ibu kandungnya dan beberapa lagi dari rekan kerjanya. Gawainya kembali bergetar, sekarang panggilan suara dari sang ibu menghiasi layar gawainya.

Namun, tak ada pergerakan. Ia hanya mengamati kesibukan yang terjadi pada gawai genggamnya. Dia membiarkan panggilan suara itu menghilang dari layar. Dia melewatkan kabar dari ibunya tanpa alasan.

“Apakah kehidupanmu di masa lalu sungguh sulit?” Ia menoleh. Seorang pria paruh baya dengan tongkat kayunya berjalan mesra bersama kekasihnya. Mereka tersenyum hangat menyapa, dan gadis itu membalasnya.

Tatapan mereka mesra, sang pria menggandeng pujaannya dan berakhir duduk di dalam halte. Pandangan mata itu turun, memandangi tangan keriput yang saling bertautan dengan kagum. Ia tertegun sejenak, beberapa saat sebelum wanita lansia di sebelah pria tua itu melontarkan pertanyaan. “Siapa namamu, Nak? Jangan bermain hujan, meneduhlah bersama kami.”

Ia kembali tersenyum dan berlari kecil menghampiri pasangan suami istri tua yang kini duduk berdua di halte bus. “Lembayung Senja,” katanya dengan nada ramah.

“Nama yang indah, semoga kehidupanmu di masa ini juga berakhir indah.” Tersisip doa dalam jawaban pria tua tadi dan Lembayung mengaminkannya di dalam hati. Ya, semoga saja.

Suara gawainya kembali terdengar, meski deringnya hampir kalah dengan berisik air hujan. Lembayung masih menatap kosong pada layar gawainya. Masih nama yang sama, ibu kandungnya.

Sejak perceraian terjadi di antara kedua orang tuanya, Lembayung memilih tinggal bersama sang nenek. Ibunya menikah lagi dengan saudagar kaya, sementara ayahnya juga menikah dengan seorang akademisi. Lembayung tidak menyukai mereka lagi, semenjak ia mengetahui alasan dibalik perceraian kedua orang tuanya.

Faktor ekonomi yang mereka sering ceritakan hanya sebagian kecil dari alasan utamanya. Mereka sama-sama tak puas memiliki satu sama lain. Mereka memiliki kekasih masing-masing sekalipun mereka sudah terikat pernikahan. Lembayung membenci fakta itu. Hal yang tak pernah sedikit pun ia pikirkan ternyata terjadi di keluarga yang sebelumnya ia anggap harmonis.

Lembayung berdecak, sampai kapan pun dia tak ingin merasakan cinta lawan jenis, semua itu hanya akan menghancurkan hatinya lebih hebat lagi. Orang tuanya adalah bukti bahwa cinta tak seindah yang dikatakan orang-orang.

“Apakah seseorang mengganggumu, Nak?” tanya pria tua tadi secara tiba-tiba. Kedua matanya bergantian menatap gawai Lembayung dan si empunya.

Lembayung menyadari itu, pria tua itu mungkin mengerti kegelisahan dirinya. Terlebih lagi, pria tua itu juga membaca nama kontak yang tertera pada layar gawainya.

“Ini ibuku,” jawabnya jujur.

Mendengar jawaban Lembayung, seketika pria tua itu tersenyum hangat. “Senang mendengarmu mengakuinya.”

Darah Lembayung terasa berdesir halus, ia meneguk ludahnya beberapa kali untuk memastikan apa yang dia dengar dari pria tua itu. Hal yang tak bisa terelakkan, kenyataan bahwa dia masih mengakui ibunya sekali pun dia membenci ibunya.

“Nak, maukah kau mendengar sebuah cerita dariku?” tanya pria tua itu yang dibalas anggukan oleh Lembayung.

Pria itu terlihat kembali menyunggingkan senyumannya. Kedua matanya menatap langit abu-abu, sementara tangan kirinya tetap menggenggam erat istrinya seolah-olah ingin menegaskan pada dunia bahwa perempuan di sampingnya adalah manusia paling berharga di hidupnya.

“Istriku adalah seorang tunarungu, dia tak bisa mendengar sejak dia dilahirkan ke dunia. Aku bertemu dengannya di sebuah pertunjukan teater, dia adalah salah satu pemainnya. Istriku aktris yang hebat, dia selalu memainkan perannya dengan baik di atas panggung, aku jatuh cinta kepadanya kala itu, sampai saat ini.”

Pria tua itu melanjutkan, “Kami tidak memiliki buah hati selama pernikahan kami sampai kami memasuki lansia. Namun, satu hal yang kutahu, apabila aku dan dirinya memiliki buah hati, mungkin kami akan senang setengah mati, tetapi mungkin juga kami tak akan merasakan cinta sedalam ini.”

Lembayung hanya diam mendengarkan, sampai pria tua itu kembali berbicara. Kali ini dia menatap Lembayung dengan teduh. “Nak, orang tuamu bukan pahlawan. Mereka sama sepertimu, hanya manusia yang tak sempurna. Dan mencintai itu sulit, tidak selalu berhasil. Tapi, Nak, setidaknya mereka selalu mengusahakan yang terbaik untukmu.”

“Mungkin bagimu, mereka adalah patah hati terbesarmu. Tetapi bagi mereka, kamu adalah jatuh cinta paling indah yang pernah mereka rasakan sepanjang hidupnya.”

Tiba-tiba saja sang istri berdiri dan menghampiri Lembayung dengan langkahnya yang amat hati-hati. Kemudian ia memeluk Lembayung setelah mendapat izin. “Nak, kembalilah secepatnya. Percayalah padaku, pelukanku ini tidak sehangat dan tidak lebih menenangkan daripada pelukan ibumu.”

Entah bagaimana wanita tua itu bisa mendengarkan obrolan Lembayung dengan suaminya, tetapi yang pasti Lembayung merasa sedikit tenang dan ingin segera bertemu ibunya.

Di hari yang sama, Lembayung memutuskan pulang ke rumah sang ibu dengan hati tak menentu. Sudah lima tahun dia tak berjumpa dengan ibunya, entah bagaimana rupanya sekarang. Namun, ada sebuah kebenaran—Lembayung sangat merindukan ibunya.

Tepat setelah gadis itu turun dari ojek yang ditumpanginya. Dia berjalan perlahan sembari menggeret kopernya. Terlihat seorang wanita paruh baya yang selalu terlihat baik dengan rambut sebahunya, mirip dengan milik Lembayung, hanya saja rambut wanita itu sudah beruban. Wanita itu sedang meminum tehnya di halaman rumah seraya mengamati sebuah foto yang terdapat pada liontin kalungnya. Lembayung masih ingat, itu foto dirinya dan sang ibu yang diambil saat ia berulang tahun yang ke-6.

“Bu,” panggil Lembayung dengan lembut.

Wanita paruh baya itu mendongak dan melebarkan matanya terkejut melihat kehadiran Lembayung yang tak disangka-sangka. Tanpa banyak kata yang terucap, dia berlari dan menubruk tubuh putri satu-satunya itu. Lembayung membalas pelukan itu tak kalah erat. Istri pria tua itu benar, tak ada pelukan yang lebih hangat dan menenangkan selain pelukan ibu.

“Ibu rindu, Nak.”

Lembayung menyerah, dia tak ingin lagi marah pada dunia yang menghancurkan keluarganya. Lembayung ingin berdamai dengan takdir hidupnya agar ia dapat memeluk lagi ibu dan ayahnya kembali selama masa hidupnya. []

Vania Lalita Daniswara. Berusia 19 tahun yang sudah tertarik dengan dunia kepenulisan sejak masih menduduki bangku SMP. Pernah menerbitkan sebuah novel dan memublikasikan beberapa artikel di media massa. Salah satu artikelnya berjudul: “5 Cara Mengatasi Homesick untuk Anak Rantau” dipublikasikan oleh sebuah platform berita online.

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: Vania Lalita Daniswara

Editor: Disyadona

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan