Dari Soto Ibu sampai Dawet Ireng Jembut

Membaca sajak-sajak di buku ini terlihat bahwa penyairnya tidak sekadar menyampaikan pesan atas soto buatan ibunya. Nilai-nilai estetik dan dialektika berhasil dibangunnya dalam sebuah sajak yang apik.

Oleh Bambang Widiatmoko

/1/

REMPAH Rindu Soto Ibu adalah judul kumpulan puisi Setiyo Bardono (Bekasi, Taresia: 2025) 96 halaman. Sebuah judul yang langsung menarik perhatian dan memiliki daya asosiatif terhadap pembacanya.

Memang buku ini bukan yang pertama tentang kuliner atau berkaitan dengan masakan. Terlebih lagi ada pengakuan terbuka dari penyairnya, “Ada juga menu masakan yang belum pernah saya cicipi atau nikmati, namun saya mencoba menulisnya untuk mensikapi sebuah peristiwa atau kebutuhan sebuah tema” (hlm. iv).

Sejumlah sastra kuliner yang muncul dalam satu dasawarsa terakhir menjadi salah satu fenomena mutakhir sastra Indonesia. Sastra berwawasan kuliner telah menarik minat para sastrawan dalam memilih diksi dan membangun struktur cerita dalam bentuk puisi.

/2/

Setiyo, sebagai seorang penyair tentu akan menulis berbagai peristiwa dari kehidupan masyarakat di sekitarnya. Dari peristiwa itu muncul puisi yang tidak sekadar mendeskripsikan makanan tersebut. Ada metafora, perenungan, dan penghayatan untuk menuliskan peristiwa yang meski sederhana, tapi berhasil menjadi puisi istimewa.

Kita baca sajak berjudul “Soto Ibu” dalam kutipan utuh: meskipun diolah dari bahan seadanya, soto buatan ibu/selalu Istimewa. Mungkin karena diam-diam ada tetesan/ airmata yang jatuh ke dalam kuah sepanci hingga/ bumbu-bumbu membangkitkan ketulusan rasa cinta sejati// Meskipun disajikan dengan cara sederhana, soto racikan/ ibu selalu bisa menggugah selera/ Mungkin karena diam-/ diam terselip resah di sela gemeretak kayu hingga nyala/ api mematangkan soto ibu dengan segenap rindu// (hlm. 7).

Membaca sajak di atas terlihat bahwa penyairnya tidak sekadar menyampaikan pesan atas soto buatan ibunya. Nilai-nilai estetik dan dialektika berhasil dibangunnya dalam sebuah sajak yang apik. Kesan kerinduan terhadap masakan ibu pun dihadirkan secara mendalam dan menarik “mungkin karena diam-diam ada tetesan airmata jatuh ke dalam kuah”.

Setiyo berhasil memilih diksi yang kuat dan membangun struktur cerita dengan menghadirkan karakterstik tokoh yang dalam puisi ini adalah ibunya. Dalam puisi ini dapat dipahami bahwa sastra dan kuliner makanan dapat sekaligus sebagai alat untuk membangun karakterisasi tokoh. Dari proses kreatifnya pengarang memunculkan ide dan keliaran imajinasinya tentang soto dan perasaannya terhadap peran ibunya.

Suasana kerinduan terasa dominan dalam kumpulan puisi ini meski penyair belum sepenuhnya menghadirkan dalam metafora-metafora yang lebih berani. Yang muncul adalah baris-baris yang terasa datar-datar saja, misalnya: selalu ada yang kita rindukan dari langgam kampung halaman (hlm. 6).

Ada kisah pribadi saya ketika menjadi salah satu juri lomba baca puisi Kopisisa di kota kelahiran Setiyo, yakni Purworejo, Jawa Tengah. Panitia menyuguhkan makanan tradisional khas Purworejo yang disebut clorot dan dituliskannya dalam puisi berjudul “Clorot Mata” berikut:

Kelapa rapi terpilin
Merangkum makna rasa terjalin

Gadis kecil meneropong bintang
Langkah terpikat teduh pandang

Langgam nira menuruni ketinggian
Mengalirkan manis di sekujur ingatan

Siapa menyerpih di perjalanan itu?
Beras berputar ditampi ibu

Mengenal kisah terperangkap kerucut
Sepotong kasih membuai lembut

Bagaimana rahasia menguar wangi?
Tekanlah ego di dasar hati

Saat perjalananan berpeluh debu
Kulabuhkan lelah di clorot matamu.
(Hlm. 39)

Ada perasaan malu yang saya alami ketika menyantap makanan itu untuk pertama kalinya. Ternyata cara menyantap clorot memakai cara tersendiri. Makanan berbentuk kerucut yang dibuat dengan bungkus janur itu rupanya ditekan dari ujungnya, bukan diurai daun janurnya.

Dengan mengutip puisi di atas kita dapat memahami bahwa konsep kuliner terbagi menjadi tiga bentuk. Pertama, cita rasa yang dihasilkan memiliki cita rasa khas berasal dari bumbunya yang berbeda dengan bumbu makanan lainnya. Bisa juga dari cara pengolahannya “digoreng tidak, dipanggang bukan” (hlm. 15).

Kedua, penyajian makanan yang membuat kagum penikmatnya: “dawet ireng lebih memilih hitam pewarna buatan/ mungkin rasanya agak berbeda, tak seeksotis pewarna alami yang menumbuhkan rasa sejati senikmat/ Dawet Ireng Jembatan Butuh. Ingat jangan disingkat, nanti lidahmu tersesat”. Mengapa ada baris “jangan disingkat”? Sebab, telah populer di masyarakat dan media sosial singkatannya adalah Dawet Ireng Jembut.

Menikmati clorot adalah masuk kelompok ketiga, yakni makanan yang memiliki cara tersendiri untuk menikmatinya. Dalam puisi ini hadir dengan baris “janur kelapa rapi terpilin/ merangkum makna rasa terjalin”.

/3/

Terlepas dari kelebihan kumpulan puisi ini, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Di antaranya berupa tempelen. Misalnya dalam puisi berjudul “Kopi Vietnam” yang tidak menampilkan sesuatu penanda yang khas tentang Vietnam. Artinya, kopi yang sama dengan kopi yang lain pada umumnya.

Juga bahan yang belum diolah menjadi kuliner sehingga tidak dapat disebut dengan kuliner. Seperti “Cabai” (hlm. 55), “Kangkung” (hlm. 83). Juga adanya seloka dan karmina dalam kumpulan puisi ini yang tentunya merupakan genre tersendiri serta dapat dijadikan buku terpisah.

Lantas mengapa belum mencoba mengolah makanan yang merepresentasikan masa lalu? Sangat menarik apa yang dikemukakan dalam endorsement Sudibyo Prawiroatmojo berikut: “adalah Serat centini (Jawa) dan Adat Raja Raja Melayu (Melayu). Kedua karya sastra kanonik ini mengekspos makanan khas etnik masing-masing baik Jawa maupun Melayu” (hlm. 95).

Akhirnya, sastra kuliner dapat dijadikan sebagai wahana memperkenalkan dan melestarikan kuliner berbagai daerah. Ada nilai sejarah dan identitas yang terkandung di dalamnya yang dapat dijadikan ide untuk penerbitan kumpulan puisi berikutnya. Semoga. []

Bambang Widiatmoko. Penyair Yogyakarta yang kini berdomisili di Gunung Putri, Bogor.

Sumber gambar: Buku Rempah Rindu Soto Ibu karya Setiyo Bardono dari Kompasiana.

Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.

Penulis: Bambang Widiatmoko

Editor: Maghdalena

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan