Oleh Riri Satria

BARU-BARU ini beredar di media sosial sebuah screenshot percakapan seorang atlit muda berbakat Indonesia yang melakukan percakapan tidak senonoh dengan seorang karyawan hotel. Begitu juga beberapa bulan yang lalu, beredar juga di media sosial percakapan saling memaki antar selebritis di Indonesia. Benarkah ini semua? Tentu ini pertanyaan yang lazim untuk diajukan.

Saya tidak akan membahas kebenaran semua berita itu, karena untuk membahas itu diperlukan suatu proses pembuktian yang tidak mudah. Terlepas dari benar atau tidaknya itu semua, pada tulisan ini saya ingin menyampaikan bahwa pada era digital ini semua informasi seperti itu bisa direkayasa. Apalagi dengan menggunakan aplikasi berbasis kecerdasan buatan atau AI, berbagai wujud informasi dapat direkayasa, tidak hanya teks, juga foto, grafis, animasi, bahkan video.

Bahkan video pidato Menteri Keuangan yang lalu, Ibu Sri Mulyani, konon direkayasa dengan menggunakan perangkat AI ini. Hasilnya membuat video pidato itu dikecam banyak pihak dan Ibu Sri Mulyani mendapat tudingan dari berbagai pihak dan malahan menganggap beliau tidak etis. Namun, sekali lagi saya tidak akan membahas itu benar atau tidak karena saya tidak memiliki akses dan kapasitas untuk pembuktiannya.

Pada tulisan ini saya akan membahas bagaimana suatu proses cipta kondisi terjadi dimulai dari fabrikasi atau rekayasa informasi. Misalnya jika ingin membuat kerusuhan di sebuah kampung, sebarkan saja gosip atau berita hoax bahwa kepala desa korupsi dana bantuan desa serta selingkuh dengan seorang guru di desa tersebut. Lalu rekayasa screenshot teks sama foto-foto yang semuanya hoax. Pada era post truth society saat ini, kebohogan atau hoax yang disampaikan dengan cara elegan, pakai bukti walau hasil rekayasa AI, serta dilakukan berulang-ulang lama-kelamaan akan dipercayai sebagai sebuah kebenaran.

Hal demikian akan memancing silang pendapat serta berbagai opini di masyarakat. Apalagi jika diamplifikasi menggunakan media sosial, maka akan terbentuk suatu kumpulan opini yang menggunung, yang siap untuk meledak. Mengapa demikian? Karena opini tersebut bisa saja dibumbui dengan sentuhan emosional yang tinggi. Masyarakat akan memberikan respons dengan rasa marah, ada yang pro dan kontra, lalu saling hujat, ribut, bahkan bisa menjadi kerusuhan. Tahap ini namanya adalah cipta opini atau rekayasa opini.

Ujung dari semua proses ini adalah cipta kondisi atau sering juga disebut sebagai rekayasa kondisi. Wujudnya bisa keresahan masyarakat, masyarakat yang terbelah, munculnya berbagai aksi politik, kerusuhan, bahkan bisa jadi perang antar negara.

Jadi semua ini berawal dari rekayasa informasi yang saat ini umumnya berbentuk digital. Itulah sebabnya di era digital ini kita butuh kemampuan literasi digital supaya dapat menyaring setiap informasi yang kita dapatkan. Jika masyarakat kita memiliki literasi digital yang tinggi, maka akan terbetuk budaya self-filtering atau menyaring secara mandiri setiap informasi yang diperoleh sehingga tidak terjebak ke dalam peragkap cipta opini yang berujug kepada cipta kondisi.

Apakah itu literasi digital? Ini sesuatu yang sangat dibutuhkan zaman sekarang dan ke depannya oleh profesi apa pun dan tidak sebatas profesi terkait teknologi digital semata, karena semua sendi kehidupan sudah dimasuki oleh teknologi digital, mulai dari urusan penelitian, birokrasi pemerintahan, sampai dengan memesan taksi atau makanan ke rumah kita.

Literasi digital adalah kemampuan menggunakan teknologi digital untuk menemukan, mengevaluasi, memanfaatkan, membuat, dan mengkomunikasikan informasi dengan kecakapan kognitif maupun teknikal. Jadi, literasi digital ini bukan hanya sekedar kemampuan membaca informasi di media digital saja. Ini kemampuan yang menyeluruh sebagai pengguna (bukan ahli) teknologi digital sehari-hari. UNESCO menjelaskan bahwa literasi digital itu adalah dengan life skills (kecakapan dalam keseharian). Kemampuan ini tak hanya melibatkan teknologi saja, tetapi kemampuan untuk belajar, berpikir kritis, kreatif, dan inovatif untuk kompetensi di era digital.

Literasi sudah menjadi bagian dari kehidupan dan perkembangan manusia dari zaman prasejarah hingga era digital seperti sekarang ini. Perkembangan penggunaan teknologi, informasi, dan komunikasi dunia digital telah memberikan berbagai dampak dalam kehidupan manusia sehari-hari sehingga membuat literasi digital menjadi sangat penting saat ini di era post truth society supaya tidak terjebak ke dalam permainan cipta opini dan cipta kondisis melalui fabrikasi atau rekayasa informasi secara digital.

Literasis digital tentunya sangat berperan penting dalam menciptakan sebuah tatanan masyarakat dengan pola pikir dan pandangan yang kritis-kreatif, sehingga mereka tidak akan mudah tertipu dengan segala hal yang berbasis digital seperti menjadi korban informasi hoax atau bahkan penipuan menggunakan perangkat digital, serta berbagai bentuk kejahatan digital lainnya, karena teknologi digital sudah sangat marah dipergunakan di berbagai sendi kehidupan.

Waspadalah! []

Riri Satria dikenal sebagai pakar transformasi digital dan ekonomi digital di Indonesia. Sehari-hari adalah Komisaris Utama ILCS Pelindo Solusi Digital (PSD), dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, pernah mejabat sebagai Ketua Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Alumni Universitas Indonesia, serta anggota Dewan Juri atau Kurator untuk Indonesia Digital Culture Excellence Award serta Indonesia Human Capital Excellence Award. Di samping itu Riri Satria juga aktivis kekusastraan dan kebudayaan.

Penulis: Riri Satria

Editor: Muhammad Subhan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan