Dari Mana Ide Datang? Dari Jalan-jalan Lalu Jadi Tulisan
Ide bisa datang dari mana saja. Tinggal dipungut. Kutip. Lalu tuliskan.

Oleh Muhammad Subhan
IDE ada di sekitar kita. Pancaindra harus jeli menangkapnya. Fungsikan semuanya agar ide bisa dipungut, dicatat, lalu diolah menjadi tulisan.
Suatu hari, saya membawa Pasya, anak saya, ke Pantai Padang. Jalan-jalan. Di sekolahnya, ia diberi hadiah tiga ekor umang-umang oleh temannya. Sayangnya, dua di antaranya mati. Tinggallah seekor yang kini sendirian. Pasya merasa kasihan.

Rasa iba itu membuatnya mengambil keputusan. Ia meminta saya membawa umang-umang itu ke pantai, agar bisa kembali ke habitatnya dan bertemu teman-temannya yang lain.
Saya terharu mendengar permintaannya. Imajinasi saya pun terusik. Dari peristiwa sederhana ini, lahirlah sebuah ide. Saya menuangkannya dalam bentuk berita imajinatif. Ini hasilnya.
Haru, Prosesi Pelepasan Umang-Umang di Pantai Padang
Padang (TehTelurNews) – Seorang anak kecil bernama Muhammad Azam Pasya, 6 tahun, melepaskan seekor umang-umang di Pantai Padang, Senin (27/3) sore.
Prosesi pelepasan itu berlangsung haru, disaksikan deburan ombak, desau angin, dan senja yang hampir tenggelam.
“Anak itu datang dari jauh. Setibanya di pantai, dia langsung bergegas ke tepian ombak,” kata Etek Ros, 48 tahun, seorang pedagang langkitang di Pantai Padang yang ikut menyaksikan momen tersebut.

Umang-umang yang dilepaskan Pasya hanya seekor. Namun, menurut Etek Ros, anak kecil itu memperlakukannya seperti sahabat.
Setelah meletakkan umang-umang di pasir pantai, Pasya mengucapkan selamat berpisah dengan mata berkaca-kaca, lalu melambaikan tangan sebelum bergegas pergi.
“Saya melihat kesedihan di matanya,” ujar Etek Ros yang telah lama berdagang di pantai itu, sejak umang-umang banyak diburu untuk diperjualbelikan sebagai mainan anak-anak. Ironisnya, ia sendiri masih menjajakan langkitang.
Wartawan TehTelurNews yang sempat menemui Pasya sebelum ia naik bendi mendapati anak itu awalnya enggan bercerita. Namun, setelah dijanjikan segelas es krim, Pasya pun membuka kisahnya.
“Seorang kawanku membeli umang-umang yang dijual di seberang sekolah. Dia menghadiahkanku tiga ekor. Aku senang sekali,” tutur Pasya.

Saat dibeli, cangkang ketiga umang-umang itu sudah dicat berwarna merah, kuning, dan hijau. Wajah-wajah tersenyum tergambar di cangkangnya, dengan mata, hidung, dan mulut. Namun, bagi Pasya, itu hanyalah senyum kepura-puraan.
“Aku menaruh mereka di sebuah wadah. Di dasarnya kutaburi pasir dan kerikil. Kukira mereka bahagia,” katanya.
Namun, setiap pagi, ia selalu mendapati umang-umang itu berusaha memanjat dinding wadah, seakan ingin keluar.
Pasya tetap merawat mereka, memberi makan ampas kelapa, hingga suatu hari umang-umang berwarna kuning mati. Hatinya diselimuti duka, dan ia menangis.
Kini, peliharaannya tinggal dua ekor. Pasya menjadi lebih hati-hati dalam merawat mereka, berharap tak kehilangan lagi.
“Aku selalu berada di dekat mereka, bermain bersama, dan berharap mereka lebih bahagia,” katanya dengan suara lirih.
Namun, harapan tak selalu berpihak pada kenyataan.
Suatu pagi, sebelum berangkat ke sekolah, Pasya mendapati umang-umang hijau telah keluar dari cangkangnya—mati. Ia histeris dan kembali menangis.
“Dia mati tiba-tiba, tanpa memberi kabar apa pun kepadaku,” ucapnya, sembari menyeka air mata yang menganak sungai di pipinya.
Sejak saat itu, setiap kali mengenang kedua umang-umang yang telah pergi, air mata Pasya selalu menitik. Ia merasa bersalah telah mengurung mereka, padahal mereka seharusnya hidup bebas di alam lepas.
“Aku hanya ingin bersahabat, tapi aku telah membuat mereka terkekang,” sesalnya.
Demi menebus rasa bersalah, Pasya memutuskan untuk tidak membiarkan umang-umang terakhirnya mengalami nasib yang sama. Maka, ia pun pergi ke Pantai Padang, membawa umang-umang berwarna merah, dan melepaskannya di bibir pantai.
“Semoga ia menemukan keluarganya dan benar-benar hidup bahagia,” harap Pasya.
Pasya pun berjanji akan selalu mendoakan keselamatan umang-umang kecilnya dari ombak dan kaki-kaki manusia yang lalu-lalang menikmati senja.
Sampai berita ini diturunkan, belum ada kabar tentang nasib umang-umang yang telah kembali ke habitatnya itu. []
Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis.
Penulis: Muhammad Subhan
Editor: Anita Aisyah