Copas

Etika menulis menuntut kejujuran, penghargaan atas sumber, dan tanggung jawab moral terhadap karya orang lain.

Oleh Muhammad Subhan

“Izin copas, Kak.”

Kalimat itu terdengar ringan. Sering pula disertai emotikon senyum atau tawa.

Namun, di balik ringan ucapannya, tersembunyi beban moral yang tak main-main.

Copas adalah singkatan dari copy paste. Copy artinya ‘menyalin’. Paste berarti ‘menempelkan’.

Kedua diksi ini berasal dari bahasa asing (Inggris). Muncul dari dunia digital.

Kata itu lahir dari perangkat lunak. Diperkenalkan Larry Tesler, seorang ilmuwan komputer. Ia tak pernah menyangka temuannya bakal melahirkan persoalan etika.

Istilah copas kemudian menjelma menjadi bahasa gaul. Digunakan anak muda dalam tugas sekolah. Dipakai pekerja kantoran saat menyusun laporan. Bahkan, merambah ke dunia kepenulisan.

Copas bukan lagi sekadar perintah komputer. Ia menjelma sebagai tindakan. Kadang tak terpuji.

Menyalin adalah keterampilan. Tapi menjiplak adalah kejahatan.

Copas boleh saja, jika sekadar untuk belajar. Tapi menjadi salah, saat menyalin tanpa menyebut asal. Apalagi jika nama penulis dihapus; dibuang; dihilangkan. Lalu, karya orang lain diklaim sebagai karya sendiri.

Itulah plagiarisme namanya.

Wikipedia menjelaskannya dengan tegas bahwa plagiarisme adalah ‘pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya milik orang lain dan menjadikannya seolah-olah milik sendiri’.

Plagiat bukan sekadar pelanggaran etika. Ia adalah pencurian. Dan, mencuri adalah tindak kriminal. Ada sanksi. Ada tuntutan. Ada nama baik yang tercemar. Ada rasa sakit hati yang tak terobati.

Menulis itu susah. Ia lahir dari perenungan. Disusun dengan cinta. Dibentuk dari luka. Dari bahagia. Dari pengalaman panjang.

Maka, saat karya itu disalin begitu saja, tanpa izin, tanpa nama, tanpa sumber, penulis aslinya bisa merasakan kehilangan. Seperti dicuri tanpa suara.

Etika dalam kepenulisan tak boleh diabaikan. Bagi penulis pemula, ini adalah pedoman: Jika ingin mengutip, sebutlah sumbernya. Jika ingin membagikan, sertakan nama penulisnya. Jika ingin menyadur, parafrasakan dengan gaya sendiri. Jangan pernah membuang jejak pencipta aslinya.
Sebab di sana ada harga diri.

Menulis bukan sekadar merangkai huruf. Ia adalah jiwa yang ditumpahkan ke atas kertas. Ia adalah rekaman batin yang tak bisa ditiru seutuhnya. Menjiplaknya berarti menodai kejujuran.

Hari ini, kita hidup di zaman digital. Di mana satu klik bisa menyebar ke seribu arah, terutama di media sosial. Maka, literasi digital sangat penting.

Literasi bukan hanya kemampuan membaca. Tetapi juga memahami. Menimbang. Dan bertindak dengan bijak.

Orang yang melek literasi tidak akan mudah memplagiat. Ia tahu batas antara berbagi dan mencuri. Ia sadar, karya orang lain bukan barang gratis. Ia menghormati proses dan jerih payah.

Etika digital adalah jembatan moral kita di dunia maya. Ia adalah pagar yang menjaga integritas. Yang membuat kita tetap manusia, meski sedang bersembunyi di balik layar.

Saya pernah menulis dengan air mata. Mengetik kata demi kata sambil menahan lapar. Malam-malam saya habiskan di depan layar laptop—dulu menggunakan mesin tik. Bukan untuk terkenal. Tapi untuk jujur pada kata.

Tapi, suatu hari, tulisan saya muncul di tempat lain. Tanpa nama. Tanpa jejak. Seolah-olah bukan saya yang menulisnya.

Lalu, tiba-tiba ada yang berkomentar ke saya, tulisan saya disebut copas dari tulisan orang lain. Padahal, orang lain itu yang meng-copas tulisan saya tanpa menyebut nama saya sebagai penulis dan tidak pula melampirkan sumber aslinya.

Saya tidak marah. Hanya sedih. Sedih itu manusiawi. Seperti melihat sesuatu yang berharga yang saya jaga selama ini, lalu tiba-tiba ada orang yang mengambilnya. Tanpa izin. Lalu ia begitu mudah mengeklaim itu adalah miliknya.

Melalui tulisan ini saya mengajak: Mari menulis dengan hati. Mari membaca dengan empati. Mari menghargai dengan kesadaran.

Jangan sekadar copas. Tapi pahamilah isi. Jangan hanya menyalin. Tapi resapilah makna. Sebab, dalam satu paragraf, ada sepotong jiwa yang dititipkan penulisnya. Dan, tugas kita, adalah menjaga jiwa itu tetap utuh.

Sebagai catatan akhir, tulisan ini boleh dibagikan. Boleh di-copas. Tapi tolong sertakan nama penulis dan sumber aslinya. Karena menghormati sesama—atas nama kemanusiaan—adalah bentuk tertinggi dari literasi. []

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, dan founder Sekolah Menulis elipsis.

Gambar ilustrasi dibuat oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan teknologi kecerdasan buatan.

Penulis: Muhammad Subhan

Editor: Anita Aisyah

Komentar

1 Komentar
  1. Menyalin adalah keterampilan. Tapi menjiplak adalah kejahatan.

    Sangat setuju dengan kalimat di atas. Menejiplak adalah kejahatan. Luka yang tak berdarah bagi seorang penulis. Semoga ke depan tak ada lagi pencuri-pencuri tulisan berikutnya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan