Ciloteh “Catuih Ambuih”: Undang-Undang Tanpa Suara Rakyat?
Hukum yang tidak tumbuh dari kesadaran dan aspirasi sosial rakyat akan kehilangan legitimasi sebagai alat keadilan.

Oleh Bagindo M. Ishak Fahmi
UNDANG-UNDANG adalah napas hukum yang mengatur denyut kehidupan rakyat. Namun, di negara demokrasi seperti kita, proses pembentukan undang-undang tak jarang menyisakan pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang menulis naskah hukum itu? Apakah ia lahir dari rahim rakyat, atau hanya digoreskan oleh tangan-tangan elite yang jauh dari denyut nadi kehidupan masyarakat?
Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, menyebutkan dengan jelas: “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.”
Sebuah pernyataan yang terdengar demokratis, tapi dalam praktiknya masih menyimpan banyak tanda tanya. Mengapa masyarakat sering kali tak mengetahui keberadaan RUU yang sedang dibahas? Mengapa masukan yang telah diberikan kerap diabaikan? Dan lebih dalam lagi, apakah kata “berhak” dalam pasal tersebut cukup kuat untuk menjamin keterlibatan rakyat secara substansial?
Antara Hak, Kewajiban, dan Formalitas
Kata “berhak” dalam bahasa hukum memiliki arti yang sangat spesifik: ia memberi izin, namun tidak mewajibkan. Artinya, masyarakat boleh memberikan masukan, namun apabila mereka tidak melakukannya, proses pembentukan undang-undang tetap bisa berjalan. Konsekuensinya, keterlibatan masyarakat menjadi opsional, bukan keharusan.
Kondisi inilah yang membuat partisipasi publik dalam pembentukan peraturan seringkali berhenti pada sebatas formalitas. Konsultasi publik dilakukan, ya. Undangan disebar, dokumen dipajang di situs resmi, tetapi tidak sedikit dari proses tersebut yang bersifat simbolik. Tidak seluruh elemen masyarakat mendapat akses atau informasi. Tidak semua suara yang masuk benar-benar didengar, apalagi dijadikan pertimbangan.
Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, pakar hukum tata negara, Indonesia masih berada dalam kerangka demokrasi prosedural. Dalam kerangka ini, selama tahapan-tahapan formal telah dijalani, maka substansi seolah tak perlu dipermasalahkan. Padahal, dalam demokrasi sejati, substansi dan partisipasi seharusnya menjadi jantung dari setiap kebijakan hukum.
Keterwakilan Rakyat: Representasi yang Kadang Terputus
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memang dipilih oleh rakyat, dan secara hukum mereka memiliki mandat untuk membuat undang-undang. Namun, dalam banyak kasus, hubungan antara wakil dan yang diwakili tampak semakin menjauh. Proses legislasi sering kali berlangsung di ruang tertutup, dalam waktu singkat, dan minim pelibatan masyarakat.
Kita bisa melihat ini dengan sangat jelas pada proses lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law). Meskipun pemerintah mengklaim telah membuka ruang partisipasi, kenyataannya banyak elemen masyarakat, khususnya serikat buruh dan aktivis lingkungan, yang menyatakan bahwa suara mereka tidak diakomodasi. Begitu pula dengan RUU KUHP, yang dalam penyusunannya banyak memuat pasal-pasal kontroversial, dan baru memicu gelombang protes setelah hampir disahkan.
“Rakyat tak tahu saat naskah dibuat, tak tahu saat pasal dibahas, baru tersentak ketika undang-undang sudah lahir”.
Hukum yang Tak Berakar di Tanah Sosial
Dalam perspektif sosiologis, hukum bukan hanya produk negara, tetapi juga hasil dari dinamika sosial. Prof. Imam Prasodjo, sosiolog Universitas Indonesia, pernah mengingatkan: “Jika hukum tidak tumbuh dari kesadaran sosial masyarakat, maka hukum hanya akan menjadi dokumen administratif, bukan aturan hidup bersama.”
Hukum yang tidak berakar di masyarakat akan sulit ditegakkan. Masyarakat bisa memilih untuk mematuhi secara terpaksa, atau diam-diam melanggarnya karena tidak merasa memiliki ikatan emosional maupun rasional terhadap norma yang ditetapkan. Ini adalah bentuk pembangkangan sipil yang pasif—diam, tapi perlahan menggerus legitimasi hukum itu sendiri.
Kritik Terhadap Naskah Akademik dan Draf RUU: Substansi Sudah Ditentukan?
Naskah akademik seharusnya menjadi pijakan ilmiah dan objektif dalam merumuskan suatu undang-undang. Namun seringkali, penyusunannya pun tak luput dari kritik. Beberapa akademisi dan praktisi hukum menyoroti bahwa naskah akademik kerap disusun hanya untuk melegitimasi pasal-pasal yang sudah ditentukan sebelumnya.
Uji sahih atau uji publik yang dilakukan terhadap naskah akademik dan draft RUU pun seringkali tidak lebih dari ritual belaka. Masukan dari akademisi, masyarakat sipil, atau kelompok rentan sering kali hanya menjadi catatan pinggir, bukan pertimbangan utama dalam penyusunan pasal.
Apa yang Harus Dilakukan?
Agar hukum kembali menjadi cermin aspirasi rakyat, ada beberapa langkah penting yang harus diambil:
- Mengubah frasa “berhak” menjadi “wajib membuka ruang partisipasi yang nyata.”
Partisipasi publik tidak cukup dibuka sebagai opsi, tetapi harus menjadi tahapan wajib yang memiliki indikator keberhasilan yang terukur.
- Konsultasi publik harus masif, inklusif, dan terdokumentasi.
Tak cukup mengundang segelintir ahli. Masyarakat adat, petani, buruh, perempuan, difabel, mahasiswa, dan kelompok minoritas harus dilibatkan.
- Transparansi penuh terhadap proses dan dokumen hukum.
Semua draft RUU, notulen rapat, dan hasil konsultasi publik harus tersedia secara daring, mudah diakses, dan dalam bahasa yang sederhana.
- Penilaian independen terhadap kualitas partisipasi.
Lembaga independen dapat melakukan audit terhadap partisipasi publik dalam proses legislasi.
- Literasi hukum dan pendidikan sipil ditingkatkan.
Agar masyarakat tahu bahwa mereka punya hak, dan tahu bagaimana cara menggunakan hak itu.
Demokrasi Bukan Sekadar Pemilu
Demokrasi tidak selesai di bilik suara. Demokrasi sejati hidup dalam proses sehari-hari, dalam setiap keputusan yang memengaruhi hidup banyak orang. Ketika undang-undang disusun tanpa melibatkan rakyat, maka apa bedanya dengan diktat dari penguasa?
“Jika hukum dibuat oleh segelintir orang untuk kepentingan segelintir orang, maka hukum telah kehilangan wajahnya sebagai penjaga keadilan.”
Sudah waktunya kita memperjuangkan proses legislasi yang bukan hanya sah secara hukum, tetapi juga sah secara moral dan sosial. Bukan hanya prosedural, tetapi juga substansial.
Karena negara ini tidak dibangun dari pasal-pasal, tapi dari suara, keringat, dan harapan rakyatnya. []
Bagindo M. Ishak Fahmi, seniman/budayawan Sumatra Barat.
Penulis: Bagindo M. Ishak Fahmi
Editor: Muhammad Subhan