Ciloteh “Catuih Ambuih”: Sekadar Hiburan atau Krisis Budaya?
Di balik gelak tawa yang viral, tersembunyi krisis literasi, empati, dan akhlak yang perlahan memudar.

Oleh Bagindo M. Ishak Fahmi
DALAM beberapa tahun terakhir, media sosial telah menjadi panggung utama bagi berbagai bentuk hiburan. Salah satu yang menonjol adalah fenomena bagalau—konten parodi, lipsync, dan kelucuan ringan yang menyebar luas di TikTok, Reels Instagram, Facebook, hingga YouTube. Tak sedikit dari konten ini mengangkat tema keseharian masyarakat, mulai dari parodi kemiskinan, pernikahan, konflik rumah tangga, hingga pelesetan ceramah dan lagu-lagu. Di balik gelak tawa yang tercipta, ada sesuatu yang perlahan mengabur: nilai.
Fenomena ini tak pandang bulu. Ia dinikmati oleh masyarakat dari berbagai lapisan, dari kampung hingga perkotaan, dari anak-anak hingga orang dewasa. Banyak yang beralasan, “Itu kan hanya lucu-lucuan.” Namun, benarkah hanya sekadar hiburan?
Pola Psikologis: Tontonan Berulang Menjadi Kebiasaan
Dalam psikologi perilaku, dikenal prinsip repetition creates familiarity. Ketika suatu pola ditampilkan secara terus-menerus, maka secara tidak sadar, hal itu akan dianggap normal. Konten yang menertawakan penderitaan, mempermainkan hubungan suami istri, atau menjadikan kekerasan verbal sebagai bahan hiburan, jika terus dikonsumsi, akan membentuk pola pikir baru: bahwa semua itu adalah hal biasa.
Empati pun perlahan menipis. Sikap hormat dalam relasi rumah tangga bisa bergeser, karena candaan kasar dan merendahkan dianggap bagian dari ekspresi lucu yang lumrah. Dalam jangka panjang, ini berdampak pada pembentukan karakter, terutama bagi anak-anak dan remaja yang masih berada dalam fase penyerapan nilai.
Psikologi Sosial: Hiburan Sebagai Pelarian
Namun, tidak adil jika kita hanya menyalahkan penonton atau kreator. Dalam realitas sosial yang semakin berat—dengan tekanan ekonomi, beban hidup, dan ketidakpastian masa depan—hiburan menjadi pelarian yang paling mudah diakses. Banyak orang menonton bukan karena ingin belajar, tapi untuk sejenak melupakan kenyataan.
Psikolog sosial menyebut ini sebagai mekanisme pertahanan psikologis. Ketika hidup terasa terlalu berat, tawa menjadi alat penyeimbang. Namun, jika tawa itu bersumber dari konten yang merendahkan nilai dan norma, maka pelarian ini justru bisa membawa dampak jangka panjang yang merusak.
Budaya yang Bergeser: Dari Nilai Menuju Algoritma
Budaya bukan sekadar warisan fisik seperti pakaian adat atau rumah tradisional. Budaya adalah cara berpikir, merasa, dan bertindak yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam konteks media digital, budaya kini dibentuk oleh apa yang kita buat dan apa yang kita tonton.
Konten viral yang tak mendidik menjadi bagian dari budaya baru. Budaya ini, sebagaimana dikatakan antropolog Clifford Geertz, adalah sistem makna yang membentuk kehidupan sosial. Maka ketika makna itu dipenuhi oleh kelucuan kosong, kita sedang menyaksikan budaya yang kehilangan jiwanya.
Ahli budaya Prof. Radhar Panca Dahana juga pernah mengingatkan bahwa budaya populer hari ini telah dikuasai oleh pasar yang dangkal—di mana kesantunan, kearifan, dan pendidikan dikalahkan oleh statistik views dan likes. Ini adalah bentuk komodifikasi tontonan: nilai ditukar dengan viralitas.
Pandangan Agama: Tawa yang Membawa Hikmah
Dalam sudut pandang agama, tertawa bukan hal yang dilarang. Bahkan Nabi Muhammad saw. pun sering tersenyum dan membuat orang lain merasa nyaman. Namun, para ulama juga mengingatkan bahwa tawa yang berlebihan dan tidak pada tempatnya akan mematikan hati.
Konten yang memperolok agama, mempermainkan relasi suci suami istri, atau menjadikan penderitaan sebagai bahan hiburan, tidaklah sesuai dengan semangat ajaran manapun. Agama hadir untuk menuntun manusia menjaga lisan, adab, dan rasa malu. Jika hal-hal ini justru dikikis atas nama hiburan, maka kita patut khawatir akan kemana arah generasi selanjutnya.
Refleksi: Tertawa, Tapi Jangan Lupa Bertanya
Apakah semua ini terjadi karena rendahnya literasi?
Ya. Apakah karena tekanan hidup? Juga benar. Apakah karena dorongan ekonomi dan peluang finansial dari viralitas? Tidak bisa dipungkiri. Namun, yang paling penting adalah bagaimana kita bersama menyadari bahwa konten digital hari ini adalah jejak sejarah masa depan kita.
Apa yang kita tonton hari ini akan membentuk cara berpikir anak-anak kita esok hari. Maka mari kita mulai dari satu pertanyaan kecil: apakah tawa ini membawa berkah, atau justru sedang mengikis akhlak kita perlahan-lahan? []
Bagindo M. Ishak Fahmi, seniman/budayawan Sumatra Barat.
Penulis: Bagindo M. Ishak Fahmi
Editor: Muhammad Subhan