Ciloteh “Catuih Ambuih”: Mengawal Niat, Bukan Mengadili
Kritik seharusnya diarahkan pada tindakan, bukan pada niat yang belum terwujud. Niat baik perlu ruang untuk tumbuh, bukan dijegal oleh prasangka.

Oleh Bagindo M. Ishak Fahmi
DALAM dinamika sosial dan tata kelola pemerintahan, niat seseorang, khususnya pejabat publik, sering kali menjadi objek tafsir. Masyarakat kerap terburu menilai sebelum tindakan nyata dilakukan.
Padahal dalam kerangka etika, sosiologi, maupun hukum, niat adalah sesuatu yang belum patut dikenai penilaian final—apalagi vonis moral atau sosial.
Kita hidup dalam masyarakat yang semakin cepat bereaksi terhadap simbol, kata, dan gestur.
Dalam ekosistem digital hari ini, belum sempat kebijakan dilahirkan, niat dan rencana pun sudah jadi bahan debat dan kecurigaan.
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran, sebab ia menggeser esensi kritik: dari yang semula bertujuan untuk membenahi, menjadi alat untuk membatasi.
Perlu dipahami bahwa niat belum sama dengan tindakan. Dalam hukum, hal ini jelas. Sebagaimana disampaikan Prof. Mahfud MD, “Hukum tidak bekerja pada niat. Ia bekerja pada fakta dan tindakan.” Artinya, hukum tidak dapat mengadili sesuatu yang masih dalam tataran wacana atau kehendak yang belum diwujudkan. Prinsip ini seyogianya juga menjadi pedoman dalam etika publik.
Dalam konteks birokrasi, kita kerap mendapati situasi di mana pejabat baru mewarisi kebijakan atau keputusan bermasalah dari pejabat sebelumnya.
Ketika pejabat baru menunjukkan niat untuk memperbaiki, sering kali justru ia dihadapkan pada prasangka dan sinisme. Kritik hadir terlalu awal, bahkan sebelum tindakan diambil. Hal ini bukan hanya tidak produktif, tetapi juga berisiko menghambat proses perbaikan.
Sosiolog Dr. Imam Prasodjo menyatakan bahwa masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang mampu membedakan antara niat dan tindakan. Kritik terhadap tindakan nyata penting sebagai bentuk kontrol sosial. Namun dalam fase perencanaan, yang diperlukan adalah diskusi terbuka, partisipasi warga, dan ruang bagi niat baik untuk tumbuh menjadi kebijakan yang berkeadilan.
Tentu, bukan berarti publik harus diam atau pasif. Partisipasi kritis tetap penting. Namun, partisipasi yang dimaksud adalah yang konstruktif—memberi masukan, mengawal implementasi, dan memastikan setiap niat baik benar-benar dijalankan demi kepentingan publik. Kritik seyogianya menjadi bagian dari proses pembelajaran bersama, bukan instrumen untuk mematikan semangat perubahan.
Kita membutuhkan budaya dialog yang sehat. Sebuah budaya yang memungkinkan inisiatif tumbuh, tanpa harus dicurigai sejak dini. Dalam masyarakat yang demokratis dan majemuk, niat baik harus diberi ruang, bukan dijegal. Kita tidak ingin hidup dalam suasana sosial yang terlalu cepat menilai, terlalu mudah menghakimi.
Oleh karena itu, dalam menyikapi setiap niat, terutama dari pejabat publik yang ingin memperbaiki warisan kebijakan masa lalu, marilah kita bersikap jernih. Kawal dengan kritis, bukan curiga. Beri ruang untuk dialog, bukan cemoohan.
Dan yang paling penting, tumbuhkan kepercayaan bahwa perubahan hanya mungkin terjadi ketika niat baik diberi kesempatan untuk tumbuh menjadi tindakan nyata. []
Bagindo M. Ishak Fahmi, seniman/budayawan Sumatera Barat.
Penulis: Bagindo M. Ishak Fahmi
Editor: Muhammad Subhan