Ciloteh “Catuih Ambuih”: Kebudayaan, Kesenian, dan Kesadaran yang Tersisih
Kesulitan tidak selalu menjadi penghalang bagi kreativitas—justru bisa menjadi katalisator lahirnya gagasan besar.

Oleh Bagindo M. Ishak Fahmi
KETIKA kita berbicara tentang kebudayaan dan kesenian dalam lingkungan yang seharusnya menjadi pusat aktivitasnya, sering kali kita menemukan paradoks: hanya segelintir orang yang mau mendiskusikannya secara serius, sementara yang lain terjebak dalam siklus nyinyir dan pengulangan wacana lama.
Apakah ini pertanda bahwa kebudayaan dan kesenian tidak lagi relevan dalam percakapan sehari-hari? Ataukah ada faktor yang lebih dalam yang menyebabkan pergeseran ini?
Antara Wacana dan Realitas: Mengapa Orang Enggan Bicara Kebudayaan?
Dalam banyak grup diskusi, baik di dunia nyata maupun virtual, topik kebudayaan sering kali tidak berkembang. Ada dua kemungkinan utama: pertama, kesenjangan antara apa yang diucapkan dan apa yang dilakukan semakin melebar; kedua, semakin banyak orang yang lebih peduli dengan urusan ekonomi pribadi daripada memikirkan kebudayaan yang mereka anggap tidak memberi manfaat langsung bagi kehidupan sehari-hari.
Sosiolog Pierre Bourdieu dalam Distinction (1984) menjelaskan bahwa kebudayaan bukan hanya persoalan ekspresi seni, tetapi juga terkait dengan modal sosial dan ekonomi. Dalam masyarakat yang makin pragmatis, kebudayaan yang tidak memiliki nilai ekonomi instan cenderung terpinggirkan. Hal ini menciptakan dilema: di satu sisi, kebudayaan dan kesenian adalah ekspresi penting dari identitas dan peradaban, tetapi di sisi lain, tekanan hidup mendorong orang untuk fokus pada hal-hal yang lebih konkret seperti pekerjaan dan kebutuhan dasar.
Namun, sejarah membuktikan bahwa keterpurukan bukanlah penghalang bagi lahirnya karya besar. Chairil Anwar menulis sajak-sajaknya yang penuh perlawanan di tengah tekanan hidup yang luar biasa. Affandi melukis dengan ekspresi yang kuat dalam keadaan ekonomi yang sulit. Frida Kahlo menghasilkan karya monumental dalam kondisi fisik yang penuh penderitaan. Ini membuktikan bahwa kesulitan tidak selalu menjadi penghalang bagi kreativitas—justru bisa menjadi katalisator lahirnya gagasan besar.
Kesadaran yang Hilang dan Masyarakat yang Permisif
Lalu, apakah benar bahwa kita kehilangan kesadaran akan pentingnya membicarakan dan mengembangkan kebudayaan?
Ada kecenderungan bahwa masyarakat kita telah menjadi terlalu permisif terhadap hal-hal yang seharusnya dikritisi. Dalam dunia yang semakin kompetitif, kita diajarkan untuk bersaing, menjadi yang paling unggul, dan pada akhirnya melupakan semangat kebersamaan.
Dalam konteks ini, ada ungkapan pepatah Minang “manusuak kawan sairiang, mangguntiang dalam lipatan” menjadi sangat relevan—orang-orang yang tampaknya berkawan justru diam-diam saling menjatuhkan. Fenomena ini juga dapat dikaitkan dengan konsep Narcissistic Personality Disorder (NPD), yaitu gangguan kepribadian narsistik yang ditandai dengan keinginan berlebihan untuk diakui, kurangnya empati, dan kecenderungan untuk memanfaatkan orang lain demi kepentingan pribadi.
Gejala NPD dalam komunitas kebudayaan bisa terlihat dalam bentuk ambisi yang berlebihan, sikap eksklusif, dan kecenderungan untuk mendominasi wacana tanpa benar-benar berkontribusi dalam membangun ekosistem seni dan budaya yang sehat. Orang lebih sibuk membangun citra diri daripada menciptakan karya atau gerakan nyata yang bisa membawa perubahan.
Apakah Ini Hanya Prasangka atau Dialog Imajiner?
Mungkin ada yang beranggapan bahwa semua ini hanyalah prasangka atau sekadar refleksi imajiner. Namun, jika kita melihat fenomena ini secara lebih luas, jelas ada pola yang semakin mengakar dalam cara kita berinteraksi sebagai komunitas budaya. Sikap permisif, ketidakpedulian, dan pragmatisme berlebihan telah mengikis nilai-nilai solidaritas dalam dunia seni dan budaya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Soedjatmoko: “Kebudayaan bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi hasil dari pergulatan manusia dengan keadaan zamannya.”
Jika kita terus membiarkan kebudayaan hanya menjadi bahan nostalgia atau sekadar diskusi di grup WhatsApp tanpa tindakan nyata, maka kita secara perlahan sedang menggali kubur bagi identitas kita sendiri.
Membangun Kesadaran Kolektif untuk Bangkit
Dalam kondisi keterpurukan, kebudayaan dan kesenian seharusnya menjadi alat untuk membangun kesadaran kolektif. Antonio Gramsci dalam konsep hegemoni kultural menjelaskan bahwa kebudayaan bisa menjadi alat untuk melawan sistem yang menindas, bukan sekadar pelarian dari realitas.
Oleh karena itu, kita harus kembali menumbuhkan semangat kebersamaan dalam dunia seni dan budaya. Tidak cukup hanya berbicara, tidak cukup hanya saling mengkritik, tetapi harus ada tindakan nyata: menciptakan ruang ekspresi baru, membangun ekosistem yang mendukung seniman muda, dan mengembalikan kebudayaan sebagai bagian dari perjuangan sosial.
Seperti yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah.”
Dalam konteks ini, “menulis” bisa diartikan lebih luas sebagai tindakan nyata dalam dunia kebudayaan. Jika kita terus diam dan membiarkan perpecahan, pragmatisme, serta individualisme menggerus dunia seni dan budaya, maka kita sedang berjalan menuju kepunahan peradaban kita sendiri.
Hari ini, kita dihadapkan pada pilihan: tetap terjebak dalam siklus saling mencurigai dan nyinyir, atau mulai membangun kembali semangat kebersamaan. Kita tidak bisa berharap ada pihak luar yang akan menyelamatkan dunia seni dan budaya—kitalah yang harus melakukannya.
Jika kita gagal menyadari urgensi ini, maka kebudayaan dan kesenian akan benar-benar menjadi sekadar percakapan kosong di kedai kopi dan grup WhatsApp. Namun, jika kita bisa mengubah kesadaran ini menjadi gerakan nyata, maka kebudayaan dan kesenian akan kembali menjadi cahaya yang membimbing kita keluar dari keterpurukan. []
Bagindo M. Ishak Fahmi, seniman/budayawan Sumatera Barat.
Penulis: Bagindo M. Ishak Fahmi
Editor: Muhammad Subhan