Ciloteh “Catuih Ambuih”: Ideologi Pemikiran Minangkabau Sebagai Lentera Budaya Masa Depan
Generasi muda Minang perlu menghidupkan kembali nilai-nilai adat dalam konteks kekinian agar identitas budaya tidak hilang di tengah arus zaman.

Oleh Bagindo M. Ishak Fahmi
DI BALIK gemuruh zaman dan keriuhan dunia modern yang menciptakan bayang-bayang kehilangan identitas, ada sebuah warisan pikiran yang menolak mati—ia tumbuh dari lembah dan ngarai, dari ranting kayu hingga angin yang bersiul lirih di celah-celah bukit Barisan. Warisan itu adalah ideologi Minangkabau, bukan sekadar adat atau warisan leluhur, melainkan perangkat kultural yang menyusun cara berpikir, merasa, dan menjadi—hingga hari ini dan untuk masa depan.
Minangkabau bukan hanya bangsa yang menata rumah gadang, tetapi juga masyarakat yang membangun rumah ide. Dalam rumah itu, hidup semangat egalitarianisme yang bukan hanya cita-cita, tapi kenyataan yang telah lama dijalani. Dalam setiap barundiang, tak ada yang lebih tinggi suara. Dalam setiap musyawarah, yang tua menjadi penuntun, yang muda menjadi pemilik masa depan. Sejak awal, orang Minang sudah memahami: “duduak samo randah, tagak samo tinggi.”
Menurut Dr. Mestika Zed, pemikir budaya Minang, sistem sosial Minangkabau sudah sejak lama menerapkan pola deliberatif yang egaliter dan kolektif. Demokrasi yang kini dielu-elukan dunia luar telah menjadi bagian tak terpisahkan dari surau, dari lapau, dari bale-bale di tengah ladang. Bukan karena doktrin, tapi karena kebutuhan jiwa yang sadar bahwa manusia tidak hidup sendiri, dan suara siapa pun pantas didengar.
Namun, bagaimana menyampaikan ini kepada generasi muda, yang kini lebih akrab dengan algoritma daripada petuah? Jawabannya terletak dalam pemahaman literasi yang lebih luas—bukan sekadar mambaco nan tasurek (membaca yang tertulis), tetapi juga mambaco nan tasirek (membaca yang tersirat), bahkan mambaco nan tasuruak (membaca yang tersembunyi). Inilah bentuk literasi kultural yang menghidupkan kembali cara berpikir yang tajam namun halus, kritis namun berakar pada rasa.
Alam pun dijadikan guru. Sejak kecil anak-anak Minang diajarkan: “Cewang di langik tando ka paneh, gabak di ulu tando ka hujan.”
Kebijaksanaan bukan datang dari sekolah tinggi semata, tapi dari kesanggupan membaca tanda, memahami perubahan, dan hidup selaras dengan siklus semesta.
Maka tak heran jika dalam falsafah Minang, “alam takambang jadi guru” bukan hanya metafora, tapi metodologi belajar. Alam menjadi kitab, kehidupan menjadi lembarannya.
Ideologi Minang juga tidak dibangun oleh simbol kosong. Ia dirawat oleh prinsip moral dan aturan hidup yang membumi, seperti: “Bajanjang naiak, batanggo turun.” Tidak sekedar sebuah makna hirarki juga ada makna tersirat.
Kalimat ini bukan soal fisik menaiki tangga rumah gadang, tetapi pelajaran halus tentang kesopanan, tata krama, dan etika sosial. Bahwa yang muda harus tahu diri, yang tua harus membimbing dengan kasih.
Ada pula adagium kuat: “Barundiang samo pandai, baretong sampai sudah, mangaruak sahabih saruang.”
Ini adalah ajaran bahwa tujuan dari bicara bukan untuk menang, tetapi untuk sampai. Untuk selesai, bukan sekadar ramai. Di tengah maraknya debat kusir zaman kini, adab dalam berdialog menjadi oase dari budaya yang semakin gersang akal dan rasa.
Dan akhirnya, semua kembali pada sistem nilai yang menjunjung kebenaran dan rasa keadilan, seperti:
“Nan adaik laku, nan laku tabali tajua, nan tabali tajua lamak dek awak, katuju dek urang, bana di ateh nyo.”
Inilah tonggak integritas sosial yang memadukan nilai personal dan konsensus publik. Sesuatu dikatakan benar, bukan hanya karena menguntungkan pribadi, tapi karena juga “katuju dek urang.” Sebuah harmoni antara aku dan kami.
Untuk itu, generasi muda Minangkabau hari ini tak hanya ditantang untuk mengenang nilai-nilai tersebut, tetapi untuk menghidupkannya kembali dalam konteks kekinian. Mereka adalah generasi yang tak boleh tercerabut dari akar. Generasi yang berteknologi, tapi juga berbudaya. Yang bisa menyuarakan keadilan dengan bahasa digital, tapi juga menanamkan keadaban dengan nilai adat.
Sebab jika tidak, ideologi itu akan jadi pusaka mati. Dan kita akan kehilangan apa yang paling kita miliki: akal nan tajam, hati nan lapang, lidah nan bersih, dan mata yang bisa membaca alam.
Seperti kata Nusyirwan Effendi, tokoh antropologi Minang: “Minangkabau bukan soal kemegahan rumah gadang atau syair petatah-petitih, tetapi tentang kemampuan untuk hidup bermufakat, berpikir adil, dan merasakan getar jiwa dalam tiap keputusan bersama.”
Di masa depan, ketika dunia semakin bising oleh perintah mesin, ideologi pemikiran Minangkabau bisa menjadi lentera yang membimbing jalan. Bukan untuk mundur ke masa lalu, tetapi untuk berjalan ke depan—dengan bekal akal, adat, dan alam. Maka mari rawat modal kultural ini, agar generasi Minang tak sekadar menjadi pewaris tanah, tapi juga penjaga nilai, penggerak pemikiran, dan penafsir baru kebijaksanaan lama. []
Bagindo M. Ishak Fahmi, seniman/budayawan Sumatra Barat.
Penulis: Bagindo M. Ishak Fahmi
Editor: Muhammad Subhan