Ciloteh “Catuih Ambuih”: Final Extraction, Korupsi Sistemik, Kehancuran yang Dirancang, dan Jalan Menuju Kemandirian

Menghadapi fase final extraction, masyarakat tidak boleh hanya mengandalkan negara, tetapi harus membangun sistem ekonomi yang lebih mandiri dan tidak bergantung pada elite penguasa.

Oleh Bagindo M. Ishak Fahmi

KORUPSI, dalam banyak kasus, tidak lagi sekadar penyimpangan moral atau kejahatan individu, melainkan telah menjelma menjadi mekanisme operasional dalam struktur negara. Ini bukan hanya sekadar praktik ilegal, tetapi menjadi bagian dari desain kekuasaan yang memastikan sumber daya terus mengalir ke segelintir elite, sementara masyarakat dibiarkan dalam kondisi yang semakin rentan. Fenomena ini merupakan bagian dari fase yang bisa disebut sebagai “final extraction“, yaitu tahap terakhir dari eksploitasi sistemik, di mana mereka yang berada di puncak kekuasaan menguras habis sumber daya negara dan masyarakat hingga kering, sebelum akhirnya meninggalkan reruntuhannya.

Konsep Final Extraction

Secara konseptual, istilah final extraction merujuk pada tahap akhir dalam model ekonomi ekstraktif, di mana sumber daya—baik itu kekayaan alam, tenaga kerja, atau modal sosial—dieksploitasi secara maksimal tanpa ada niat untuk melakukan investasi jangka panjang. Ini berkaitan erat dengan teori accumulation by dispossession (akumulasi melalui perampasan) dari David Harvey, yang menjelaskan bagaimana sistem kapitalisme global menghisap kekayaan dari kelompok yang lebih lemah melalui utang, privatisasi, dan deregulasi ekonomi.

Pemikir seperti Joseph Tainter dalam The Collapse of Complex Societies menyebutkan bahwa setiap peradaban yang mencapai titik kompleksitas yang berlebihan akan mengalami fase penurunan drastis, di mana biaya mempertahankan sistem yang korup menjadi lebih besar daripada manfaatnya. Ketika titik ini tercapai, para elite yang selama ini mengendalikan negara mulai mempersiapkan diri untuk keluar, meninggalkan masyarakat dalam kehancuran akibat kebijakan yang mereka buat sendiri.

Dalam analogi yang lebih sederhana, ini seperti “binatang penghisap darah yang telah menghisap sampai kering darah buruannya.” Korupsi yang berlangsung secara sistemik bukan hanya sekadar kejahatan individu, tetapi merupakan pola terstruktur yang sengaja dibuat agar negara dan rakyat menjadi sumber daya yang terus dieksploitasi hingga habis.

Bagaimana Masyarakat Keluar dari Skenario Kehancuran?

Pertanyaannya bukan lagi mengapa korupsi merajalela, tetapi bagaimana masyarakat bisa bertahan dan keluar dari skenario ini? Respons yang harus diambil bukanlah sekadar perlawanan reaktif terhadap sistem yang sudah runtuh dari dalam, melainkan membangun kemandirian dan desentralisasi ekonomi sebagai alternatif yang bisa bertahan di tengah ketidakstabilan geopolitik global.

  1. Filosofi Minangkabau: “Alam Takambang Jadi Guru” dan “Cewang di Langik, Tando ka Paneh

Orang Minangkabau memiliki ungkapan bijak:

“Alam takambang jadi guru”; Alam adalah guru yang paling baik. Artinya, manusia harus belajar dari fenomena alam dan tanda-tanda yang terjadi di sekelilingnya untuk bertahan dan berkembang.

Cewang di langik tando ka paneh, gabak di ulu tando ka hujan” ;Jika langit tampak cerah di kejauhan, itu pertanda panas akan datang; jika awan menggumpal di hulu, hujan akan turun.

Dua ungkapan ini mengajarkan bahwa setiap gejala dalam kehidupan memiliki tanda-tanda awal yang bisa dibaca. Seperti alam yang memberikan petunjuk akan datangnya perubahan cuaca, kita juga harus membaca tanda-tanda kehancuran sistem dan mempersiapkan diri agar tidak menjadi korban.

  1. Kemandirian Ekonomi dan Desentralisasi Kekuasaan

Menghadapi fase final extraction, masyarakat tidak boleh hanya mengandalkan negara, tetapi harus membangun sistem ekonomi yang lebih mandiri dan tidak bergantung pada elite penguasa.

Pendekatan ini sejalan dengan pemikiran E. F. Schumacher dalam Small is Beautiful, yang menekankan bahwa ekonomi yang sehat harus berbasis pada unit kecil dan komunitas lokal, bukan dikendalikan oleh korporasi besar atau pemerintah yang korup. Masyarakat harus mengambil kendali atas sumber daya mereka sendiri, baik dalam sektor pangan, energi, maupun keuangan.

Langkah-langkah yang bisa diambil:

Membangun ekonomi berbasis komunitas, seperti koperasi dan sistem barter yang mengurangi ketergantungan pada perbankan konvensional yang sering kali menjadi alat eksploitasi.

Menggunakan teknologi desentralisasi, seperti blockchain, untuk menciptakan sistem ekonomi alternatif yang lebih transparan dan sulit dimanipulasi.

Mengembangkan ketahanan pangan berbasis pertanian lokal, agar masyarakat tidak bergantung pada impor yang dikendalikan oleh segelintir elite global.

  1. Hukum sebagai Alat Perlawanan terhadap Oligarki

Di bidang hukum, pemikiran “Hans Kelsen ” menyatakan bahwa keabsahan hukum tidak hanya berasal dari negara, tetapi juga dari penerimaan sosial. Jika suatu sistem hukum sudah tidak lagi berpihak pada keadilan, masyarakat berhak menolaknya dan membangun sistem hukum alternatif yang lebih adil.

Di Indonesia, pemikir hukum seperti “Satjipto Rahardjo” menekankan bahwa hukum tidak boleh hanya menjadi alat bagi negara untuk mengontrol masyarakat, tetapi harus menjadi alat bagi masyarakat untuk menegakkan keadilan. Dalam konteks ini, masyarakat harus mulai berpikir tentang bagaimana mengembangkan sistem hukum berbasis komunitas yang lebih dekat dengan realitas sosial, bukan hanya bergantung pada sistem peradilan yang sudah terkooptasi oleh kekuasaan.

Sejalan dengan itu, pemikir seperti “Noam Chomsky” mengingatkan bahwa salah satu cara paling efektif bagi elite untuk mempertahankan kekuasaan adalah dengan membatasi spektrum opini yang diperbolehkan, tetapi membiarkan debat sengit dalam batas yang telah mereka tentukan. Ini berarti masyarakat harus menyadari bahwa perdebatan tentang korupsi dan kebijakan yang dibuat dalam sistem yang sama hanya akan menjadi lingkaran setan.

Bukan Sekadar Melawan, Tetapi Membangun

Perlawanan terhadap ketidakadilan dan korupsi tetap harus disuarakan, tetapi itu tidak cukup. Kita harus membangun sistem baru yang lebih mandiri, lebih desentralistis, dan lebih tahan terhadap manipulasi oligarki.

Seperti yang dikatakan “Antonio Gramsci “, “The old world is dying, and the new world struggles to be born: now is the time of monsters.” Dunia lama yang dikendalikan oleh elite korup sedang menuju kehancuran, tetapi dunia baru belum lahir. Di masa transisi ini, kita harus waspada dan bersiap membangun tatanan baru yang tidak lagi tunduk pada mekanisme ekstraktif yang menghancurkan rakyat.

Masyarakat harus belajar dari filosofi Minang:

Jangan menyangkal tanda-tanda kehancuran, tetapi gunakan sebagai peringatan untuk bertindak.

Jangan hanya berfokus pada kritik terhadap sistem yang sudah gagal, tetapi mulai membangun alternatif yang lebih berkelanjutan.

Seperti ungkapan “Noam Chomsky”:

Optimism is a strategy for making a better future. Because unless you believe that the future can be better, it is unlikely you will step up and take responsibility for making it so.”

(“Optimisme adalah strategi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Sebab, jika kita tidak percaya bahwa masa depan bisa diperbaiki, maka kecil kemungkinan kita akan bangkit dan mengambil tanggung jawab untuk mewujudkannya.”)

Korupsi yang sistemik bukan hanya masalah yang bisa diselesaikan dengan reformasi dari dalam, tetapi membutuhkan kesadaran kolektif untuk menciptakan sistem baru yang lebih adil dan mandiri. []

Bagindo M. Ishak Fahmi, seniman/budayawan Sumatera Barat.

Penulis: Bagindo M. Ishak Fahmi

Editor: Muhammad Subhan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan