Ciloteh “Catuih Ambuih”: Bahasa Umpatan, Ekspresi Sosial dan Cerminan Budaya
Kebudayaan dan pendidikan berperan penting dalam menekan normalisasi bahasa umpatan di masyarakat.

Oleh Bagindo M. Ishak Fahmi
BAHASA selalu berkembang seiring dengan perubahan sosial, budaya, dan politik suatu bangsa. Dalam sejarah linguistik urban di Indonesia, terdapat istilah “bahasa prokem” yang berkembang di komunitas tertentu sebagai bentuk identitas dan solidaritas kelompok. Namun, belakangan ini, penggunaan bahasa kasar dan umpatan tidak lagi terbatas pada lingkungan komunitas tertentu, melainkan semakin meluas, terutama di media sosial dan ruang publik.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendalam: Apakah penggunaan bahasa umpatan dipengaruhi oleh situasi politik, ketidakadilan hukum, serta kondisi sosial yang penuh korupsi dan kesenjangan? Apakah bahasa merupakan cerminan keberadaban suatu bangsa? Dan apakah kebudayaan masih efektif dalam menekan normalisasi pola komunikasi yang penuh dengan umpatan?
Sejarah “Bahasa Prokem”
Istilah “prokem” berasal dari bahasa “preman” yang mengalami perubahan fonetis khas dalam pembentukan bahasa gaul. Bahasa prokem awalnya digunakan oleh komunitas tertentu seperti kelompok anak muda, pelaku kriminal kecil, dan lingkungan jalanan sebagai bahasa rahasia atau identitas kelompok.
Menurut Dr. James T. Collins, seorang ahli linguistik, bahasa prokem sering kali mengalami perubahan morfologi, seperti sisipan vokal atau pembalikan suku kata. Contohnya:
“Bokap” (ayah) → berasal dari kata “bapak”
“Nyokap” (ibu) → berasal dari kata “emak”
“Joker” (polisi) → istilah dalam dunia kriminal
Bahasa prokem mengalami pergeseran dari sekadar bahasa komunitas menjadi bagian dari bahasa gaul yang lebih luas. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, bahasa kasar dan umpatan semakin mendapat tempat dalam komunikasi sehari-hari, terutama karena dinamika sosial-politik yang berkembang.
Bahasa Umpatan sebagai Cerminan Ketidakadilan Sosial dan Politik
Menurut Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Prancis, bahasa adalah bagian dari kapital simbolik yang digunakan untuk menyuarakan kekuasaan maupun perlawanan. Ketika masyarakat menghadapi ketidakadilan—baik dalam sistem hukum, ekonomi, maupun politik—mereka cenderung mencari ekspresi verbal yang lebih lugas, termasuk melalui umpatan.
Beberapa faktor utama yang mendorong meningkatnya penggunaan bahasa kasar dalam komunikasi publik:
- Penegakan Hukum yang Tidak Berkeadilan
Ketika masyarakat melihat ketimpangan hukum, mereka sering kali melampiaskan rasa frustrasi melalui bahasa kasar.
Contoh di media sosial: “Negara anjng,” “sistem bangkrt,” “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.”
- Korupsi dan Kesenjangan Sosial
Dalam masyarakat yang penuh dengan korupsi dan kesenjangan ekonomi, penggunaan bahasa kasar menjadi bentuk kritik sosial.
Dr. Deborah Cameron, ahli linguistik dari University of Oxford, menyatakan bahwa dalam kondisi ketimpangan tinggi, bahasa kasar sering menjadi alat “resistensi verbal”.
Contoh ungkapan yang sering muncul di media sosial: “Orang miskin dilarang sakit,” “elite ngent*t rakyat,” “duit rakyat dimakan cukong.”
- Media Sosial dan Normalisasi Bahasa Kasar
Di era digital, selebgram, Youtuber, dan podcaster sering kali menggunakan bahasa kasar dalam kontennya.
Prof. Henry Jenkins, ahli budaya pop, menyebut fenomena ini sebagai “normalisasi ekspresi ekstrem”, di mana kata-kata kasar yang dulu tabu kini dianggap bagian dari komunikasi sehari-hari.
Contoh umpatan yang sering muncul dalam pergaulan anak muda akibat media sosial:
“Anjir” / “Anjay” ; Dari kata “anjing,” kini digunakan sebagai ekspresi kaget.
“Tai” / “Tahi” ; Digunakan dalam konteks kekesalan atau ejekan.
“Bangke” / “Bangsat” ; Sering muncul dalam candaan atau kejengkelan.
“Ngentod” / “Ngentot” ; Masih kasar tetapi banyak dipakai dalam ranah hiburan.
“Goblok” / “Tolol”; Kata kasar yang sering digunakan untuk menyindir seseorang.
“Ndasmu “/ kepalamu ; Kalimat ketidakpercayaan, candaan atau ejekan.
Beberapa tokoh media sosial yang turut mempopulerkan bahasa ini dalam podcast atau kontennya yang setiap saat dapat kita saksikan.
Bahasa sebagai Cerminan Keberadaban Bangsa
Bahasa bukan hanya alat komunikasi tetapi juga cerminan budaya dan moral suatu bangsa. Dr. John McWhorter, seorang ahli linguistik dari Columbia University, menegaskan bahwa bahasa yang digunakan dalam ruang publik mencerminkan kondisi sosial dan tingkat keberadaban masyarakatnya.
Dalam negara dengan kesejahteraan sosial yang lebih baik, pola komunikasi cenderung lebih santun. Beberapa negara yang menunjukkan hubungan antara keadilan sosial dan etika berbahasa yang lebih baik:
- Swedia & Norwegia ; Dengan tingkat kesejahteraan tinggi dan kesenjangan rendah, masyarakatnya lebih santun dalam komunikasi publik.
- Jepang ; Meskipun memiliki tekanan sosial yang tinggi, budaya berbahasanya tetap menjunjung tinggi kesopanan.
- Kanada ; Sistem hukum yang adil dan sosial yang harmonis membuat komunikasi publik lebih tertata.
Sebaliknya, negara dengan tingkat ketimpangan sosial tinggi seperti beberapa negara di Amerika Latin termasuk di negara kita hari ini berpotensi banyaknya penggunaan bahasa kasar dalam ruang publik sebagai bentuk ekspresi kemarahan terhadap sistem.
Apakah Kebudayaan Masih Efektif dalam Menekan Pola Komunikasi yang Penuh Umpatan?
Kebudayaan memiliki peran penting dalam membentuk etika berbahasa. Dr. Clifford Geertz, seorang antropolog budaya, berpendapat bahwa bahasa adalah produk budaya yang dapat dibentuk ulang oleh norma sosial.
Beberapa strategi budaya yang dapat digunakan untuk menekan normalisasi umpatan:
- Menguatkan Pendidikan Bahasa & Sastra
Mengajarkan pentingnya etika berbahasa sejak usia dini dapat membantu membentuk kebiasaan komunikasi yang lebih baik.
- Mempromosikan Konten Positif di Media
Pembuat konten dan tokoh publik memiliki peran dalam mempromosikan cara komunikasi yang lebih santun tanpa kehilangan daya tariknya.
- Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Berbahasa
Budaya tutur seperti pepatah dan peribahasa yang mengedepankan kesantunan dapat kembali diperkenalkan dalam komunikasi modern.
Meningkatnya penggunaan bahasa kasar dalam komunikasi publik tidak bisa dilepaskan dari faktor sosial, politik, dan ekonomi. Ketimpangan hukum, korupsi, dan kesenjangan sosial menciptakan pola komunikasi yang lebih agresif dan lugas.
Di negara dengan sistem hukum dan kesejahteraan yang lebih baik, masyarakat cenderung lebih santun dalam berbahasa. Namun, di era digital, media sosial turut mendorong normalisasi bahasa kasar sebagai bagian dari gaya komunikasi sehari-hari.
Kebudayaan masih memiliki potensi besar dalam menekan normalisasi pola komunikasi yang penuh umpatan, tetapi membutuhkan strategi yang lebih adaptif terhadap perkembangan zaman. Sejatinya, bahasa adalah cerminan peradaban kita, dan bagaimana kita berbicara mencerminkan kondisi sosial serta nilai yang kita junjung. []
Bagindo M. Ishak Fahmi, seniman/budayawan Sumatera Barat.
Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Bagindo M. Ishak Fahmi
Editor: Muhammad Subhan