Chairil Anwar “Anak Punk”?
Chairil Anwar adalah sosok penyair yang memberontak terhadap kemapanan melalui puisi-puisinya yang bebas dan penuh daya.

Oleh Ilhamdi Sulaiman
“Punk” adalah sebuah gerakan budaya, sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang mapan, otoritas, dan norma sosial yang dianggap menindas. “Punk” bukan sekadar sebuah kelompok masyarakat anti-kemapanan.
Awal lahirnya pergerakan atau kelompok ini terjadi di negara-negara Barat seperti Inggris dan Amerika Serikat pada tahun 1970-an. “Punk” masuk ke Indonesia pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. “Punk” lokal tidak hanya meniru gaya luar, tetapi sering membawa pesan sosial dalam musik, sastra, dan seni lainnya.
Chairil Anwar dan Karyanya
Dalam konteks sastra Indonesia, Chairil tampil sebagai sosok revolusioner. Ia muncul di masa peralihan antara zaman penjajahan dan kemerdekaan, ketika puisi-puisi masih banyak berkutat pada bentuk lama (pantun, syair). Chairil mengguncang dunia sastra dengan bentuk puisi bebas, bahasa yang lugas namun penuh daya, dan tema-tema personal yang eksistensial.
Meski begitu, beberapa sikap dan gaya Chairil—seperti melawan arus, ekspresi bebas, dan penolakan terhadap otoritas—memiliki semangat yang mirip dengan jiwa punk, yaitu anti-kemapanan. Secara historis, ia memang tidak bisa dikategorikan sebagai sastrawan beraliran “punk”, tetapi semangatnya sangat dekat dengan itu. Selain karyanya yang memberontak terhadap kemapanan, Chairil juga bergaya hidup layaknya anak “punk: nomadic” (hidup berpindah-pindah dan bebas).
Pemberontakan Chairil Anwar dalam puisinya terlihat jelas. Ia melepaskan diri dari bentuk puisi lama yang terikat rima dan irama. Puisinya bebas dan ekspresif:
“Kalau sampai waktuku
’Ku mau tak seorang ’kan merayu…”
Chairil juga menulis tentang kematian, cinta, penderitaan, bahkan Tuhan—tema-tema yang jarang disentuh secara pribadi saat itu. Dalam puisi “Doa” dan “Yang Terampas dan Yang Putus”, kita lihat kegelisahan dan pergulatan batin yang mendalam.
Chairil mencerminkan sikap anti-kemapanan dan individualisme:
“Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang…”
Ia hidup dan menulis seperti “akan mati besok.” Gairah hidup dan kesadaran akan kefanaan sangat kuat dalam puisinya. Seolah ia melawan keterbatasan hidup dengan kata-kata.
Dengan semua itu, bisa dikatakan bahwa Chairil Anwar adalah “punk” dalam semangat, meskipun bukan dalam aliran. Chairil bukan hanya seorang penyair. Ia adalah letupan semangat dalam sejarah sastra Indonesia. Dalam usia yang singkat—meninggal pada usia 27 tahun—ia membuka jalan bagi kebebasan berekspresi dalam sastra Indonesia modern. Pemberontakannya bukan dalam bentuk senjata; ia membongkar kebekuan rasa.
Lahir di masa kolonial dan hidup di masa pergolakan menuju kemerdekaan, Chairil menyerap kegelisahan zamannya, tetapi menulis dengan suara pribadi yang lantang. Ia tidak tunduk pada bentuk-bentuk lama puisi Melayu—pantun, syair, gurindam. Ia memilih bentuk bebas, irama liar, dan pemilihan kata yang tegas, bahkan kadang tajam. Dalam puisi “Aku”, yang menjadi semacam kredonya:
“Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang…”
Seperti tokoh-tokoh eksistensialis Barat, Chairil ingin hidup dengan caranya sendiri, memilih jalannya sendiri, meski itu berarti kesendirian, penolakan, bahkan kematian. Ia menolak sistem yang tak memberi ruang pada pergulatan batin manusia.
Namun, pemberontakan Chairil bukanlah kehampaan. Ia memberontak untuk menghidupkan kata, menjadikan puisi sebagai cermin kejujuran terdalam manusia. Ia menulis tentang cinta, sakit, kehilangan, dan Tuhan—semua dengan kegelisahan yang autentik. Dalam puisi “Doa”, Chairil memeluk sisi spiritualnya tanpa menjadi religius secara normatif. Ia berdialog dengan Tuhan sebagai manusia yang rapuh dan jujur:
“Di pintumu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling.”
Di sinilah letak pemberontakan sejatinya: Chairil berani membuka luka-luka jiwa manusia, menghadirkannya secara langsung tanpa topeng moral atau estetika palsu. Ia tak mencari penghiburan, tapi kejujuran. Dan dalam kejujuran itu, ia menjadi ikon penyair yang bebas.
Tujuh puluh enam tahun setelah kematiannya, Chairil tetap hidup sebagai suara yang menolak dibungkam. Semangatnya melampaui zamannya. Meskipun bukan bagian dari gerakan punk, semangat individualisme dan anti-kemapanannya menjadikan Chairil Anwar sebagai “punk” dalam dunia sastra. Ia tidak hanya melawan bentuk lama, tetapi juga menciptakan bentuk baru yang lebih manusiawi, lebih jujur, dan lebih hidup.
(Kutulis setelah ziarah makam, 28 April 2025.)
Ilhamdi Sulaiman, seniman.
Penulis: Ilhamdi Sulaiman
Editor: Muhammad Subhan