Chaidir Syam, Membaca-Menulis Jihad Aksara

Membaca dan merawat buku diibaratkan seperti menjaga emas agar peradaban terus berkilau.

Oleh Bachtiar Adnan Kusuma

SIAPA yang tidak merasa berbahagia di tengah HUT ke-66 Kabupaten Maros yang bertepatan pula dengan penetapan tanggal 5 Juli 2025 sebagai Hari Pustakawan Indonesia ke-52. Paling berbahagia lagi karena bertepatan dengan kedua momen penting ini, dua guru dan kepala sekolah SD di Maros menyerahkan karya bukunya bertajuk Cahaya dari Bukit Moncongloe karya Arni dan Erni dkk. Selain itu, buku karya Dr. K.H. Amirullah Amri, M.A., Pimpinan Pondok Pesantren Ilmul Yaqin, Tompobulu Maros Menyulam Benang Impian, Dari Pesantren Menuju Baitullah. Buku lainnya, 19 Hari Bersama BAK Cakap Menulis Buku resmi diterima Bupati Maros, Chaidir Syam, pada Rabu, 9 Juli 2025.

Penulis sangat berbahagia karena dari tiga buku yang dipersembahkan para penulisnya, diterima dengan gembira, bahagia, dan diberi apresiasi tinggi oleh Chaidir Syam, Sang Bupati Maros. Jujur, tidak semua tokoh maupun pejabat publik memperlakukan buku seperti emas. Buku ibarat emas: semakin dibaca, semakin dibuka dari lembar demi lembar, maka ia semakin mengkilap. Semakin disepuh, semakin menunjukkan warna emasnya. Demikian pula buku, semakin dibaca semakin menunjukkan manfaatnya kepada pembacanya.

Sebagai penggerak, motivator, dan penulis, penulis mengungkapkan rasa bahagia karena setiap memberi buku-buku baru kepada Bupati Maros, Chaidir Syam, ia selalu memperlakukan buku seperti emas. Caranya, dengan membuka, memperhatikan, membaca dari halaman ke halaman, menunjukkan kalau ia tokoh yang memiliki empati terhadap tumbuhnya karya tulis di Indonesia.

Benarkah buku seperti emas yang selalu disepuh agar berkilau dan indah? Penting, seorang pembaca menjaga dan merawat bukunya agar ia selalu mengambil manfaat dari buku-bukunya. Karena hanya dengan buku yang terawat dan terpelihara dapat mendorong jiwa manusia untuk membacanya. Benarlah kata Chaidir Syam, dengan buku kita bisa menguasai dunia.

Para ulama sangat memperhatikan buku-bukunya. Sebagian dari mereka berkata, “Jangan kamu menjadikan bukumu seperti batu bata atau janganlah kamu menumpukkan bukumu seperti batu bata. Dan janganlah meletakkan segala sesuatu di dalamnya sehingga seperti kotak karena dua tindakan itu dapat mempercepat rusaknya buku.”

Demikian pentingnya buku, ada orang bijak bertemu dengan seorang lelaki yang duduk di atas buku, maka dia berkata, “Subhanallah, dia menjaga bajunya, tapi tidak menjaga bukunya.” Padahal menjaga buku lebih utama daripada menjaga baju. Hanya dengan buku yang dirawat, dipelihara, dan dibaca secara terus-menerus, ibarat emas yang selalu berkilau sepanjang masa. Maka bacalah buku.

Benarlah membaca adalah jihad aksara. Hanya dengan peradaban yang baik bisa menjadi soko guru peradaban dunia karena beralas pada tradisi membaca masyarakatnya. Islam berjaya dari tahun 600–1.200 Masehi karena masa keemasan ilmu dan buku. Para ulamanya adalah kutu buku.

Baginya, membaca adalah jihad dengan aksara. Hasilnya, Islam menjadi soko guru peradaban. Karena itu, Chaidir Syam, buku, dan penulisnya, ia telah memberikan tempat dan alas yang mulia dengan menghargai dan memberi apresiasi tinggi atas buku-buku yang ditulis dan dipersembahkan untuk aksara dan peradaban. Terima kasih Chaidir Syam, terima kasih Gurutta K.H. Amirullah Amri, terima kasih Ibu Guru Arni, Erni, dan kawan-kawan, telah membuka jalan menuju jihad untuk aksara Indonesia. []

Bachtiar Adnan Kusuma, Penulis, Pembicara, Motivator, dan penerima penghargaan tertinggi Nugra Jasa Dharma Pustaloka Perpusnas RI.

Penulis: Bachtiar Adnan Kusuma

Editor: Muhammad Subhan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan