Oleh Gandazon H. Turnip
Di kedai kopi tempat biasa Binsar melepaskan penatnya setelah pulang bekerja seharian dari kantor, ia bertemu dengan tiga orang anak muda yang kalau ditaksir-taksir umur mereka masih sekitar dua puluh tahunan.
Ketiga pemuda itu berjalan dengan gagah menuju meja Binsar yang masih kosong karena hanya Binsar yang duduk di meja itu, sementara kursinya masih tersisa lima lagi.
“Permisi, numpang duduk, ya, Tulang,” ujar salah seorang pemuda sambil melempar senyum kepada Binsar.
“Silakan, Bere,” balas Binsar sambil menggeser bangku tempat dia duduk.
Ketiga pemuda tadi memperkenalkan diri kepada Binsar. Pemuda yang pertama bernama Doton, lalu pemuda kedua bernama Simbok, dan pemuda ketiga bernama Oloan. Binsar bersama ketiga pemuda tadi tampak akrab berbincang satu sama lain, saling berbagi tawa walau baru bertemu.
Sementara, suara dari dalam kedai terdengar sangat lantang “Apa dibuat untuk kalian bertiga, Anak Muda?” tanya Pak Togar sambil memasak air di dalam dandang.
“Biasa, Tulang. Teh-susu satu dan kopi-susu dua.” Oloan menyahuti Pak Togar dengan lugas.
“Silakan, ditunggu, ya.” kata Pak Togar menyambut jawaban Oloan.
Kemudian Oloan memulai pembicaraan di antara mereka berempat dengan terlebih dahulu mengatur tenggorokannya yang sudah kehabisan pelumas akibat teriknya matahari.
“Gila kali aku melihat Timnas sekarang ini, bah. Gak habis pikir aku dengan komposisi pemainnya, rata-rata semua pemain keturunan. Macam dukung Belanda ceritanya kalo gini.” Oloan berucap dengan nada tegas dan yakin, pun sedikit tampak kesal.
Sementara Doton dan Simbok seperti kebingungan mendengar kekesalan dari Oloan dengan saling menatap dan mengernyitkan dahi.
Binsar yang sedari tadi memegang ponselnya tiba-tiba terjun menimpali perkataan dari Oloan.
“Jangan gitu, Bere, biar gimanapun mereka itu tetap warga negara Indonesia. Kebetulan aja mereka lahir di luar negeri, tapi mereka tetap memiliki darah Indonesia, ‘ntah itu dari ayah atau ibunya, pun juga dari kakek neneknya,” ujar Binsar dengan penuh keyakinan melebihi keyakinan dari Oloan.
“Tapi, Tulang, apalah guna dan fungsi pemain lokal kita yang sudah berjuang dengan gigih di liga sampai-sampai mereka juga yang berjuang untuk meloloskan kita ke round 3 piala dunia ini. Tapi giliran sudah di round 3 ini malah semua pemain keturunan yang main. Kurang fair rasanya gitu, Tulang. Banyak pemain kita yang tampil hebat di liga dan di Timnas, masa mereka tega melihat mereka jadi cadangan mati, Tulang.” Oloan menambahkan keyakinannya kali ini dan semakin tampak kesal karena tidak mendapat dukungan dari Binsar.
“Betul itu, Tulang. Kurasa pun karena gak terpakenya mereka di luar sana makanya diterima orang itu tawaran membela Timnas kita. Kalo aku, Tulang, gak bangga juga nanti aku walaupun Indonesia masuk piala dunia karena semuanya pemain luar dan hanya sedikit yang lahir di Indonesia ini.” Doton kali ini sepakat dengan apa yang diutarakan oleh Oloan, walau mereka seringkali tampak berseberangan ide tentang hal apa pun itu. Baik tentang selera humor, makanan, sampai pakaian, dan tim kesukaan. Namun, kali ini mereka tampak kompak dan bersahabat.
Simbok yang tidak mau ketinggalan pembahasan menarik ini ikut juga memberikan suaranya yang sangat berharga itu.
“Tapi, aku setuju dengan Tulang Binsar. Mereka itu tetap warga negara Indonesia. Walau sudah lahir dan besar di negeri orang, tapi mereka juga berhak membela tanah kelahiran leluhurnya. Mereka sudah berjuang dengan sepenuh hati di dalam lapangan dan jika kita mengandalkan pemain lokal semua, aku yakin Timnas kita sudah menjadi bulan-bulanan di round ke-3 ini.” Tambah Simbok dengan penuh ketegasan dan mata berapi-api tecermin dari sorot matanya yang sangat tajam.
“Aku akan sangat bangga nantinya kalo Indonesia bisa bermain di Piala Dunia 2026, pun aku masih berharap akan ada pemain keturunan baru lagi dengan kualitas jempolan yang mau bermain untuk Indonesia,” tutup Simbok dengan lugas dan tegas tergambar juga dari serak suaranya yang berat namun kokoh.
“Ayo diminum dulu pesanannya,” ujar Pak Togar memecah suasana yang hangat di meja yang panas, bukan hanya pembahasan yang panas, tapi cuacanya juga.
Dan Pak Togar sedari tadi mengikuti percakapan hebat mereka.
“Kalo aku, sih, yes dengan komposisi dan skuad Timnas saat ini, karena selama hidupku mendukung Timnas, baru kali ini aku memiliki harapan menang saat bertemu Jepang, Korea Selatan, Australia maupun Arab. Masa-masa sebelumnya udahlah tahu sama tahu, lah, kita. Lawan Thailand atau Malaysia aja kita udah kewalahan setengah mampus,” ujar Pak Togar sambil meletakkan semua pesanan tadi, lalu menarik kursi untuk ikut nimbrung di dalam percakapan hangat itu diselingi suara tawa kecilnya.
Binsar berasa bersemangat karena memiliki dua teman yang setuju Timnas saat ini tidak perlu dipermasalahkan, yang penting kita dukung bersama untuk bisa bersaing masuk ke Piala Dunia 2026.
“Harapan kita ke depannya dengan banyaknya pemain keturunan yang bergabung, para pemain lokal juga bisa semakin sadar diri dan meningkatkan kualitasnya. Kita juga jangan terus mengeluh gimana nanti nasib pemain lokal, sementara mereka aja gak ada effort untuk berjuang lebih baik. Kita juga memiliki contoh dalam diri Rizky Ridho, Marselino, dan Kambuaya. Para pemain lokal yang masih bisa bersaing dan menampilkan permainan terbaik ketika diberikan kesempatan.”
“Seperti hidup juga, ya itu. Kita harus mampu memperbaiki diri kita setiap hari, saat ada orang lain yang lebih hebat dari kita, serap ilmunya dan jadikan dia sebagai pemicu semangat kita untuk berbuat lebih baik lagi di setiap harinya,” tambah Binsar dengan penuh kebijakan.
“Iya, betul itu, Lek,” timpal Simbok kepada Oloan dan Doton sambil menepuk Pundak Oloan.
“Kita harus bangga kalo Indonesia nanti bisa tampil di Piala Dunia 2026 dan ini akan menjadi sejarah dan bisa kita ceritakan kelak kepada generasi setelah kita, Lek. Betul, kan, Tulang?” tambah Simbok dengan penuh semangat yang membara sembari menyeruput kopi susu yang terhidang di depannya.
“Iya, Bere-bereku, yang dibutuhkan para pemain Timnas kita sekarang adalah dukungan, bukan cacian supaya mereka bisa fokus dan semangat membawa Garuda terbang lebih tinggi lagi dan semoga tampil di Piala Dunia 2026,” kata Binsar dengan penuh keyakinan dan nada yang penuh cinta.
“Iya, betul sekali itu,” tambah Pak Togar dengan senyuman disambut gelak tawa mereka berlima pertanda mereka berlima sepakat untuk mendukung Timnas dengan sepenuh hati tanpa membeda-bedakan status para pemain.
Dan suasana di meja sore itu semakin hangat karena Indonesia masih memiliki peluang lolos ke Piala Dunia 2026, walau sedikit terjal. []
Gandazon H. Turnip. Berasal dari Simalungun. Beberapa puisi dan cerpennya tersebar di majalah elipsis, majalah Etnozon dan Sastra Mikro Indonesia. Ia juga menulis artikel di kolom Kumparan.com.
Gambar ilustrasi diolah oleh tim redaksi Majalahelipsis.id menggunakan AI Bing Image Creator.
Ikuti tulisan-tulisan Majalahelipsis.id di media sosial Facebook dan Instagram. Dapatkan juga produk-produk yang diproduksi Sekolah Menulis elipsis seperti hoodie, kaus, atau buku. Khusus pelajar, mahasiswa, dan kalangan umum berstatus pemula yang berminat belajar menulis kreatif dapat mengikuti kelas di Sekolah Menulis elipsis. Hubungi Admin di nomor WhatsApp 0856-3029-582.
Penulis: Gandazon H. Turnip
Editor: Neneng JK