Oleh A. Warits Rovi

TIBA-TIBA sekujur tubuhku ditumbuhi bulu lagi. Mulutku berubah paruh yang meruncing dengan warna cokelat mengilat. Pada kedua lenganku, bulu yang lebih kasar terlihat seperti baris pedang bersisi rapi dan ketika kukatupkan persis menyentuh pantatku yang dihiasi bulu panjang menyentuh tanah yang orang-orang sebut ekor. Saat seperti itu, tiba-tiba tubuhku bertambah kecil hingga seukuran anak ayam berumur satu bulan. Tak beda dengan unggas lain, saat-saat seperti itu aku butuh suhu yang agak tinggi, aku butuh kehangatan, butuh pelukan, butuh dirimu. Tapi apalah daya kini aku hanyalah burung. Pada saat sempurna jadi manusia saja kau jarang memelukku, apalagi ketika menjadi burung. Mungkin kau tak mengenaliku lagi atau sengaja pura-pura tidak kenal.

Sejatinya kau tahu tentang penyakit aneh yang biasa menimpa diriku. Jauh sebelum kita menjalin cinta, di bawah atap senja ketika batang ilalang ligih bergetar mendekap betis. Di antara lagu sunyi Bukit Raas, aku bercerita kepadamu. Kau begitu membuka jiwa terdalammu mendengar segala yang kuceritakan, hingga di akhir perjumpaan kau memelukku, membelai rambutku sambil berkata, “Nay! jika kau punya penyakit aneh seperti itu, aku berjanji untuk tidak menyakiti hatimu. Sebab aku tidak mau bila kau sakit hati, tiba-tiba tubuhmu berubah menjadi burung, karena aku tidak mau bibirmu yang manis ini berubah paruh seperti beberapa waktu lalu, ketika kau menjalin cinta dengan Wildan, aku tidak mau kau ditangkap pemburu dan dijual ke pasar, aku ingin hanya akulah pemburumu,” ucapmu padaku diselingi tawa mesra sembari kaukecup keningku tiga kali.

Merentang waktu dua tahun dari peristiwa itu, kini kausakiti hatiku, kaubiarkan aku menjadi burung lagi. Setiap waktu aku terbang melesat, menukik, dan melayang di udara. Memecah arah angin. Hinggap di ranting. Menyelinap ke rimbun dedaunan untuk mencari sosok tubuhmu, sambil lalu kupatuk bangkai serangga yang tiba-tiba terasa sedap bagi lidahku.

“Marno! Aku mencari sosok tubuhmu, aku ingin bertanya siapa wanita yang akhir-akhir ini kerap bersamamu.”

Sosok wanita misterius itulah yang membuat aku jadi begini, setelah kudengar kabar dari Tante Maryam kalau akhir-akhir ini kau sering bersama wanita itu setiap hari di Jakarta dan bahkan selalu mencium keningnya. Aku masih ingat satu setengah tahun yang silam, ketika kau pamit untuk bekerja ke Jakarta. Sebentuk kalimat indah seperti kembang jatuh masih kusimpan baik-baik di lubuk hati terdalam. Lagi-lagi di pelataran Bukit Raas kau berkata kepadaku, “Nay! aku mau bekerja demi kamu, agar suatu saat kelak kita bisa lebih sejahtera. Kalau sudah sejahtera, aku ingin kita punya anak tiga, agar keluarga kita semakin bahagia, dan aku ingin membawa ibuku yang ada di Medan ke sini, agar kau tahu mertuamu. Selain itu aku berjanji, demi Tuhan aku berjanji, selama di Jakarta, aku tidak akan mengkhianatimu.” Setelah itu seperti biasa kau mengecup keningku tiga kali. Angin berdesir lirih mememeluk kita di gerbang senja.

Aku sangat bahagia mendengar pernyataanmu. Tekadmu untuk mencari nafkah ke Jakarta melukiskan sebuah tanda cinta yang paling dalam kepadaku. Senyumku semakin merona. Bukan karena aku gila materi, yang paling mengesankan dan yang paling aku inginkan kelak bila kau sukses; kau bisa membawa ibumu yang tak lain adalah mertuaku dari Medan ke sini. Aku tak sabar ingin mencium tangannya. Maklum, sejak kita menikah, aku belum tahu seperti apa ibu mertuaku. Aku paham, kau adalah anak yatim yang hanya punya ibu, tak punya ayah dan sejak umur 11 tahun kau ikut pamanmu ke Madura. Tapi kenyataannya, mimpi-mimpi itu harus kubuang jauh, seumpama kotoranku yang kucipratkan begitu saja di ranting kering. Kau di Jakarta telah menemukan wanita lain yang membuat aku sakit hati.

Sejak tante Maryam pulang kampung seminggu yang lalu dari Jakarta, aku memang agak khawatir dengan keberadaanmu, dan ternyata apa yang kukhawatirkan itu benar. Tanpa kutanya, Tante Maryam tiba-tiba bercerita sendiri tentang keseharianmu. Setelah mendengar cerita itu, aku hanya berkesimpulan: pantas saja akhir-akhir ini HPmu sering tidak aktif dan pesanku tidak dibalas.

“Marno! Aku sakit hati!”

Bila suatu saat kau datang untuk mencariku, carilah aku di antara ribuan burung yang ada di desa ini. Bukan hanya rupa yang berubah ketika aku menjadi burung, bahasa kita juga terbelah, hanya aku yang mengerti bahasamu. Sedang kau tidak akan paham kepada bahasaku, bahasa burung yang tiap waktu hanya bercericit dan melayang-layang di udara sambil sesekali hinggap mencengkeram ranting atau menukik, menangkap serangga yang tiba-tiba lebih lezat dari bakso. Tapi ada satu hal yang masih kontras dengan sakit hatiku, di saat aku jadi burung seperti ini, sebagaimana unggas yang lain, aku juga butuh kehangatan.

“Marno! Aku ingin kau cepat pulang.”

Sungguh kau tidak tahu bagaimana nasibku di sini. Aku sangat tersiksa. Meski aku tak usah bekerja dan makanan tersebar di mana-mana, tapi menjadi burung sangatlah tidak menyenangkan. Sekali aku berkicau memanggil namamu, burung-burung lain mencibirku sambil melenggang pergi dengan sayapnya, meninggalkanku ke tempat yang jauh. Padahal sedikit banyak aku harus berinteraksi dengan mereka paling tidak untuk mendapat ilmu tentang bagaimana menghadapi cuaca yang sudah tiba pada musim penghujan. Sebab tubuhku yang teramat ringan dan mungil ini selalu merasa dingin. Masih untung ada beberapa burung jantan yang mau menggodaku sehingga kumanfaatkan ia untuk belajar banyak tentang cara nyaman dan aman di dunia burung.

Di bulan kedua musim penghujan, mungkin perlu juga kuceritakan suatu saat nanti tentang kekejianku sebagai dampak dari dendamku kepadamu. Di sinilah rasa sakit hati membuahkan dendam yang teramat dalam, ya aku dendam kepadamu Marno. Bila di Jakarta kau bisa memilih wanita lain tanpa merasa kasihan kepadaku, di sini aku juga bisa memilih burung jantan tanpa merasa kasihan kepadamu.

Di antara rimbun daun jati yang mulai menghijau. Tepat di lengkung ranting yang mengarah ke dada langit. Seekor pejantan merayuku. Ia mengepak-ngepakkan satu sayapnya sembari memiringkan tubuhnya ke tubuhku. Paruhnya berciuman dengan paruhku. Di sepasang matanya kulihat warna berahi yang menghitam sehitam lelatu. Di sekitar terlihat sepi, tak ada siapa pun kecuali desir angin dan cecak tua yang menempel nelangsa pada ranting kering yang ujungnya telah patah. Entah mengapa tiba-tiba berahiku juga memuncak, hingga akhirnya aku dan pejantan itu menikmati kehangatan bercinta. Seciprat sperma burung kini telah bersarang dalam ovariumku. Sejenak aku puas karena sudah merasa menyakiti dirimu. Sedang burung pejantan yang telah menyetubuhiku lantas pergi begitu saja tanpa menanggung beban apa-apa seumpama manusia membuang kotoran. Ah, dunia burung.

Cerita perih ini telah menjadi keseharianku. Burung yang malang, menukik, dan melayang, berkepak menyergap serangga, tidur di kering daun siwalan. Cerita ini berlangsung sampai hari ini: Minggu pagi, ketika aku bertengger di ranting mangga yang tumbuh di halaman rumah tiba-tiba aku melihat sosok tubuhmu memasuki pekarangan dengan ransel yang penuh. Di belakangmu seorang wanita mengikutimu, langkahnya gontai, sepasang matanya melihat ke sana kemari seperti mengamati keadaan rumahku. Sedang wajahmu kulihat agak keheranan. Dahimu mengernyit dan sepasang matamu agak terbelalak seperti tak percaya kalau ini adalah rumah kita yang dulu. Kau semakin terkejut ketika melihat kotoran kucing dan debu-debu merengkuh lantai dan kursi. Tanganmu meraba pintu yang terkunci dan mulutmu menganga. Kau kebingungan.

“Marno! Akhirnya kau pulang juga. O, ya, istrimu si Naya sudah tiga bulan tidak kelihatan di sini, aku dan para tetangga tidak tahu dia ke mana. Dia tidak memberi tahu siapa pun,” ucap Tante Maryam yang kini sendirian menjaga rumahku.

“Apa, Tante? Mengapa hal ini bisa terjadi? Padahal aku sekarang pulang ke Madura bersama ibuku. Tujuanku tidak lain adalah untuk memperkenalkan Naya kepada ibuku, sebab dulu aku sebelum bekerja ke Jakarta pernah berjanji untuk membawa Ibu ke sini, empat bulan yang lalu aku menjemput Ibu ke Medan, hanya saja aku tidak langsung pulang ke sini, untuk sementara Ibu tinggal bersamaku di Jakarta”.

“O….jadi ini adalah Ibumu? Pantas saja selama Ibumu ada di Jakarta kau sering mencium keningnya”.

“Ya…ini Ibuku, Tante. Ini mertua Naya”.

Kenyataan ini menampar keras perasaanku. Sosok wanita yang diceritakan Tante Maryam ternyata adalah mertuaku sendiri.

Aku terbang melayang dan hinggap di bahumu, bercericit, dan berkicau keras dengan beragam suara untuk memberi penjelasan kepadamu. Tapi kau memukul tubuhku dengan sangat keras hingga aku terjatuh ke lantai. []

A. Warits Rovi. Lahir di Sumenep, 20 Juli 1988. Karya-karyanya dimuat di Kompas, Tempo. Jawa Pos, MAJAS, dll. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit Dukun Carok dan Tongkat Kayu (2018), Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki (2020), Bertetangga Bulan (2022), dan Cinta Sepasang Orang Gila (2023). Kini aktif di Komunitas Damar Korong.

Gambar ilustrasi diolah oleh Majalahelipsis.id menggunakan Bing Image Creator.

Penulis: A. Warits Rovi

Editor: Ayu K. Ardi

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan